Saturday, October 20, 2007

Industri Siasati Harga Minyak


Upaya Pemakaian Energi Lain Masih Terbentur Banyak Kendala

jakarta, kompas - Upaya para pelaku usaha untuk menyiasati dampak kenaikan harga minyak menghadapi kendala. Opsi beralih dari bahan bakar minyak ke energi yang lebih murah ternyata terbentur belum jelasnya aturan pencemaran lingkungan. Sementara, produsen plastik bersiap-siap mengalami penurunan permintaan.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) Steve Goei Kin An saat dihubungi, Kamis (18/10), mengemukakan, posisi industri masih serba salah. Di satu sisi, industri berupaya memanfaatkan energi alternatif, seperti batu bara, untuk menekan biaya produksi sehingga tetap mampu bersaing di pasaran. Di sisi lain, industri harus menghadapi berbagai konflik atas penggunaan batu bara yang dinilai tidak ramah lingkungan.

Dia mencontohkan, industri yang sudah menggunakan batu bara kini takut membuang limbahnya. Masalah lingkungan kerap memunculkan penolakan dari masyarakat karena dinilai membahayakan kesehatan.

Departemen Perindustrian, lanjut Steve, pernah menyarankan agar limbahnya dimanfaatkan untuk memproduksi batako. Namun, upaya itu terbentur dengan perizinan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Padahal, sejak kenaikan harga bahan bakar minyak pada 2005, sebagian besar industri telah melepaskan diri dari ketergantungan terhadap BBM. "Industri sampai rela berinvestasi mengalihkan teknologi mesin boilernya dari BBM menjadi batu bara," ujarnya.

Batu bara digunakan untuk menggerakkan mesin boiler. Uapnya dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin. Sisa uapnya digunakan sebagai pemanas untuk mengeringkan hasil produksi.

Biaya operasional dengan penggunaan batu bara mampu menghemat 50 persen jika dibandingkan dengan BBM. Dalam waktu 6-9 bulan, investasi mesin dengan tenaga batu bara diperkirakan sudah dapat dikembalikan jika dibandingkan investasi mesin BBM.

Direktur PT Panasia Indosyntec Suwadi Bing Andi menilai, pemerintah perlu konsisten mengampanyekan penggunaan bahan bakar alternatif dan melindungi industri-industri yang sudah mulai menggunakannya.

Penggunaan batu bara ini sudah dilakukan di sebagian besar industri di Korea, Malaysia, Thailand, India, dan China. Tak heran, negara-negara itu gencar membuka usaha pertambangan batu bara di Indonesia untuk kebutuhan industrinya.

Ketua Gabungan Pengusaha Perunggasan Indonesia (GPPI) Anton J Supit mengatakan, para pengusaha di industri perunggasan berusaha menekan biaya produksi dengan beralih dari menggunakan genset ke energi listrik PT PLN

Melalui cara ini, PT Sierad Produce, salah satu pemain utama industri perunggasan, melakukan penghematan biaya energi 40-50 persen di divisi pembibitan. "Industri menyiasati penggunaan energi berbahan bakar minyak ke listrik, tapi sayang masih banyak gangguan," kata Anton Supit.

Pengalihan penggunaan energi dan minyak ke PLN tidak diimbangi suplai listrik yang memadai. Di banyak daerah, suplai listrik kerap terganggu akibat kebijakan pemadaman bergilir sehingga menyulitkan industri.

Bahan baku mahal

Industri yang bahan bakunya adalah produk derivatif minyak justru bersiap-siap mengalami penurunan permintaan. Ketua Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia Didie Suwondho mengatakan, berdasarkan perhitungan asosiasi, kenaikan harga plastik 50 dollar-100 dollar AS akan berdampak pada penurunan permintaan sebesar 5 persen. Hal itu terjadi jika harga minyak bertahan di kisaran 80 dollar AS. Harga biji plastik resin kini 1.400 dollar-1.500 dollar AS per ton.

Biji plastik resin merupakan produk yang menggunakan bahan baku polietilen yang merupakan hasil samping pengolahan minyak bumi, yaitu nafta. Meskipun belum mengakibatkan kenaikan harga minyak mentah di kilang, produsen biji plastik sudah menaikkan harga karena terkena dampak psikologis.

Produsen plastik khawatir harga minyak yang terus naik akan memicu substitusi pemakaian produk plastik dengan bahan pembungkus lain. Upaya menekan harga agak sulit dilakukan karena pasokan biji plastik masih bergantung pada impor.

Kebutuhan biji plastik 2,4 juta ton per tahun, 1,6 juta ton dipasok dari domestik. Namun, dari biji plastik yang diproduksi di dalam negeri pun, sebagian besar bahan bakunya diimpor. Sekitar 85 persen kebutuhan nafta diimpor karena pasokan dari kilang dalam negeri hanya mampu memenuhi 15 persen. (OSA/MAS/DOT)

No comments: