Monday, October 22, 2007

Dunia Terbalik, Barat Khawatirkan Serbuan Perusahaan Negara Berkembang


Go to hell with your aid! Demikian kalimat terkenal yang pernah diucapkan almarhum mantan Presiden Soekarno. Perasaan yang lebih kurang serupa sedang mengidap para pejabat negara Barat.

Mereka mulai khawatir dan takut akan sepak terjang perusahaan-perusahaan milik negara berkembang yang kaya-raya. Perusahaan ini mengelola dana milik negara yang disebut sebagai sovereign wealth funds (SWFs).

Harian Inggris The Independent, misalnya, menuliskan artikel berjudul "SWFs: Enemies of the state?". Ada lagi, situs MarketWatch menuliskan, "SWFs Too Big To Ignore".

Mengapa demikian? SWFs kini mengontrol lebih dari 2,2 triliun dollar AS dana investasi atau sekitar enam kali lipat produksi domestik bruto (PDB) Indonesia.

Dana SWFs bersumber dari hasil ekspor minyak dan gas, terutama di sejumlah negara anggota OPEC (negara-negara eksportir minyak dunia). Sayang, Indonesia sama sekali tak memiliki SWFs. Malah Singapura, yang tak punya kekayaan alam apa pun, justru memiliki dua SWFs (lihat tabel). Rusia pun kini memiliki SWFs, hasil rezeki nomplok dari migas, yang lagi-lagi tak dinikmati Indonesia. Malah rakyat Indonesia menderita berupa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bukannya menikmati kenaikan harga minyak dunia.

SWFs mengontrol dana-dana lebih besar dari yang dikelola perusahaan dana investasi global. Investasi SWFs kini merambah ke mana-mana, termasuk ke negara Barat.

Mereka menjadi baron-baron pembeli aset di berbagai perusahaan besar di negara Barat, seperti Inggris, AS, dan di beberapa negara lainnya. SWFs telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan global, yang bahkan disebut-sebut akan menenggelamkan kekuatan investasi Barat.

Menurut perusahaan investasi AS, Merrill Lynch, pada 2011 total dana investasi SWFs akan menjadi 7,9 triliun dollar AS atau 12 persen dari PDB dunia pada saat itu. Negara-negara seperti China, Kuwait, Norwegia, Rusia, Arab Saudi, Singapura, dan Uni Emirat Arab menjadi sumber utama SWFs.

Nah, SWFs kini sudah mulai memasuki investasi yang berisiko seperti saham obligasi. Investasi jenis ini dianggap lebih berisiko. Karena itu, para menteri keuangan dari kelompok G-7 (Kanada, AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, dan Italia) menyerukan agar investasi SWFs dilakukan secara sehat dan transparan. Masalahnya, semakin besar aset berisiko yang dibeli oleh SWFs, akan semakin besar pula risiko pada volatilitas sektor keuangan.

Hal inilah yang menjadi salah satu pembahasan menkeu G-7 di Washington, Jumat (19/10) lalu. Menkeu Jepang Fukushiro Nukaga mengatakan, "Ada beberapa ketidakpastian dari gerak-gerik SWFs. Ada perdebatan soal transparansi SWFs."

Apakah SWFs berbahaya dibandingkan dengan hedge funds, julukan bagi dana-dana investasi besar milik warga kaya dunia? Dana jenis ini malah dikelola secara serampangan.

Apakah isu SWFs dimunculkan untuk mengelabui praktik kejahatan kerah putih, yang kini melanda perusahaan raksasa dunia dan ternama seperti Goldman Sachs, Standard & Poor’s, Moody’s Investor Services, dan lainnya?

Tak jelas apa yang membuat Barat takut dengan SWFs. Namun, rumor sudah beredar soal keberadaan SWFs.

Bahkan, SWFs asal Timur Tengah sudah dicurigai sebagai alat imperialisme di Barat lewat pasar uang dan pembelian berbagai kekayaan Barat.

Belum terlalu jelas apa yang menjadi kekhawatiran. Namun, SWFs untuk pertama kali sudah menjadi bahan pembicaraan sejak muncul pada dekade 1950-an lalu. (AFP/MON)

No comments: