Wednesday, October 31, 2007

Argentina dan Krisis Abadi

Argentina dan Krisis Abadi

Robert Bala

Pemilu Argentina yang berlangsung hari Minggu, 28 Oktober 2007, tidak banyak membawa kejutan (surprise). Cristina Fernandez de Kirchner, The First Lady, menang mutlak dalam putaran pertama.

Awal Desember mendatang, ia menempati Casa Rosada menjadi presiden. Namun, apakah kehadirannya mampu mengakhiri crisis eterna (krisis abadi) yang dialami Argentina?

Krisis berkepanjangan

Selama lima tahun terakhir, kepemimpinan di bawah Néstor Kirchner cukup stabil. Hal itu berbeda dengan beberapa pendahulunya. Fernando de la Rua, pengganti Carlos Menem, hanya bertahan dua tahun. Kebijakan ekonomi Coralito tidak banyak berpengaruh.

Keadaan bertambah parah. Pernah, dalam 15 hari (20 Desember 2001-3 Januari 2002), Argentina punya lima presiden. Sebuah ironi di tengah keterpurukan ekonomi. Reformasi yang sudah dimulai sejak 1983 pun akhirnya mengambang.

Keadaan agak membaik di bawah Kirchner. Utang luar negeri sebesar 9,5 milliar dollar AS dibayar. Pertumbuhan ekonomi mencapai 8,0 persen. Keberhasilan ini menjadi "nilai plus" bagi Cristina Fernandez. Ia mewarisi kebijakan suaminya. Dengan semboyan el cambio recién empieza (perubahan baru dimulai), Cristina Fernandez menjaga kontinuitas kemajuan. Kirchner juga menjamin, istrinya akan menorehkan sejarah.

Yang pasti, sejarah kini sudah terukir. Cristina Fernandez menerima kursi kepresiden langsung dari suaminya. Ia dijuluki "Hillary Latina" oleh majalah Time, sebagai antisipasi majunya istri Clinton itu ke kursi presiden. Tidak salah. Keduanya, sama-sama anggota senat, mengenal suaminya waktu belajar hukum, dan (katanya) lebih cerdas daripada suaminya.

Cristina Fernandez juga menambah deretan wanita di Amerika Latin, setelah Eva Peron (Argentina) dan Michelle Bachelet dari Cile, yang menduduki kursi presiden.

Keraguan

Tidak sedikit kebimbangan menyertai Cristina Fernandez. Primera Dama dinilai tidak fair dalam kampanye. Penggunaan fasilitas kepresidenan dalam kapasitas sebagai istri presiden, meski legal, tak etis.

Bukan itu saja. Ibu dua anak itu terlampau "tebar pesona". Kegandrungan mengenakan pakaian mewah, make up mahal, gairah berbelanja di tempat-tempat eksklusif amat kontradiktif dengan situasi Argentina.

Ada keraguan, mustahil orang yang hidup penuh kemewahan (glamorous manner) memiliki waktu untuk rakyat miskin.

Kritik juga hadir dari aneka kunjungan internasional selama masa kampanye. "Tebar citra" dilihat sebagai show yang tidak perlu. Oleh karena itu, julukan La Presidenta Viejara adalah ungkapan ketidakpuasan terhadap upaya "menjual" Argentina ke dunia internasional, tetapi ingkar terhadap realitas dalam negeri.

Kecemasan seperti ini beralasan. Secara internal, Argentina memiliki problem identitas, yang ditengarai sebagai salah satu akar keterpurukan. Dominasi turunan Eropa di "Negeri Tango", misalnya, terkadang melupakan mereka sebagai orang Amerika Latin. Ungkapan "soy Argentino (saya orang Argentina)" kerap diucapkan dengan (sedikit) arogan mengklaim diri sebagai orang kulit putih (los blancos).

Negara tetangga yang lebih didominasi kelompok Indian (los indios americanos), campuran Indian dan los blancos (los meztizos), kulit hitam (los negros), dan campuran los negros dan los blancos (los mulatos) dipandang dengan sebelah mata.

Sayang, hal seperti ini tak cukup mendapatkan perhatian para pencari kekuasaan. Bagi mereka, tak ada hal yang lebih penting daripada mengekalkan keberadaan.

Tampilnya Cristina Fernandez, misalnya, mengandung teka-teki. Andaikata Kirchner amat berhasil, mengapa tidak diberi peluang untuk masa jabatan kedua? Apakah ada perubahan substansial yang terjadi ataukah rias luar saja demi mengibuli rakyat?

Hikmah

Akar krisis yang dialami Argentina juga kita rasakan di sini.

Pertama, kebhinnekaan suku, agama, ras, dan antargolongan merupakan potensi membanggakan. Namun, ia butuh komitmen aktualisasi sehingga menjadi kekuatan. Sebaliknya, egoisme yang meremukkan keutuhan, "solidaritas" tanpa keikhlasan, seremoni budaya demi tujuan partikular, politisasi agama demi kepentingan sesaat (dan sesat)—sekadar menyebut beberapa contoh—merupakan aksi kontraproduktif. Cita-cita reformasi pun kian menjauh dari harapan hingga kita yang sudah terperangkap dalam krisis berkepanjangan, tidak mudah bangun.

Kedua, perlu keberanian untuk tampil lebih orisinal dan realistis sebagai kondisi terjadinya prognosis yang tepat dan kurasi total. Kesadaran akan realitas diri yang digerogoti aneka virus KKN, berani mengaku bersalah, merupakan langkah awal menuju rekuperasi dan rekonsiliasi sosial. Sebaliknya, menghindar, memberi kenyamanan palsu (sebagaimana terjadi dengan oil shock), atau menebar pesona demi menipu fakta, secara "strategi politik" jangka pendek mungkin menuai berkah. Namun, secara substansial tidak banyak berpengaruh.

Ketiga, pemilu Argentina (seperti kita) masih mengandalkan figur lama. Mantan presiden, menteri, senat, yang pada masanya tidak memberi kontribusi berarti kini hadir di antara 14 kandidat presiden. Pengalaman dianggap satu-satunya acuan. Sementara itu, kejujuran, semangat juang, dan jiwa energik, yang identik dengan kaum muda, nyaris tidak diberi tempat. Di sana, ironi untuk Cristina Fernandez bisa benar, La novedad del cambio es seguir la misma linea (Yang baru dari perubahan adalah mengikuti arah yang sama).

Indonesia bisa lebih maju dari Argentina jika memercayakan kepemimpinan nasional kepada kaum muda. Namun, itu pun dapat bermakna, ketika kaum muda hadir dengan visi yang lebih jelas, komitmen kebangsaan lebih utuh, dan keksatriaan yang lebih menonjol.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol dan Universidad Complutense de Madrid

No comments: