Sunday, October 7, 2007

peran internasional
China Bertindak Setengah Hati

Lembaga pemantau politik International Crisis Group atau ICG, Selasa (25/9), mendesak Sekjen PBB Ban Ki-moon agar menekan China untuk berbicara dengan junta militer Myanmar. ICG juga meminta India dan Singapura, sebagai Ketua ASEAN, mendukung tuntutan Ban.

"India, China, dan ASEAN harus mendukung peran PBB mencari solusi atas krisis politik di Myanmar," kata Gareth Evans, Ketua ICG, yang berbasis di Brussels, Belgia.

Mengapa China? Negara ini memiliki kedekatan ekonomi dan politik dengan Myanmar. China adalah mitra dagang terbesar dan pelindung junta. China membangun dam dan jalan yang menghubungkan jalan darat China ke laut lepas Myanmar. China adalah juga mitra dagang Myanmar nomor satu, dengan nilai neraca dagang kedua negara mencapai 1,7 miliar dollar AS.

China sudah memperbaiki jalur pipa yang memperlancar pasokan minyak mentah ke provinsi barat daya China via Myanmar. Dengan menguasai wilayah Myanmar, hal itu memungkinkan importir China menyalip Selat Malaka sebagai perdagangan internasional.

Apakah China melakukan perannya? Pada Januari 2007, China bersama Rusia, termasuk Indonesia, memveto resolusi PBB yang meminta junta menghentikan penindasan terhadap minoritas dan oposisi Myanmar. Alasannya, Dewan Keamanan PBB melampaui wewenangnya.

Meski demikian, diplomat senior China, Tang Jiaxuan, meminta Myanmar bergerak maju menuju proses demokrasi. Akan tetapi, media milik Pemerintah China tak memberitakan sama sekali perkembangan Myanmar.

Walau sudah meminta Myanmar menahan diri, China sama sekali tidak mau mengecam tindakan junta kepada para biksu. Seorang diplomat asing di Beijing mengatakan China sudah meminta junta berbicara dengan Suu Kyi. "Namun dibutuhkan tekanan lebih keras," kata diplomat itu.

Mengapa China enggan? Myanmar tak saja menjadi sumber kayu dan mineral bagi China, tetapi juga bagian dari strategi Beijing mengamankan sumber energi. Myanmar juga menjadi alternatif lalu lintas lewat impor minyak dan gas alam lewat Teluk Benggala.

"Demi kepentingannya yang lebih luas, Myanmar adalah pusat dari kepentingan strategi China," kata Christopher Roberts, peneliti di S Rajaratnam School of International Studies, Singapura.

"Dengan memasukkan faktor India dan Rusia, yang juga mengincar Myanmar, maka keputusan China pun jadi terpengaruh," kata Roberts. China khawatir Myanmar berpaling ke India dan Rusia. Rusia sudah mengatakan bahwa persoalan di Myanmar adalah urusan internal negara itu.

Sudah menanam modal

India dan China sama-sama menginginkan energi Myanmar. Kedua negara ini tak mau menindak Myanmar, yang membuat sanksi dunia lemah. Malah Menteri Perminyakan India Murli Deora baru saja menandatangani kontrak minyak senilai 150 juta dollar AS di Yangon saat demonstrasi memanas.

China mengisi kekosongan diplomasi Myanmar dengan dunia. China berinvestasi di kehutanan, gas dan minyak, bersekongkol dengan junta. India memiliki hubungan militer yang kuat dengan negara tertutup itu.

Myanmar memiliki 19 triliun kaki kubik cadangan gas alam, sekitar 0,3 persen dari cadangan dunia, menurut BP’s Statistical Review of World Energy pada 2006.

Perusahaan negara China National Offshore Oil Corp, telah melakukan eksplorasi di Teluk Benggala. Perusahaan lain China National Petroleum Corp sedang mengincar pipanisasi. "Myanmar adalah boneka China selama beradab-abad. Status itu akan makin nyata ke depan," kata Sean Turnell, ekonom dari Macquarie University, Sydney, Australia.

China juga khawatir dengan perannya yang antagonis tentang Myanmar. Negara ini juga membantai warganya di Lapangan Tiananmen tahun 1989. Mengapa harus menuntut negara lain bertindak? China khawatir akan terjadi efek domino di wilayah China, yang berbatasan dengan Myanmar.

Walau China makin besar perannya, sangat diragukan mau menekan Myanmar. "Membiarkan status quo di Myanmar adalah demi kepentingan ekonomi China," kata Bertil Lintner, ahli Myanmar yang berbasis di Chiang Mai, Thailand.

Karena itu perlu terus ada tindakan dunia untuk menekan China, seperti disuarakan David Mathieson, konsultan Myanmar dari Human Rights Watch.

Namun juga ada teori yang menyebutkan bahwa junta pun tak akan mendengarkan China. "Saya tidak yakin apakah China bisa menaklukkan Than Shwe meski mereka mau. Than Shwe tidak akan tunduk pada kekuatan luar, termasuk China," kata Bradley Babson, ahli Asia, pensiunan dari Bank Dunia. (REUTERS/AFP/AP/MON)

No comments: