Sunday, October 7, 2007

Myanmar
Kejahatan-kejahatan Junta Militer

Budi Suwarna

Kejahatan junta militer Myanmar sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Para biksu Buddha yang biasa berkata dan bersikap santun pun memberi cap kepada junta Myanmar sebagai pengikut setan. Sejauh mana sebenarnya kejahatan yang telah junta lakukan?

Sebenarnya para biksu di Myanmar selama ini tidak melibatkan diri dalam urusan politik secara langsung. Mereka hanya menempatkan diri sebagai otoritas moral. Nah, jika otoritas moral yang sangat dihormati itu sudah memberi cap setan kepada junta, berarti kejahatan yang junta lakukan sudah melampaui batas.

Selama berkuasa 45 tahun, junta berupaya menutup serapat-rapatnya kejahatan yang mereka lakukan. Namun, sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, baunya tercium juga. Ada saja berita mengenai kejahatan junta yang bocor dan didengar komunitas dunia.

Kebanyakan bocoran berita itu disebarkan kelompok aktivis prodemokrasi Myanmar yang lari ke luar negeri atau memiliki akses ke jaringan internasional.

Kelompok itu antara lain Freeburmarangers, Jaringan Aksi Perempuan Shan, Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy) pimpinan Aung San Suu Kyi, dan Network for Democracy and Development. Mereka cukup rajin mengirim kabar tentang penindasan yang dilakukan junta kepada wartawan di seluruh dunia.

Tahun lalu aktivis Jaringan Aksi Perempuan Shan, Charm Tong, membeberkan rangkaian perkosaan terhadap perempuan etnik Shan, sebuah etnik di selatan Myanmar yang mencoba memberontak. Dia menjelaskan, sejak tahun 2002, setidaknya ada 172 kasus perkosaan yang melibatkan tentara junta dengan korban 625 perempuan Shan. Usia korban terentang mulai dari 4 tahun hingga 62 tahun.

Dari 625 korban, 65 persen di antaranya diperkosa secara beramai-ramai. Sebanyak 18 persen korban kemudian dibunuh dan 26 persen lainnya dijadikan budak seks.

Yang mengerikan, kata Charm, perkosaan itu dilakukan secara sistematis untuk meneror dan meruntuhkan moral etnik Shan. Umumnya, perkosaan dilakukan tentara senior dan diketahui tentara yang lebih muda. Tentara senior seperti ingin menunjukkan bahwa perbuatan seperti itu tidak dilarang.

Sebagian laporan perkosaan yang menimpa perempuan Shan dipublikasikan jaringan Shan tahun 2002 dengan judul Izin Memerkosa (License to Rape). Laporan itu langsung dibantah pemerintah junta.

Pada tahun yang sama, jaringan Shan kembali memublikasikan laporan serupa dengan judul Masih mengenai Izin Memerkosa (Still License to Rape).

Selain memerkosa, tentara junta juga dituduh terlibat dalam sejumlah pembunuhan dan penjarahan terencana terhadap warga etnik Shan. Freeburmarangers mengatakan, tentara junta secara berkala meminta setiap warga etnik Shan menyerahkan sapi, babi, kerbau, ayam, dan uang pajak sebesar 20.000 kyat. Jika tidak, mereka disiksa atau dibunuh.

Kelompok aktivis Myanmar itu juga membeberkan kasus perdagangan perempuan oleh tentara junta di Ho Mong, perbatasan Thailand-Myanmar. Menurut data Tentara Negara Shan (Shan State Army), yang dikutip kelompok Freeburmarangers, setidaknya 100 orang diperjualbelikan setiap bulan.

Ada 25 orang di Hi Mong yang terlibat dalam penjualan manusia itu untuk budak seks. Salah seorang yang terlibat mengaku pernah menjual 60 perempuan. Setiap perempuan dijual rata-rata seharga 2.000 baht. Uang hasil penjualan sebagian diserahkan kepada tentara dan polisi junta.

Pelarian

Junta juga memaksa ratusan ribu orang lari dari Myanmar ke perbatasan Thailand. Cerita ini dituturkan dua aktivis Myanmar yang dua tahun lalu menghimpun dukungan di Jakarta, Daw San San (73) dan Khin Ohmar (38).

San San mengatakan, dia lari dari Myanmar bersama 29 anggota parlemen yang terpilih dalam pemilu 1990 ke Thailand tahun 2003. Sebelum lari, dua kali San San dijebloskan ke penjara karena mengkritik junta. Dia baru dibebaskan tahun 2001 karena kesehatannya memburuk. Namun, junta mengancam akan memenjarakannya lagi jika masih terlibat dalam aktivitas politik.

"Saya memilih lari dari negara saya. Saya tidak ingin mati di tahanan," katanya (Kompas, 7 Juni 2005).

San San menambahkan, setidaknya ada tiga rekannya sesama anggota parlemen terpilih meninggal di penjara. Tiga lainnya meninggal tidak lama setelah bebas dari tahanan. Dia mengatakan masih ada 14 anggota parlemen lainnya yang dipenjara (tahun 2005) dan hukumannya terus diperpanjang.

Lari dari tanah air juga terpaksa dilakukan Khin Ohmar. Setelah terlibat dalam pemberontakan tahun 1988, dia kabur ke Mae Sot, daerah perbatasan Thailand-Myanmar, bersama sekitar 10.000 warga Myanmar lainnya untuk menghindari pembantaian. Bersama ribuan orang itu, Khin tinggal sekitar 1,5 tahun di dalam hutan. Sebagian dari mereka, ujarnya, mati karena kelaparan atau malaria.

Khin mengatakan, junta memang sengaja mendorong orang- orang yang tidak sejalan dengan mereka melarikan diri ke perbatasan. Jumlah warga Myanmar yang kabur ke berbatasan diperkirakan mencapai satu juta orang.

"Saya tidak mengerti kehidupan macam apa yang sedang berlangsung, semua menakutkan," ujar Khin, dua tahun lalu, kepada Kompas di Jakarta. Dia menuturkan sebagian pengalaman pahitnya dengan suara tercekat seperti menahan tangis.

Kisah-kisah tersebut hampir semuanya tidak bisa dikonfirmasikan kepada junta militer yang menutup diri. Artinya, berita itu sifatnya sepihak.

Namun, sifat brutal dan kejam junta dengan sendirinya terkonfirmasi melalui peristiwa- peristiwa lainnya. Sebut saja, pembantaian sekitar 3.000 demonstran pada tahun 1988, penahanan Aung San Suu Kyi yang hingga sekarang belum juga berakhir.

Hari Jumat (28/9), para peneliti AS menguak kebrutalan junta melalui citra satelit April lalu. Citra satelit yang dianalisis American Association for the Advancement of Science (AAAS) itu menunjukkan desa-desa yang baru saja dihancurkan junta. Bangunan di desa-desa itu seluruhnya dihancurkan.

Pernyataan AAAS menyebutkan, gambar satelit itu membuktikan adanya penghancuran desa, relokasi paksa, dan peningkatan kehadiran militer di 25 tempat di sepanjang timur Myanmar. Di tempat itulah para saksi mata melaporkan adanya pelanggaran HAM.

Dari sekian peristiwa yang terungkap, kekerasan junta terhadap para biksu beberapa hari terakhir ini merupakan peristiwa paling mencengangkan rakyat Myanmar. Hingga Jumat malam, setidaknya tiga biksu tewas ditembak tentara dalam unjuk rasa Rabu lalu. Mereka juga memukuli para biksu dan menahan lebih dari 100 biksu di Yangon.

Perlakuan mereka terhadap para biksu benar-benar membuat rakyat Myanmar marah. Bagi mereka, melukai biksu adalah kejahatan dan dosa yang sangat berat. Tindakan itu setara dengan menganiaya orangtua sendiri.

Tidak heran jika rakyat Myanmar mencaci dan menghamburkan sumpah serapah kepada junta. "Tentara yang menembak biksu semoga disambar petir," teriak mereka.

Hampir semua komponen masyarakat di Myanmar tampaknya tidak bisa lagi menoleransi kejahatan-kejahatan junta. Sampai-sampai para biksu, penjaga moral rakyat Myanmar yang amat santun, pun menjuluki mereka sebagai penguasa lalim dan pengikut setan.

No comments: