Yangon Lumpuh Sekaligus Tegang
Militer Ada di Setiap Sudut Kota
Fransisca Romana Ninik
Bangkok, kompas - Dua kota utama di Myanmar, Mandalay dan Yangon, sangat sepi pada hari Sabtu (29/9). Hanya ada beberapa demonstran yang mencoba turun ke jalan. Namun, mereka yang kepergok langsung dipukuli secara brutal, layaknya seperti memukuli benda mati. Warga sangat membutuhkan pertolongan luar.
"Hari ini tidak ada pergerakan signifikan dibandingkan beberapa hari sebelumnya. Masyarakat mulai lelah, apalagi para biksu tidak lagi leluasa bergerak," kata anggota Koalisi Pemerintah Nasional (NCG) Myanmar, di Bangkok. Ia minta namanya tidak disebutkan demi keselamatan.
Meski lengang, keadaan di Yangon menegangkan. Aparat keamanan mengontrol setiap sudut kota Yangon. Kota ini mirip kota mati. Aktivitas sehari-hari terhenti. Keadaan serupa terjadi di Mandalay, juga salah satu kota utama di Myanmar.
Sebagian warga pasrah walau komunitas internasional terus mengupayakan penyelesaian krisis secara diplomatik.
Menurut kantor berita AFP, penjagaan aparat tidak ada di kota Pakokku, Myanmar tengah, sekitar 500 kilometer di utara Yangon. Di kota ini para biksu mencoba melakukan protes yang diikuti ribuan orang. Sekitar 1.000 biksu turun ke jalan diikuti massa, dimulai pukul 14.00 waktu setempat dan berakhir pukul 16.00, kemarin.
Di Yangon, sekitar 100 pemrotes mencoba memulai aksi di jembatan Pansoedan. Namun, begitu mereka mulai beraksi, aparat langsung memukuli. Menurut saksi mata, setidaknya lima orang ditangkap.
"Mereka memukuli warga secara brutal. Saya tak bisa membayangkan apakah korban bisa menahan rasa sakitnya. Mereka yang luput dari kejaran aparat langsung menghindar ke lokasi yang aman," kata seorang saksi yang ada di lokasi kejadian.
Masih di Yangon, 500 demonstran terlihat di Pasar Bogyoke Aung San, lokasi wisatawan. Aparat juga langsung melepaskan tembakan dan menangkap sejumlah orang, yang jumlahnya tidak bisa diketahui persis.
Saksi mata yang lain mengatakan, jumlah aparat keamanan melebihi jumlah pemrotes di pusat Yangon. "Demonstran tak berani berkumpul lagi karena sudah pasti dipukuli secara brutal dan ditangkap," kata saksi lain.
Transportasi lengang
Pada hari Sabtu, pengerahan aparat yang paling mencolok terjadi di dekat Pagoda Sule, Yangon, di mana 3.000 orang juga tewas pada protes massal tahun 1988. Junta mengerahkan pasukan dari dua visi angkatan darat yang berbasis di Yangon, didukung Divisi 66 dari Pago, kota di Myanmar timur laut.
Tindakan brutal aparat tidak saja membuat pemrotes bersembunyi. Bus dan taksi juga tak berani beroperasi karena takut jadi sasaran aparat. Akibatnya warga sama sekali tidak bisa bepergian, setidaknya di Yangon.
Warga trauma dengan kebrutalan aparat sejak Rabu lalu hingga Sabtu. Para saksi mata mengatakan, aparat bertindak secara membabi buta. Warga biasa yang tidak memprotes pun ditendang, ditangkap, dan ditembak. "Mereka menghajar siapa saja yang terlihat di jalanan. Banyak warga tak bersalah dipukuli dan ditangkap," kata seorang saksi, yang jadi korban saat membeli makanan di luar rumah.
Saksi lain melukiskan, beberapa orang diseret keluar dari kedai kopi dan dari mobil yang mereka naiki. Polisi dan tentara juga menggeledah rumah-rumah dan apartemen di dekat lokasi utama aksi protes. "Nasib warga begitu tragis. Saya sama sekali tak berani keluar di siang hari," kata seorang warga berusia 40 tahun.
Warga juga diperingatkan untuk tak menampung demonstran yang menyelinap ke rumah mereka. "Aparat menargetkan anak muda. Mereka juga meminta pengendara keluar dari mobil jika mengemudi dengan cepat di dekat lokasi pemrotes. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Tinggal di rumah adalah hal terbaik," kata seorang warga Yangon.
Wisatawan asing pun sudah hengkang. "Tiga pekan lalu kami masih mendengar orang tertawa. Kini hal seperti itu sudah lenyap," kata Heidi Colombo, seorang wisatawan asal Brussels, Belgia, yang masih berada di Yangon.
The Strand, hotel termewah di Yangon, kini sepi pengunjung. Hotel Nikko, juga di Yangon, sudah menurunkan tarif, tetapi tidak kedatangan tamu.
Keadaan di Mandalay tidak seketat di Yangon, tetapi juga sepi turis. Sebuah hotel di kota ini yang biasanya sangat sibuk hanya melayani tiga tamu.
Aktivitas Program Pangan Dunia (WFP) juga terhenti. "Pengiriman makanan dari Mandalay ke beberapa wilayah yang dilanda kelaparan terpaksa dihentikan," kata juru bicara WFP Asia, Paul Risley.
Tak akan menyerah
Situasi sudah sangat berubah sejak junta mengambil tindakan keras terhadap protes biksu dan warga. "Meski demikian, protes untuk menuntut pengakhiran rezim junta tak akan surut," kata seorang anggota NCG.
"Masyarakat sudah telanjur semakin marah. Ini bukan lagi soal politik dan demokrasi, melainkan lebih-lebih soal agama. Orang- orang marah karena perlakuan buruk militer terhadap pemimpin spiritual mereka," ujar anggota NCG itu.
"Untuk sejenak mungkin kami akan beristirahat, tetapi bukan berhenti sama sekali. Kami akan mencari cara lain untuk memperjuangkan kesejahteraan dan demokrasi, bukan dengan berbaris di jalan-jalan," ujarnya.
Menurut sumber NCG di Yangon, harapan untuk itu ada. Orang kedua terkuat dalam jajaran militer Myanmar, Jenderal Maung Aye, telah bertemu Aung San Suu Kyi, pimpinan Liga Nasional Demokrasi (LND), Jumat pagi. Namun, tidak ada informasi lebih lanjut mengenai pertemuan mereka.
"Akan tetapi, pertemuan itu merupakan sinyal positif bagi perjuangan rakyat. Kami berharap pertemuan mereka bisa menghasilkan solusi positif sehingga tidak perlu lagi ada kekerasan," katanya.
Utusan PBB
Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Ibrahim Gambari, telah tiba di Yangon, Sabtu, untuk menemui pemimpin junta militer Than Shwe. Belum ada berita soal pertemuan itu. Namun, Aung Zaw dari Irrawaddy, majalah milik perlawanan Myanmar yang berbasis di Thailand, mengatakan pesimistis terhadap kedatangan Gambari. Kedatangannya tidak akan bisa membawa perubahan signifikan di Myanmar.
Anggota NCG lain yang dihubungi terpisah juga mengemukakan, kedatangan Gambari tidak akan banyak mengubah situasi di Myanmar. "Selama militer tidak merespons tidak akan terjadi perubahan situasi," ujarnya.
Meski demikian, desakan internasional terus bermunculan. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Hidayat Nur Wahid meminta Pemerintah Indonesia beraksi lebih keras dan tegas atas pembungkaman demokrasi di Myanmar.
Jepang dan China juga bergabung dengan negara lain untuk menekan Myanmar. Perdana Menteri China Wen Jiabao, lewat telepon, Sabtu, mengatakan kepada PM Inggris Gordon Brown bahwa China sangat prihatin dengan keadaan di Myanmar.
Gambari mungkin tak akan berhasil menemui Than Shwe. Namun, Gambari sudah membawa pesan dari PM China dan Presiden Amerika Serikat George W Bush. "Saya berharap rezim di Myanmar bisa diberi tahu betapa serius persoalan yang terjadi. Kepada junta akan diberi tahu, betapa marahnya dunia tentang kematian para demonstran," kata Gambari.
Akan tetapi, China tetap dianggap sebagai kunci utama. Mantan PM Norwegia Kjell Magne Bondevik mengatakan, "China tidak berbuat lebih padahal negara ini memegang kunci." (AP/AFP/INA/MON)
No comments:
Post a Comment