Sunday, October 7, 2007

Kuatkah Gerakan Melawan Junta di Myanmar?

I Basis Susilo

Demonstrasi besar terjadi di Myanmar seminggu terakhir ini. Pada Minggu (23/9), demonstrasi melibatkan 100.000 orang, termasuk di dalamnya 20.000 biksu. Pemerintah militer Myanmar menghadapi demonstran dengan mengerahkan otot militernya, tetapi demonstran tidak menyerah. Hari-hari berikutnya setelah demonstrasi akbar Minggu itu, tiap hari demonstran terus menggelar aksi menentang junta militer.

Dibandingkan dengan sebelumnya, demonstrasi menentang junta militer Myanmar kali ini adalah terbesar setelah tahun 1988. Keterlibatan ribuan biksu sebagai moral force meningkatkan kekuatan tekanan kepada junta militer. Apakah gerakan kali ini akan berhasil menggulingkan rezim yang berkuasa saat ini?

Melihat kenyataan begitu represifnya junta militer Myanmar selama empat dasawarsa terakhir, dan menjadi-jadi sejak kemenangan Partai Liga Demokrasi pada Pemilu 1988 dibatalkan, mendorong kita untuk berharap agar gerakan menentang junta militer ini berhasil. Kuatnya liputan media internasional tentang demonstrasi besar-besaran mendorong kita mengira kekuatan "rakyat" Myanmar saat ini cukup kuat menggulingkan junta militer Myanmar itu.

Namun, melihat pengalaman bertahun-tahun rezim militer berkuasa di Myanmar, tampaknya diperlukan gerakan yang strategis-sistematis, waktu, dan stamina yang luar biasa besar untuk menggulingkan junta militer itu. Gerakan terakhir kali ini dilakukan menjelang Sidang Ke-62 Majelis Umum PBB sehingga menimbulkan dugaan, demonstrasi besar-besaran pada Minggu lalu lebih menjadi sarana mencari dan mencuri perhatian dunia daripada taktik atau bagian gerakan strategis dan sistematis untuk menggulingkan junta.

Tradisi isolasionisme

Selain itu, belum ada pemimpin alternatif yang menjadi ikon kuat dalam gerakan menentang junta militer yang sedang berkuasa. Belum tampak adanya pemimpin demonstran yang mampu menjadikan keterlibatan para biksu sebagai sumber power potensial menjadi teraktualkan.

Memang ada Aung Sang Suu Kyi, tetapi pemenang Nobel Perdamaian ini masih ditahan sehingga tidak bisa bergerak leluasa untuk memimpin gerakan menentang junta militer saat ini. Tidak adanya Suu Kyi atau pemimpin demonstrasi di tengah- tengah massa demonstran yang mampu mengagregasi kekuatan tentu menimbulkan pertanyaan apakah ada cukup stamina untuk berjuang terus-menerus menghadapi tekanan kekuatan fisik riil militer. Justru kelemahan ini yang dimanfaatkan rezim militer di sana untuk memperlakukan para demonstran dengan cara- cara kekerasan yang telanjang di luar nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Kuatnya rezim militer itu didasari tradisi isolasionisme dan tidak demokratis yang kuat dalam kultur politik para penguasa Myanmar. Sejak 1962, Ne Win be- nar-benar mengendalikan rakyatnya secara otoriter dan mengisolasi negerinya dari dunia internasional selama hampir 30 tahun.

Praktik-praktik isolasionisme dan melanggar nilai-nilai dasar kemanusiaan itu tidak banyak mendapat perhatian dari dunia internasional. Barat hanya bisa mengkritik, tetapi belum mendukung secara riil rakyat Myanmar. Ini karena Myanmar tidak dianggap begitu penting seperti Vietnam atau Jepang, sehingga Barat tidak sungguh-sungguh menekan Myanmar.

Dalam urusan teknis-militer-fasis menghadapi rakyatnya sendiri, rezim militer Myanmar adalah ahlinya, sehingga tetap mampu bertahan di tengah badai kritik dari seluruh penjuru dunia itu.

Selain itu, kendati diembargo AS, rezim itu juga bisa bertahan karena ada dukungan diam-diam dari negara-negara tetangga, berkaitan dengan kepentingan ekonomi negara-negara dekat sekitar Myanmar. RRC, misalnya, mempunyai kepentingan dan memperoleh keuntungan dari usaha dengan dan di Myanmar. Keterlibatan para pengusaha RRC berinvestasi dan mengeksploitasi hutan-hutan perawan di wilayah perbatasan Myanmar-China, terutama Provinsi Yunan dan di wilayah Shan, sangat menguntungkan RRC secara ekonomis.

Hanya "lip service"

Adanya desakan RRC kepada junta untuk memperlakukan demonstran tanpa kekerasan dipandang hanya lip service untuk memperbaiki citra RRC sebagai calon tuan rumah Olimpiade mendatang.

Embargo AS atas Myanmar tidak hanya menguntungkan RRC, tetapi juga Thailand, Malaysia, dan Singapura. Para pengusaha Thailand menampung dan memasok kebutuhan pokok Myanmar. Petronas pun menggantikan posisi Premier, perusahaan minyak Inggris, untuk mengerjakan proyek jalur pipa minyak di negeri yang dikuasai junta militer itu. Kenyataan ini yang diduga menjadi sebab mengapa ASEAN tidak begitu keras memperlakukan junta Myanmar.

Selama ini tampaknya AS belum "menggarap" Myanmar karena tidak mungkin adidaya itu menggarap negara-negara lain dalam waktu bersamaan. Pendudukan AS atas Irak menguras energi dan perhatian, sehingga Myanmar tampaknya belum jadi prioritas. Tekanan negara adidaya itu belum tentu berhasil, tetapi akan sulit bagi junta Myanmar menghadapi tekanannya.

Bila gerakan kali ini belum berhasil menggempur tembok junta militer, ada kemungkinan gerakan ini bisa menggoyahkan kekompakan rezim militer yang sedang berkuasa. Kalau kemungkinan ini yang terjadi, mungkin ada pergantian pimpinan tetapi tidak ada perubahan rezim.

I BASIS SUSILO Dekan FISIP Universitas Airlangga. Tulisan Ini adalah Pandangan Pribadi

No comments: