Biksu Disekap di Dalam Vihara
Istri Than Shwe Diterbangkan ke Laos, Junta Dikabarkan
Fransisca Romana
Bangkok, Kompas - Junta Myanmar mengintensifkan penangkapan dan pengawasan terhadap para biksu. Tindakan ini diambil junta untuk menjauhkan biksu dari massa unjuk rasa. Aktivis Myanmar di Bangkok mengatakan, rakyat akan terus melawan junta meski tidak ditemani para biksu.
Hari Jumat (28/9), pasukan junta kembali menyerbu dan menduduki vihara. Kali ini serbuan ditujukan ke vihara di kota North Okkalapa. Saksi mata mengatakan, empat biksu ditangkap. Belum bisa diketahui apakah ada korban jiwa. Serbuan ke vihara merupakan kelanjutan penyerbuan sebelumnya ke vihara Ngwe Kyar Yan. Di sana, aparat menangkap 100 biksu.
Pasukan junta juga memukuli para biksu dan merusak biara. Sejumlah pihak menduga, junta telah menahan 1.000 lebih biksu di Yangon. "Para biksu disekap. Mereka dikunci dan diancam ditembak jika keluar," kata Win Min, aktivis Myanmar di Bangkok.
Hari Jumat, junta Myanmar mengumumkan lima vihara Buddha di Yangon sebagai daerah steril dan berbahaya. "Itu sebabnya, kita tidak melihat banyak biksu (berunjuk rasa)," kata Aktivis Myanmar lainnya, Aung Naing Oo.
Peran para biksu dalam gelombang unjuk rasa berdampak besar. Mereka adalah pemimpin spiritual yang melakukan peran seperti yang pernah dilakukan para biarawan/biarawati di Filipina ketika menumbangkan Presiden Ferdinand Marcos tahun 1986.
"Ketika para biksu muncul, kita melihat rakyat mampu mengatasi rasa takut dan ikut berunjuk rasa," kata Debbie Stothard, koordinator Alternative ASEAN Network on Burma.
Di kalangan umat Budha, melukai biksu merupakan dosa berat, sama dengan melukai orangtua sendiri. Para pengunjuk rasa mengecam tindakan tersebut. "Tentara yang berani menembak biksu akan disambar petir," teriak mereka.
Bertekad meneruskan
Rakyat bertekad meneruskan perjuangan rohaniwan itu. "Para biksu telah melakukan tugasnya. Sekarang kita harus melanjutkan," ujar seorang pemimpin mahasiswa di dekat Pagoda Sule yang disambut teriakan dan tepuk tangan massa.
Hari Jumat, ribuan orang berunjuk rasa di jalan-jalan sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Rakyat biasa yang berada di pinggir jalan bertepuk tangan memberi semangat.
Pasukan junta berusaha membubarkan mereka dengan melepas gas air mata dan menangkapi sejumlah aktivis. Namun, begitu pasukan junta lengah, mereka berunjuk rasa di tempat lain.
Di kota Mandalay, ribuan anak muda yang mengendarai sepeda motor, juga meneruskan unjuk rasa, Jumat. Namun, mereka membubarkan aksi setelah tentara menembakkan senjata.
Sejak junta bertindak keras terhadap pengunjuk rasa dalam tiga hari terakhir, setidaknya 13 orang tewas. Angka ini belum bisa dikonfirmasikan. Sejumlah pihak khawatir jumlah korban kebrutalan pasukan junta lebih besar.
Dubes Australia untuk Myanmar, Bob Davis, mengatakan jumlah korban tewas lebih dari 13 orang. Davis sudah menemui dan berbicara dengan warga di Myanmar, yang mengatakan korban tewas lebih dari itu.
Warga Myanmar di pengasingan yang tergabung dalam Kampanye AS untuk Myanmar mengatakan, sekitar 200 demonstran telah tewas dibunuh dan beberapa ratus lagi ditangkap serta dipukuli. Hari paling berdarah adalah Kamis, ketika aparat junta menembaki massa.
Paulo Sergio Pinheiro, pakar independen PBB soal HAM di Myanmar, mengatakan, "Firasat saya keadaan lebih buruk telah terjadi."
Sumber di Myanmar mengatakan, situasi di Yangon sangat mencekam. "Tentara ada di mana-mana. Pertumpahan darah bisa terjadi kapan saja. Itu sebabnya, hampir semua toko dan kantor di Yangon tutup.
Warga kini khawatir junta akan menurunkan pasukan khusus yang bengis. Pasukan ini terlibat dalam pembantaian 3.000 orang demonstran pada tahun 1988. Mereka juga terlibat dalam pembantaian terhadap para pemberontak dari etnis Karen.
Tak Setuju
Surat kabar Thailand The Nation edisi Jumat (28/9) memberitakan keluarga pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Than Shwe, mendarat di bandara di Vientiane, Laos, dengan sebuah pesawat carteran, Kamis lalu. Keluarga yang berjumlah delapan orang itu terbang dengan Air Bagan, milik Tayza, sekutu dekat Than Shwe, Tayza. Istri Than Shwe, Daw Kyaing Kyaing, ikut dalam rombongan itu.
Sebuah laporan yang belum bisa dikonfirmasikan, seperti dilansir The Nation, menyebutkan bahwa orang kedua terkuat di militer Myanmar, Wakil Senior Jenderal Maung Aye, yang juga menjabat Kepala Staf Gabungan Myanmar, menyatakan tidak setuju atas tindakan keras yang diambil militer.
Maung Aye dijadwalkan bertemu dengan pimpinan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi, yang telah dipindahkan ke kamp militer Yemon di pinggiran Yangon. (AP/AFP/BSW/MON)
No comments:
Post a Comment