Monday, October 15, 2007

Mudik Spiritual


Raja Juli Antoni

Pada batas tertentu, mudik bisa kita kategorikan sebagai al-’urf , yaitu budaya baik yang dikonstruksi masyarakat tertentu sehingga dapat bersandingan dengan kebaikan ajaran Islam itu sendiri. Betapa tidak, tradisi mudik saat Idul fitri menjadi "oase", tempat persinggahan yang menyegarkan tenggorokan kehidupan yang semakin kering. Mudik kembali menjalin silaturahmi yang terputus, merapatkan kembali persaudaraan yang retak, dan mengumpulkan perkawanan yang terserak. Mudik dapat menghancurkan kerak-kerak egoisme dan individualisme yang menempel di dalam hati selama setahun bertualang di rantau orang.

Mudik bagi sebagian orang hanya menjadi ritus pulang kampung yang hampa makna. Mudik tidak lebih dari sekadar "berlibur ke rumah nenek". Idealnya, mudik tetap diletakkan dalam konteks Idul Fitri sebagai hari kemenangan atas keberhasilan umat Islam meraih derajat takwa, sebuah posisi mahaluhur yang hanya dengannya seseorang dipandang lebih mulia daripada manusia lain (QS 49:13). Selain itu, Idul Fitri dirayakan karena umat Islam berhasil kembali kepada potensi dasar dan primordial kemanusiaan mereka yang hanif, tunduk, dan taat kepada Allah SWT semata serta memahami ulang tugas kemanusiaan mereka sebagai khalifah untuk memayu hayuning bawana, membuat dunia ini lebih indah.

Mudik spiritual juga akan mencegah umat Islam untuk terjebak pada budaya mudik yang konsumtif, ngoyo, dan perayaan Idul Fitri yang glamor. Ada syair Arab yang sangat terkenal berbunyi "bukanlah Idul Fitri bagi yang hanya mengenakan baju baru, sesungguhnya hakikat Idul Fitri adalah bagi yang derajat ketakwaannya bertambah".

Lebih jauh lagi, mudik spiritual membuka kesempatan kepada siapa pun dan di mana pun tanpa terkecuali untuk merayakan kemenangan Idul Fitri, termasuk kaum papa yang tidak sanggup membeli tiket untuk pulang ke kampung halaman dan termasuk pula bagi saudara-saudara kita yang menjadi korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, yang kampungnya tenggelam. Semoga mudik kita berkah.

Raja Juli Antoni Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity Jakarta

No comments: