Krisis Turki-Kurdi Mengkhawatirkan
Rencana serangan Turki ke wilayah Irak utara, tempat orang-orang Kurdi, menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran baru masyarakat internasional.
Sudah terbayang, pertama, aksi militer itu akan memberikan sumbangan terhadap naiknya harga minyak dunia. Kedua, aksi militer itu akan mengacaukan proses perdamaian di kawasan Timur Tengah.
Naiknya harga minyak dunia sudah terasa. Hari Rabu harga minyak mentah 89 dollar AS per barrel. Harga minyak mentah dunia pernah mencapai 90,46 dollar AS per barrel pada tahun 1980, setahun setelah Revolusi Iran dan saat awal perang Irak-Iran. Tahun ini harga rata-rata minyak 67 dollar AS per barrel.
Irak merupakan negara penghasil minyak ketiga terbesar di dunia setelah Arab Saudi dan Iran. Produksi minyak Irak, tahun 2004, pulih mendekati tingkat produksi sebelum perang, yakni 2,4 juta barrel per hari, tetapi akhir-akhir ini anjlok lagi karena memburuknya situasi keamanan di negeri itu.
Kini, setelah Parlemen Turki menyetujui rencana pemerintah pimpinan PM Recep Tayyip Erdogan untuk menyerang Irak utara, dikhawatirkan harga minyak akan tak terkendali. Naiknya harga minyak, memang, menguntungkan negara produsen, tetapi memberatkan negara-negara konsumen, termasuk Indonesia.
Namun, Turki berpendapat, pemberontak Kurdi yang tergabung dalam Partai Buruh Kurdistan (PKK) di Irak utara memang harus mendapat hukuman. Pemerintah Ankara kehilangan kesabaran atas aksi militer PKK.
Kelompok yang akar perjuangannya Marxis-Leninis dan dibentuk akhir tahun 1970-an itu pada tahun 1984 pernah mengobarkan perlawanan militer terhadap Pemerintah Turki. Tujuan mereka adalah untuk membentuk negara Kurdi merdeka di wilayah Turki.
Sejak pemberontakan itu, tercatat lebih dari 37.000 orang tewas. Pemerintah Turki tetap tidak mau berunding dengan mereka karena menganggap PKK sebagai organisasi teroris, yang setelah invasi militer AS ke Irak memperoleh keleluasaan bergerak lagi.
Andaikata serangan militer itu benar-benar dilakukan, hal itu tentu akan memperburuk situasi di kawasan itu. Di satu sisi, kita bisa memahami, Turki bertindak tegas terhadap kelompok yang mengancam ketenteraman wilayah dan rakyatnya. Sejumlah negara di kawasan itu, seperti Suriah dan Iran, pun mendukung.
Akan tetapi, di sisi lain, tentu perlu dicari penyelesaian yang lebih elegan untuk memperkecil risiko jatuhnya banyak korban manusia. Karena itu, Pemerintah Irak dan juga AS diharapkan berperan untuk menindak aksi militer PKK di wilayah utara itu.
Terganggu Lagi Harga Minyak
Itulah kenyataan yang harus kita hadapi. Saat kita baru saja mulai merasakan kembali geliat ekonomi, kita dihadapkan lagi pada kenaikan harga minyak dunia.
Kenaikan harga minyak dunia memang luar biasa. Sekarang ini angkanya mendekati 90 dollar AS per barrel. Pemicunya kita tahu semua adalah kekhawatiran terjadinya serangan militer oleh Turki terhadap kelompok separatis Kurdi yang tinggal di wilayah Irak utara.
Era teknologi informasi membuat setiap informasi bisa tersebar dengan cepat. Di satu sisi hal seperti itu sangatlah menguntungkan, tetapi di sisi lain memberikan dampak negatif, yakni cepatnya orang lalu berspekulasi sehingga membuat harga minyak naik.
Akibat negatif yang lain, apa yang terjadi di satu wilayah dunia sekarang ini pengaruhnya langsung mondial. Tingginya harga minyak dirasakan bebannya oleh semua negara yang ada di dunia.
Tentu kita tidak menutup mata bahwa banyak negara yang sangat diuntungkan. Negara produsen minyak, seperti negara-negara Timur Tengah dan Eropa Utara termasuk Rusia, menikmati betul bonanza minyak. Hal yang sama pernah kita rasakan ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia yang luar biasa tahun 1970-an.
Pertanyaannya, mengapa kita tidak bisa menikmati rezeki nomplok dari kenaikan harga minyak dunia sekarang ini? Jawabnya, karena produksi minyak kita setiap tahun justru semakin menurun. Bahkan jumlah produksinya jauh di bawah kebutuhannya, sehingga yang terjadi defisit yang oleh pengamat ekonomi Faisal Basri diperkirakan tahun ini mencapai 9 miliar dollar AS.
Tentu kita bertanya lagi, apakah negeri ini memang sudah kehabisan cadangan minyaknya? Ataukah negeri ini tidak cukup menarik lagi bagi hadirnya investasi baru di bidang pengeboran minyak? Yang kedualah menjadi jawabannya. Kita tidak cukup menarik lagi bagi hadirnya investasi baru karena banyaknya ketidakpastian akibat terlalu sering berubahnya keputusan. Padahal, semua orang tahu investasi di pengeboran minyak adalah investasi yang padat modal dan berisiko tinggi.
Kita tidak bisa tinggal diam menghadapi fenomena yang sedang terjadi. Kenaikan harga minyak di tengah semakin menurunnya kemampuan produksi kita akan memukul perekonomian secara keseluruhan. Kita pernah merasakan hal itu ketika harga minyak melambung hingga 65 dollar AS per barrel menjelang akhir tahun 2005 dan kebijakan yang kemudian kita tempuh membuyarkan perekonomian yang sedang menggeliat.
Semua itu tentunya berpulang kepada kebijakan energi yang ingin kita tempuh. Kebijakan itu mencakup dua aspek, yakni aspek produksi dan aspek penggunaannya. Dari aspek produksi menjadi tantangan adalah bagaimana memacu hadirnya kembali investasi baru di bidang penemuan dan pengeboran minyak baru.
Dari aspek penggunaannya, bagaimana strategi besar untuk membuat kita tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan harga minyak dunia. Begitu banyak energi alternatif yang kita miliki. Begitu banyak kebijakan yang sudah dikeluarkan, tetapi semua itu tidak bisa dijalankan dan kita tetap sangat bergantung pada minyak.
No comments:
Post a Comment