Tuesday, October 16, 2007

PERTANIAN


Struktur Perdagangan Dunia Telah Berubah

Kebijakan pengembangan bahan bakar nabati dan biodiesel sebagai bentuk konversi bahan bakar fosil berdampak serius terhadap struktur dasar perdagangan produk pertanian dunia tahun 2007-2016. Sejumlah komoditas pertanian, antara lain gandum, kedelai, jagung, beras, daging, susu, gula, dan minyak nabati, bakal menjadi rebutan.

Pandangan itu mengemuka dalam kajian Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tentang "OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016" yang diterima Kompas pekan lalu.

Dalam laporannya, OECD menyebutkan bahwa perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian secara global terkait erat dengan menurunnya suplai dan stok komoditas pertanian yang diperdagangkan. Selain dampak perubahan iklim global, juga terjadi penurunan stok akibat naiknya permintaan pasar dunia terhadap sejumlah komoditas pertanian untuk bahan baku energi. Kondisi ini tercermin dari perubahan volume ekspor impor komoditas pertanian dunia (Lihat Tabel).

Amerika Serikat (AS), misalnya, memproyeksikan produksi etanol dari 17 miliar liter pada tahun 2005 menjadi 45 miliar liter pada tahun 2016. Kondisi ini membuat konsumsi jagung di AS meningkat dari 40 juta ton pada tahun 2005 naik menjadi 115 pada tahun 2016.

Produksi etanol Uni Eropa juga naik dari sekitar 2 miliar liter tahun 2006 menjadi 15 miliar liter tahun 2016. Produksi biodiesel juga naik dari sekitar 5 miliar liter tahun 2006 menjadi 10 miliar liter tahun 2016. Produksi etanol di China diproyeksikan naik dari 1 miliar liter menjadi 4 miliar liter.

Pada akhirnya perubahan struktur perdagangan dunia ini akan menciptakan harga keseimbangan baru yang lebih tinggi daripada harga keseimbangan rata-rata sepuluh tahun lalu.

Dampak bagi Indonesia

Menurut guru besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin, perubahan struktur perdagangan produk pertanian sudah mulai terjadi. Dampaknya bisa dirasakan ketika harga minyak sawit, jagung, beras, dan gandum dunia mulai tidak terkendali.

Perubahan struktur perdagangan itu ditandai dengan naiknya harga-harga komoditas itu di pasar internasional. "Siapa yang menyangka bahwa harga minyak per barrel tembus 80 dollar AS dan CPO yang semula 400 dollar AS bisa mencapai 800 dollar AS," katanya.

Nilai positif dari perubahan itu adalah betapa pentingnya sekarang komoditas pertanian. Oleh karena itu, perubahan struktur ini harus bisa menjadi titik poin kebangkitan kesejahteraan petani di Indonesia.

Jangan sampai petani kecil atau gurem yang jumlahnya mencapai 13,5 juta jiwa itu malah menjadi korban dan nasib mereka tidak juga terangkat menjadi lebih baik.

"Pemerintah harus ekstra waspada karena bukan tidak mungkin kelompok petani miskin ini akan tergerus gelombang perubahan itu," katanya.

Menurut Bustanul, agar siap menghadapi perubahan itu, semua pihak harus meningkatkan kemampuan analisis terhadap permasalahan ini. Mendorong kemajuan teknologi pertanian serta menjadikan persoalan ini sebagai tantangan baru bagi ilmuwan di Indonesia untuk mengatasinya.

Perlu strategi

Bustanul mengusulkan perlunya strategi dan langkah inheren dalam mengantisipasi perubahan perdagangan global. Strategi tersebut dibutuhkan tidak saja soal kebijakan pertanian yang lebih fokus dan terarah, tetapi juga strategi politik yang menyalurkan energinya ke sana.

"Pemerintah tidak bisa lagi meningkatkan produksi komoditas pertanian berbasis proyek, tetapi harus menjadi kebijakan strategis untuk seluruh pelaku yang terlibat di sektor pertanian," katanya.

Deputi II Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Bayu Krisnamurthi menjelaskan, untuk komoditas tertentu, seperti gandum, beras, jagung, kedelai, dan gula, Indonesia memang harus diwaspadai karena masih menjadi negara pengimpor.

Namun, untuk minyak nabati produksi CPO Indonesia masih tinggi. Bahkan, lima tahun lagi mencapai 20 juta ton. Ke depan ekspor tidak hanya bertumpu pada CPO dan minyak goreng, tetapi juga bagaimana mengembangkan produk turunannya.

"Untuk komoditas yang masih bergantung pada impor, tidak bisa tidak Indonesia harus meningkatkan produksi," katanya.

Menurut Bayu, pemerintah membagi dua periode untuk menyikapi perubahan struktur pola perdagangan global itu. Pertama, periode transisi, dalam masa ini semua negara akan bersiap mengamankan produksinya. Hal ini berdampak pada kenaikan harga komoditas.

Oleh sebab itu, tidak bisa tidak harus meningkatkan produksi terhadap komoditas yang bisa dikembangkan di Indonesia, seperti jagung, beras, gula, dan kedelai. Cara yang bisa dimulai adalah dengan melakukan perbaikan maupun pembangunan baru saluran irigasi di berbagai sentra produksi.

"Selama ini kita belum pernah lagi membuat irigasi dengan biaya puluhan triliun seperti yang dilakukan seperti tahun 1970-1980," katanya.

Dalam jangka panjang harus dipersiapkan keterlibatan swasta dalam pengembangan komoditas pertanian meski pemerintah tetap menjadi penggerak utama. Upaya yang dilakukan bisa dengan memberikan insentif kepada investor.

Kebijakan pembatasan konversi lahan pertanian juga harus dilakukan. Lahan pertanian harus dijaga betul luasannya sehingga tidak mengancam produksi. Di sisi lain pemanfaatan lahan-lahan suboptimal juga perlu dikembangkan terus.

Menurut Bayu, yang paling penting dari semua itu adalah niat semua pihak untuk mengembangkan pertanian. Tanpa ada kemauan sungguh-sungguh, termasuk kemauan politik bersama, pertanian sulit dikembangkan. (HERMAS E PRABOWO)

No comments: