Monday, December 31, 2007

Keamanan Pakistan


Pakistan Jauh Lebih Berbahaya dari Irak


Pasar saham dunia langsung bergejolak begitu berita pembunuhan atas Benazir Bhutto di Rawalpindi menyebar luas, Kamis (27/12). Pasar khawatir kematian ini akan memicu kekisruhan politik dan bisa mengganggu stabilisasi geopolitik di kawasan. Investor langsung beralih ke aset-aset yang kecil risiko, seperti obligasi dan emas.

Pasar saham dunia bereaksi berlebihan. Hal itu semata karena Pakistan adalah sebuah negara dengan senjata nuklir. Majalah Newsweek edisi 29 Oktober lalu memberi judul di halaman depan, "Negara Paling Berbahaya di Dunia Bukannya Irak, Melainkan Pakistan". Judul ini menyusul serangan bom bunuh diri saat kedatangan Bhutto, setelah delapan tahun di pengasingan, akhir Oktober lalu. Dalam peristiwa itu, 134 orang tewas dan 450 lainnya cedera.

Pakistan adalah sebuah negara yang memiliki senjata nuklir, sementara di sisi lain terus bertahan kelompok-kelompok militan yang sepertinya sulit diatasi oleh Pemerintah Pakistan pimpinan Presiden Pervez Musharraf. Bahkan, Inter-Services Intelligence Agency (ISI), badan intelijen paling berpengaruh di Pakistan, dilaporkan ikut merekrut, melatih, dan mempersenjatai sejumlah kelompok militan. Kelompok-kelompok ini bisa bergerak bebas di seluruh Pakistan tanpa tersentuh hukum.

Pakistan sejak tahun 1972 saat dipimpin Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto—ayah Benazir Bhutto—sudah mengembangkan senjata nuklir. Langkah ini mengimbangi musuh bebuyutannya, India, yang sejak tahun 1966 sudah mengembangkan senjata nuklir. Pada tahun 1998 Pakistan sukses melakukan enam kali uji peledakan di bawah tanah di Beluchistan, dekat perbatasan dengan Afganistan.

Keberadaan senjata nuklir serta kehadiran dan tumbuh suburnya sejumlah kelompok militan inilah yang membuat mengapa Pakistan mendapat imbuhan negara paling berbahaya ketimbang Irak. Bahkan, kelompok Taliban dan Al Qaeda yang selama ini dikenal dengan militansi kini menjadikan Pakistan sebagai basis utama kegiatan mereka.

Saat "perang melawan teroris" di Afganistan banyak dari komandan Taliban memindahkan keluarga mereka ke pinggiran kota di Pakistan, seperti Peshawar dan Islamabad. Langkah ini membuat mereka jauh dari kejaran "perang melawan teroris". Di tengah keleluasaan itu, mereka juga setiap waktu bisa saja merengkuh senjata nuklir pembunuh massal yang dimiliki Pakistan itu.

Aksi serangan bom bunuh diri atas Benazir, begitu juga dua serangan bom atas Musharraf dan sejumlah pimpinan Pakistan lainnya, memperlihatkan betapa kelompok militan ini tanpa sungkan menggunakan bom apa saja untuk memperlihatkan eksistensinya. Dari semua kejadian ini terbukti sudah bahwa aparat keamanan Pakistan tak sanggup mengendalikan keamanan.

Amerika Serikat diketahui ikut memberikan bantuan sekitar 100 juta dollar AS per tahun dalam mengamankan berbagai senjata nuklir yang ada di Pakistan. Antara tahun 2002 dan 2003, Pakistan diperkirakan menghasilkan 50 hulu ledak nuklir. Intelijen Militer AS tahun 2000 memperkirakan Pakistan sudah memiliki 100 hulu ledak nuklir.

Dunia menjadi prihatin apabila salah satu dari hulu ledak ini jatuh ke tangan salah satu kelompok militan yang ada di Pakistan. Sulit membayangkannya. (Pieter P Gero)

No comments: