Sunday, December 30, 2007

Konspirasi Gedung Putih-Musharraf di Balik Tragedi Bhutto, Mengapa Tidak?


Simon Saragih

Kebohongan Pemerintah Pakistan sangat nyata soal penyebab kematian Benazir Bhutto. Namun, kematian Bhutto mencuatkan hal yang lebih jauh lagi dari sekadar kebohongan itu.

"Bhutto Conspiracy Theories Fill the Air", demikian berita di situs majalah TIME edisi 28 Desember 2007. Judul ini merujuk pada merebaknya rumor soal konspirasi antara Gedung Putih dan Presiden Pervez Musharraf di balik kematian Bhutto.

Untuk adilnya, baca dulu tudingan pemerintah pada Al Qaeda, yang dikatakan sebagai pembunuh Bhutto. Pemerintah Pakistan menyebutkan, ada bukti kuat soal keterlibatan Al Qaeda pada pembunuhan Bhutto. Dikatakan pula, Bhutto meninggal karena tulang kepalanya retak setelah terbentur serpihan mobil yang terkena ledakan bom.

Pemerintah bahkan menegaskan tidak ada selongsong peluru yang menyebabkan kematian Bhutto. Isu peluru ini menjadi penting untuk dibelokkan oleh pemerintah (baca lanjutan di belakang). Pernyataan pemerintah ini jelas beda dengan kesaksian orang-orang dekat Bhutto di tempat kejadian bahwa dua peluru menembus tubuh Bhutto.

Sebagaimana dikatakan juru bicara Departemen Dalam Negeri Pakistan Brigade Javed Iqbal Cheema, Jumat (28/12), kelompok militan sudah mengincar Bhutto. Alasannya, berdasarkan versi pemerintah, Bhutto adalah antek-antek AS dan berbicara soal pembasmian ekstremis.

Kepada Cheema, pers bertanya saat jumpa pers, "Apakah Pemerintah Pakistan bersedia meminta bantuan badan intelijen internasional untuk memverifikasi kematian Bhutto?"

"Gentleman, mari kita percaya saja pada hasil temuan intelijen domestik," kata Cheema.

Biro intelijen AS, FBI, sudah menawarkan untuk mengirim penyelidik. "Pakistan tidak memberi respons," kata juru bicara FBI Richard Kolko, sebagaimana diberitakan di situs The Los Angeles Times edisi 28 Desember.

Lepas dari itu, atas tindakan Al Qaeda, Pemerintah Pakistan mengatakan akan memburu pelakunya di daerah tanpa hukum di perbatasan Pakistan-Afganistan, di mana Osama bin Laden dan para pemimpin Al Qaeda bersembunyi. "Mereka harus menghadapi pengadilan," kata Cheema. Ia menyebut pemimpin militan Baitullah Mehsud sebagai salah satu pihak yang terlibat.

Mehsud sudah pernah membantah bahwa ia pernah merencanakan pembunuhan Bhutto, seperti dituduhkan pemerintah. Tuduhan kepada Mehsud juga muncul ketika pada 18 Oktober lalu Bhutto luput dari maut akibat ledakan bom di Karachi.

Namun, Cheema mengatakan pemerintah sudah melacak percakapan Mehsud dengan militan lain, yang isinya adalah diskusi Mehsud setelah aksi bom bunuh diri yang menewaskan Bhutto.

Mehsud dan militan lain itu (diidentifikasi bernama Maulvi Sahib) saling bertutur soal aksi yang menurut mereka dilakukan anak buah mereka yang pemberani.

Rincian transkrip pun langsung diumumkan pemerintah. Namun bukti soal rekaman itu tidak ditunjukkan pemerintah.

Pemerintah juga memperlihatkan rekaman video kematian Bhutto akibat ledakan bom, tetapi rekaman ini pun agak buram. Namun intinya, pemerintah hendak menyebutkan, ledakan bom bunuh dirilah yang menyebabkan kematian Bhutto.

Soal peluru

Sebaliknya, berbagai televisi internasional, seperti CNN, BBC, Al Jazeera, menayangkan video yang memperlihatkan dua letusan senjata yang menyebabkan kematian Bhutto. Letusan senjata yang mengeluarkan peluru ini tentu perlu dibantah Pemerintah Pakistan.

Bruce Riedel, mantan ahli Pakistan dari CIA, Dewan Keamanan Nasional, Departemen Luar Negeri AS, menyatakan Al Qaeda memang sudah dikenal dengan berbagai serangan-serangan yang mematikan.

Akan tetapi, Al Qaeda jarang, bahkan bisa dikatakan tak pernah, menggunakan penembak jitu saat melakukan pembunuhan.

Nah, Sherry Rahma, pengurus Partai Rakyat Pakistan (partainya Bhutto), Sabtu (29/12), kepada CNN berulang kali mengatakan, "Pemerintah telah memulai tindakan menutup-nutupi kejadian sebenarnya."

"Ini lucu dan jelas merupakan kebohongan. Saya melihat sendiri bahwa Bhutto terkena tembakan peluru," kata Rahma, yang juga termasuk salah satu korban cedera, namun ringan, akibat ledakan bom yang muncul setelah penembakan atas Bhutto.

Ia pun heran dan bertanya, "Jika pemerintah serius menyelidiki kematian Bhutto, mengapa penyelidik belum juga menanyai orang-orang yang dekat dengan Bhutto pada saat kejadian."

Ya, ada banyak hal yang mengherankan. Sebelum melakukan penyelidikan saksama, Al Qaeda sudah menjadi sasaran tudingan. Keanehan lainnya, aparat pemerintah langsung menyemprot dan mengeringkan lokasi pembunuhan Bhutto dari puing-puing. Lokasi itu langsung bersih. Saat aparat melakukan penyelidikan, tidak ada lagi yang bisa mereka lihat kecuali sekadar menunjuk-nunjuk tangan ke lokasi kejadian di Rawalpindi.

Bagi rakyat Pakistan, keanehan itu jelas tidak ada. Mereka langsung menudung Musharraf sebagai killer. Teriakan ini juga diulangi saat mereka mengantar Bhutto ke peristirahatan terakhir.

Tak pelak lagi, kantor berita Press Trust of India (PTI) menuding agen intelijen Pakistan di balik pembunuhan itu. Berbagai harian di Inggris juga gencar memberitakan hal tersebut.

Dikatakan, Inter-Services Intelligence (ISI), intelijen yang sangat berpengaruh di Pakistan, termasuk militan, adalah pihak yang paling mungkin bertanggung jawab atas kematian Bhutto.

Ini senada dengan berita di The Los Angeles Times, yang mengutip pakar intelijen AS. Dikatakan, sudah tidak heran lagi jika militer, intelijen Pakistan, bahkan AS, pernah berkolaborasi dengan Al Qaeda, Taliban dan militan di Afganistan, Pakistan, untuk melawan penjajahan Uni Soviet di Afganistan.

Kolaborasi itu masih terus berlanjut hingga sekarang ini. Karena itu, pembunuhan Bhutto sangat tidak mungkin dilakukan oleh satu pihak saja. Pembunuhan pasti dilakukan dengan dukungan berbagai pihak.

Jika intelijen Pakistan terlibat, mungkinkah itu dilakukan tanpa sepengetahuan Musharraf? Selanjutnya, jika ISI terlibat dan itu diketahui Musharraf, mungkinkah Musharraf berani melakukannya?

Apakah Musharraf berani membunuh Bhutto, yang oleh AS sudah dipilih untuk membentuk pemerintahan bersama. Keduanya sudah bertemu di Abu Dhabi beberapa bulan lalu atas skenario AS untuk membentuk pemerintahan sipil. Sayang keduanya tak cocok dan makin membuat suasana di Pakistan memanas.

Susah memercayai Musharraf bertindak jika tanpa sepengetahuan AS. Banyak warga Pakistan, menurut Times, yang tidak segan-segan menuding konspirasi Musharraf dan Washington.

"Pembunuhan ini dirancang pemerintahan sekarang. Ini adalah bagian dari strategi AS untuk membuat rakyat takut karena Pakistan sudah mendekati kejatuhan," kata Liaqat Baloch, pejabat senior Jamaat-e-Islami, salah satu partai utama Islam.

Masalahnya, AS harus memilih Pakistan atau Bhutto. AS berpandangan, ketidakcocokan Bhutto-Musharraf telah makin memicu semangat anti-Musharraf dan anti-AS.

Pensiunan Letjen Hamid Gul, mantan Dirjen ISI, yang pengkritik Musharraf, bertutur, "Namun paling mudah bagi aparat menuding militan karena inilah cara terbaik untuk menyembunyikan pelaku sebenarnya."

"Saya kira hubungan pemerintahan Presiden AS George Bush sudah terlalu kuat dengan Musharraf," kata Bruce Riedel, penasihat Gedung Putih soal Pakistan di bawah pemerintahan Presiden AS Bill Clinton. "Saya tidak melihat AS mau menarik dukungan dan memilih yang lain," kata Riedel, sebagaimana dikutip harian Inggris Guardian edisi Jumat (28/12).

No comments: