Zacky Khairul Umam
Apakah kematian tragis Benazir Bhutto, Putri dari Timur, pada 27 Desember lalu mengubur demokrasi Pakistan? Ini pertanyaan spekulatif yang dipertanyakan banyak pengamat.
Kalau mau dijawab secara tegas, saya memilih ya. Benazir ialah sosok pendobrak kebekuan politik di negeri republik Islam yang gagal dikendalikan oleh rezim militer selama sewindu, ketika Musharraf melakukan kudeta damai terhadap pemerintahan Nawaz Sharif, seteru politik abadi Benazir.
Benazir ditunjuk Washington untuk berdampingan bersama Musharraf membentuk koalisi pemerintahan sipil dan agenda besar melawan terorisme. Meski tidak cocok, Benazir berupaya sekuat tenaga untuk menjemput bola para simpatisannya dalam pemilu yang semula dijadwalkan 8 Januari mendatang.
Sebagai mantan perdana menteri pada usia yang relatif muda, Benazir tampil sebagai sosok perempuan yang menjanjikan modernitas Pakistan. Tak saja ia menghaluskan ketabuan fatwa keagamaan di negaranya, tetapi juga berani untuk menggeluti politik yang penuh dengan intrik dan konflik. Benazir menjadi sosok yang hidup dan banyak dielu-elukan karena ia simbol bagi perubahan, terlebih karena ia mengembuskan demokratisasi sipil untuk kembali berkuasa di Pakistan.
Banyak yang optimistis pada kehadiran kembali Benazir. Memang ia memiliki faktor dinasti politik yang berpengaruh, namun ia memiliki talenta dan kecerdasan politik yang kuat. Variabel ini yang memunculkan harapan besar pada figur Benazir. Kematiannya ialah kuburan harapan.
Landasan pesimisme
Tanpa kematian Benazir yang mengejutkan itu pun, politik Pakistan memang dibangun di atas landasan pesimisme pada upaya demokratisasi yang lebih baik. Saat ini, Pakistan hidup di bawah impitan diktatorianisme dan ekstremisme. Dua hal ini ialah bentuk totalitarianisme yang mematikan ruang publik. Selama setengah abad merdeka, Pakistan empat kali dipegang oleh rezim militer, bahkan dalam bentuknya yang sangat kejam. Ayyub Khan dan penerusnya, Yahya Khan, mencengkeram Pakistan di bawah militer pada 1958-1971. Rezim militer yang akrab dengan kelompok Islam radikal dibawa oleh Zia ul-Haq yang mengudeta Zulfikar Ali Bhutto pada 1977 dan bertahan sampai kematiannya, 1988. Benazir menikmati kursi perdana menteri setelah ini. Pada 1999, Musharraf mengudeta Nawaz Sharif yang bertahan hingga kini.
Energi politik Pakistan habis oleh intrik dan seteru konflik yang berdarah-darah. Benazir tidak saja dimusuhi oleh siasat agama, rezim militer, tetapi juga aristokrasi feodalistik. Ruang politik yang dibangun sudah sangat ruwet untuk diuraikan dalam waktu yang singkat. Apalagi rezim Musharraf kelihatan tidak lihai menyelesaikan problem sosial-politik dan selama ini dipandang terlalu mengekor ke Washington. Kasus "pembantaian" di Masjid Merah serta pemecatan Ketua MA Chaudry ialah taring diktator yang amat nyata. Rakyat Pakistan telah bosan dengan Musharraf yang tidak bisa mempersatukan friksi politik dan komplikasi masalah di Pakistan.
Kelalaian Musharraf memberikan keamanan Benazir cenderung disengaja. Benazir menjadi "tumbal politik", dan demonstrasi yang belakangan marak semakin menuntut pemakzulan Musharraf. Delegitimasi rezim militer sudah di ambang ajal.
Ekstremisme juga merupakan penghalang demokratisasi. Al Qaeda dan neo-Taliban adalah kelompok yang mengepakkan dua sayap teror. Teror pertama ialah tuntutan pembentukan sistem politik keagamaan yang amat rigid, mungkin persis seperti yang ditunjukkan Jenderal Zia ul-Haq yang mengganti sistem sekular Ali Bhutto menjadi legalisasi syariat, termasuk di antaranya melarang perempuan menjadi pemimpin. Teror kedua adalah dalam bentuk kekerasan fisik. Pakistan saat ini masih belum imun dari terorisme. Benazir lolos dari serbuan bom yang menewaskan ratusan orang saat ia baru pulang bulan Oktober.
Uniknya, diktatorianisme militeristik dan ekstremisme bersahabat dan berseteru sesuai kepentingan. Suatu saat bersatu seperti di bawah Zia ul-Haq, kala lain ia berlawanan seperti di bawah Musharraf saat ini.
Pakistan memang membutuhkan jalan baru bagi demokratisasi. Cuma, dua bentuk totalitarianisme yang menghantui itu akan selalu menggagalkan keadaban politik. Dengan kematian Benazir, tersisih sudah agenda demokratisasi yang menjanjikan.
Masa depan demokrasi Pakistan semakin tidak menentu, tanpa terlebih dahulu "mengubur" militerisasi dan ekstremisasi di negeri dengan semboyan Ittehad, Tanzim, Yaqeen-e-Muhkam, "Kesatuan, Disiplin, dan Kepercayaan" itu. Kepergian Benazir menjadi pesan jelas bahwa musuh demokratisasi yang totaliter masih berselimut dengan sangat nyamannya. Tragis!
Zacky Khairul Umam Peneliti; Alumnus Program Studi Arab Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment