Saturday, December 29, 2007

Pakistan


Tragedi Terulang Lagi pada Dinasti Bhutto


Selesai sudah sepak terjang politik Benazir Bhutto. Kamis (27/12), seusai berpidato dalam sebuah kampanye, hidup dan karier politik Bhutto berakhir untuk selamanya akibat tembakan di Rawalpindi.

Ini merupakan peristiwa tragis keempat yang menimpa keluarga Bhutto. Sebelumnya, pada tahun 1979, ayahnya, mantan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto, tewas digantung rezim Muhammad Zia ul-Haq yang mengudetanya. Hukuman ini dijatuhkan Jenderal Zia ul-Haq dengan tuduhan Ali Bhutto terlibat konspirasi untuk membunuh ayah politisi Ahmed Raza Kasuri.

Setahun kemudian, saudara laki-laki Benazir Bhutto, Shahnawaz, dibunuh di Perancis. Tahun 1996, saudara Benazir Bhutto lainnya, Mir Murtaza, juga tewas dibunuh.

Seperti kematian Ali Bhutto, kematian Benazir Bhutto juga mengaduk-aduk perasaan banyak orang. Rakyat Pakistan marah, meradang, dan menangis. Bukan hanya karena mereka harus menyaksikan lagi tragedi menimpa keluarga Bhutto, melainkan karena kematian Benazir Bhutto merupakan kehilangan besar bagi Pakistan. Maklum, dia adalah simbol modernitas dan demokrasi di Pakistan.

Bhutto tercatat sebagai perempuan pertama Pakistan yang berhasil menduduki jabatan perdana menteri, bahkan selama dua periode, yakni 1988-1990 dan 1993-1996. Ini adalah prestasi tersendiri karena bukan perkara mudah bagi perempuan di negara ini untuk menerobos kekuasaan yang telanjur didominasi politisi laki-laki.

Dengan pencapaian itu, BBC pernah menyebut Bhutto sebagai tokoh perempuan paling high-profile di dunia. Sebutan ini diberikan BBC beberapa saat setelah dia terpilih untuk pertama kalinya sebagai PM Pakistan.

Sebagai politisi, Bhutto memang terkenal ulet, ngotot, dan licin. Hidupnya pun berakhir ketika ia berkampanye untuk bertarung dalam pemilu parlemen. Karena itu, beberapa saat setelah kematiannya, para pendukungnya menyebut namanya sebagai martir bagi demokrasi.

Penuh pertarungan

Benazir Bhutto adalah anak tertua Ali Bhutto. Ia lahir pada tanggal 21 Juni 1953 di Provinsi Sindh. Ia kuliah di Harvard, Amerika Serikat (1969-1973), dan berhasil meraih gelar BA di bidang politik. Tahun 1973-1977, ia kuliah filsafat, politik, dan ekonomi di Oxford, Inggris. Setelah menyelesaikan kuliahnya tahun 1977, Bhutto kembali ke Pakistan.

Namun, sekembalinya dari Inggris, Bhutto segera terseret dalam pusaran pertarungan politik ketika itu. Ayahnya dikudeta oleh militer pimpinan Zia ul-Haq, kemudian digantung. Bhutto dan ibunya juga dikenai tahanan rumah hingga eksekusi terhadap Ali Bhutto dilakukan. Selanjutnya, Bhutto diizinkan kembali ke Inggris tahun 1984.

Periode inilah yang sangat menentukan perubahan dalam hidup Bhutto selanjutnya. Bhutto yang awalnya enggan terjun ke dunia politik akhirnya menceburkan diri juga ke dunia itu dengan masuk ke Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dipimpin ayahnya. Dia menjadi seorang pemimpin PPP di pengasingan.

Sejak saat itulah kehidupan Bhutto diwarnai berbagai pertarungan politik yang baru berakhir setelah nyawanya melayang, Kamis.

Menjabat PM

Setelah kematian Zia ul-Haq, Bhutto baru bisa kembali ke Pakistan. Dia segera menggantikan posisi ibunya sebagai pemimpin PPP.

Tahun 1988, PPP memenangi pemilu terbuka pertama di Pakistan. Kemenangan PPP membawa Bhutto sebagai perdana menteri perempuan pertama Pakistan. Ketika terpilih, usianya baru 35 tahun sehingga dia tercatat sebagai politisi paling muda yang memimpin Pakistan.

Hanya dua tahun menduduki kursi PM, Bhutto disingkirkan pada tahun 1990 dengan tuduhan korupsi. Namun, dia tidak pernah diadili. Setelah Bhutto tersingkir, kekuasaan PM jatuh ke tangan Nawaz Sharif, "anak didik" Zia ul-Haq.

Bhutto kembali merebut kekuasaan tahun 1993 setelah Sharif dipaksa mengundurkan diri. Seperti sebelumnya, Bhutto tidak berhasil mempertahankan kekuasaannya. Tahun 1996, Presiden Farooq Leghari membubarkan pemerintahan Bhutto menyusul beberapa skandal korupsi. Jabatan PM kemudian kembali ke tangan Sharif.

Tahun 1999, Bhutto kembali tersandung skandal korupsi. Kali ini dia dan suaminya, Asif Ali Zardari, dihukum lima tahun penjara dan didenda 8,6 juta dollar AS karena dituduh menerima imbalan dari sebuah perusahaan Swiss yang dibayar untuk memerangi penggelapan pajak. Namun, hukuman itu dibatalkan pengadilan tinggi karena dianggap bias.

Bhutto yang mengangkat suaminya sebagai menteri investasi selama masa pemerintahannya tahun 1993-1996 sedang berada di luar negeri ketika vonis dijatuhkan. Dia memilih tidak kembali ke Pakistan dan hidup di pengasingan.

Meski didera berbagai kasus, sepak terjang politik Bhutto tetap berjalan. Partainya pun tetap mendapatkan dukungan ketika mengikuti pemilu tahun 2002. PPP berhasil mendapatkan suara terbanyak, yakni 28,42 persen dan 80 kursi di majelis nasional. Partai Sharif hanya memperoleh 18 kursi.

Sebagian kandidat PPP yang terpilih kemudian membentuk faksi sendiri dan bergabung dalam pemerintahan yang dipimpin partai Jenderal Pervez Musharraf.

Untuk merintangi jalan Bhutto ke kursi kekuasaan untuk ketiga kalinya, Musharraf mengamandemen konstitusi yang melarang perdana menteri menjabat lebih dari dua kali. Dengan demikian, tertutup sudah kesempatan bagi Bhutto untuk berkuasa lagi.

Bhutto tidak menyerah. Ketika popularitas Musharraf mulai redup tahun 2006, Bhutto melancarkan serangan balik. Dia bergabung dengan Aliansi untuk Pemulihan Demokrasi bersama rival lamanya, Sharif. Melalui aliansi ini, kelompok oposisi bertekad menggulingkan Musharraf dari kursi kekuasaan.

Belakangan, Bhutto diketahui mengadakan pertemuan dengan Musharraf untuk tawar-menawar pembagian kekuasaan pada Juni 2007. Tindakan Bhutto itu membuat marah anggota aliansi lainnya. Bhutto juga berbeda pendapat dengan anggota aliansi yang ingin memboikot pemilu. Bagi Bhutto, memboikot pemilu sama saja dengan membiarkan kubu Musharraf melenggang sendirian ke kursi kekuasaan.

Karena perbedaan inilah aliansi tersebut pecah. Mereka kemudian berpisah dan sepakat untuk mengambil jalan politik sendiri-sendiri. Tanggal 19 Oktober 2007, Bhutto pulang ke Karachi setelah delapan tahun hidup di pengasingan. Kepulangannya disambut bom bunuh diri yang menewaskan 139 orang. Bhutto selamat.

Hidupnya yang penuh dengan pertarungan itu berakhir Kamis lalu akibat serangan bom. Selamat jalan, Bhutto! (AFP/AP/REUTERS/BSW)

No comments: