Trias Kuncahyono
Presiden Rusia Vladimir Vladimirovich Putin dan Presiden Venezuela Hugo Rafael Chávez Frías adalah dua tokoh yang pekan lalu menjadi berita dunia. Keduanya berusaha mencari siasat bagaimana mempertahankan kekuasaan.
Putin (lahir 7 Oktober 1952) menjadi orang nomor satu di Rusia setelah tanggal 31 Desember 1999 diangkat menjadi pejabat presiden menggantikan Boris Yeltsin. Ia memenangi pemilu presiden 7 Mei 2000, dan dipilih lagi untuk masa jabatan kedua hingga Maret 2008, pada tahun 2004. Putin memerintah sebuah negeri berpenduduk lebih kurang 142 juta jiwa, yang di masa Perang Dingin dan masih bernama Uni Soviet merupakan negara adidaya, penyeimbang sekaligus lawan AS.
Hugo Rafael Chávez Frías (lahir 28 Juli 1954) pada tahun 1998 terpilih menjadi Presiden Venezuela, sebuah negeri di Amerika Latin yang berpenduduk lebih kurang 27 juta jiwa. Rakyat menjatuhkan pilihan kepadanya setelah terbuai janjinya akan memberi bantuan kepada rakyat miskin. Pada tahun 2000 dan 2006, ia terpilih lagi. Pada tahun 1992, ia gagal mengudeta Presiden Carlos Andrés Pérez.
Putin pada Maret tahun depan akan habis masa jabatannya. Ia tidak mencalonkan lagi sebagai presiden karena terhalang oleh ketentuan konstitusi: Konstitusi 1993, Pasal 81 (1) masa jabatan presiden empat tahun dan (3) Tidak seorang pun akan menjabat Presiden Federasi Rusia untuk lebih dari dua masa jabatan.
Padahal, ia seorang pemimpin yang populer dan mendapat dukungan rakyat. Menurut jajak pendapat yang dilakukan Levada Center, popularitas dia naik dari 31 persen (Agustus 1999) menjadi 80 persen (November 1999). Dan, sejak itu tidak pernah di bawah 65 persen. Banyak yang berpendapat, ia tetap populer karena ia mampu meningkatkan standar hidup rakyatnya.
Tujuh tahun lebih, Putin berjuang untuk menjadi lebih hebat dibanding mentor politiknya yang memberi kesempatan menjadi orang nomor satu di Rusia, Boris Yeltsin. Sebagai presiden, Putin mampu menaklukkan hati rakyat yang memiliki kenangan buruk pada demokrasi (sistem politik yang disodorkan Boris Yeltsin setelah runtuhnya Uni Soviet). Di tangan Boris Yeltsin, perekonomian Rusia justru berantakan dan kekacaubalauan sosial menjadi-jadi.
Kenangan buruk rakyatnya itu ia hapus. Selama tujuh tahun lebih berkuasa, perekonomian Rusia bangkit. Perekonomian Rusia meningkat. Tahun 1999 Rusia ada di peringkat 22 ekonomi dunia menjadi ke peringkat 11 (2006). Sementara rata-rata gaji bulanan yang delapan tahun lalu 65 dollar AS kini menjadi 540 dollar AS. Angka inflasi tercatat 8,5 persen. Meski ia mengakui bahwa harga-harga makanan dan energi naik 40 persen (The Christian Science Monitor, 19/10).
Sikap dan pendiriannya yang tegas—bahkan kadang tanpa kompromi—berani mengambil keputusan meski tidak populer ditambah memiliki visi dan perencanaan yang jelas, mendorong rakyat memilih Putin ketimbang Yeltsin yang memberikan kebebasan demokratik tetapi perekonomian tak stabil.
Di sisi lain, dituding mengembangkan pemerintahan otoritarian demi stabilitas. Karena itu, ia dituduh banyak melanggar HAM, menguasai media, dan meredam suara oposisi dengan kekuasaan.
Kepercayaan rakyat itulah modal utama Putin mempertaruhkan namanya dengan mendukung Partai Rusia Bersatu dalam pemilihan anggota parlemen (Duma) hari Minggu lalu. Pemilihan anggota Duma telah "diubah" menjadi sebuah cara untuk mengukur dukungan rakyat kepada dirinya; menjadi referendum terhadap dirinya.
Hasil pemilu, Partai Rusia Bersatu meraih suara 64 persen (di bawah harapan Putin), cukup memberi kekuatan baginya untuk menguasai parlemen. Dengan menguasai 64 persen di parlemen yang beranggotakan 450 orang, Partai Rusia Bersatu bisa melakukan banyak hal yang menguntungkan Putin.
Sebuah kelompok yang dibiayai Kremlin, menurut The Christian Science Monitor (27/11), telah mengumpulkan 30 juta tanda tangan—lebih dari 20 persen penduduk Rusia—untuk mendukung Putin tetap sebagai "pemimpin nasional" Rusia, dengan mengabaikan hasil pemilu dan ketentuan konstitusi.
"Rakyat ingin Putin tetap sebagai jaminan bagi kesinambungan reformasinya dan menjamin stabilitas kehidupan rakyat Rusia," jelas Pavel Astakhov, salah satu ketua gerakan "For Putin".
Apa yang akan dilakukan Putin setelah masa jabatannya habis Maret mendatang? Tidak ada yang tahu. Tetapi, banyak analis memperkirakan Putin akan "mengakali" pemilu presiden sehingga akan menghasilkan seorang presiden yang lemah; dan ia sendiri akan menjadi perdana menteri yang mengendalikan presiden. Itu sebuah perkiraan. Akankah terjadi seperti itu? Hanya Putin yang tahu.
Politik citra
Yang dilakukan Chávez tidak berbeda dengan Putin. Meskipun landasan yang dibangun Chávez tidak sekuat Putin. Sejak berkuasa sembilan tahun silam, Chávez dengan begitu piawai menarik simpati rakyat—terutama rakyat kecil dan miskin. Ia menggunakan kekayaan minyak negerinya untuk membeli dukungan rakyat. Tahun 2003 dan 2004, ia melancarkan serangkaian program ekonomi dan sosial dengan tujuan menarik simpati dari rakyat.
Ia pada bulan Juli 2003 melancarkan Mission Robinson, yakni sebuah program untuk melakukan kampanye memberikan pelajaran aritmatika, membaca, dan menulis secara gratis kepada lebih dari 1,5 juta remaja. Lalu ia menggelar Mission Guaicaipuro pada tanggal 12 Oktober 2003, yakni kampanye memberikan perlindungan kehidupan, agama, tanah, budaya, dan hak-hak orang-orang pribumi. Ia juga menggelar Mission Sucre pada akhir 2003, yakni program bebas pendidikan bagi pendidikan lebih tinggi pada dua juta remaja yang tak menyelesaikan pendidikan dasar mereka.
Chávez juga berusaha menarik simpati rakyatnya dengan memperlihatkan sikap melawan kepada AS dan negara-negara besar lainnya. Bahkan, dengan penuh kegarangan, ia bersitegang dengan Raja Juan Carlos dari Spanyol. Ia berusaha membangkitkan nasionalisme Venezuela. Ia ingin menunjukkan kepada rakyatnya bahwa ia pemimpin besar yang tidak mudah atau bahkan dapat ditundukkan oleh pemimpin negara lain.
Di dalam negeri, Chávez dengan kekuasaannya ingin mengendalikan semua lembaga dan institusi politik. Merasa dirinya kuat, pada tahun 2004 Chávez menggelar referendum untuk mengetes dukungan rakyat kepadanya. Dalam referendum itu rakyat ditanya apakah mereka akan menarik dukungan kepada Hugo Chávez? Sebanyak 59 persen suara (5.800.629) menyatakan "tidak" dan sebanyak 41 persen (3.989.008) menyatakan "ya", sementara 30 persen (4.222.269) menyatakan tidak memilih.
Merasa di atas angin dan tetap memperoleh dukungan rakyat, ia ingin memperluas dan memperkuat kekuasaannya. Langkah itu diambil dengan akan mengadakan referendum terhadap konstitusi yang antara lain membatasi masa jabatan seorang presiden (Konstitusi 1999 menyatakan masa jabatan presiden enam tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu masa jabatan).
Lewat referendum itu, ia ingin pembatasan masa jabatan presiden itu dihilangkan. Lewat referendum ia juga ingin membatasi otonomi bank sentral dan memperkuat kekuasaan negara. Dengan kata lain, lewat reformasi konstitusi, ia ingin memperoleh kekuasaan yang berlebih; menguasai hampir setiap institusi politik utama. Dan, ini yang paling penting, ia dapat dipilih terus semau dia!
Namun, nasib Chávez tidak sebaik Putin. Ia kalah dalam referendum yang berisi 69 paket perubahan konstitusi itu. Rakyat tidak menginginkan konstitusi diubah. Rakyat menolak kekuasaan tak terbatas bagi seorang presiden. Meskipun penentang perubahan konstitusi hanya unggul tipis—51 : 49—tetapi kekalahan itu memukul Chávez yang begitu populer dan berkuasa.
Inilah kekalahan pertama dan besar bagi Chávez sejak ia berkuasa sembilan tahun silam dan meruntuhkan cita-citanya untuk membangun "sosialisme abad 21" bagi Venezuela.
Rakyat telah berbicara. Chávez menghadapi sebuah kenyataan: rakyat lebih memilih rule of law, tegaknya aturan dan peraturan, tegaknya konstitusi, ia tak mampu berbuat apa-apa. Ia mengaku kalah, walau menyatakan akan terus berjuang.
Hasil referendum di Venezuela itu juga memberikan pelajaran bagi rakyat Rusia. Mereka dapat mengambil apa yang baik di Venezuela (bersatunya kelompok oposisi melawan penguasa yang otoriter), dan melihat kembali apa yang salah di negerinya.
Pada akhirnya, pertanyaan yang pernah muncul enam ratus tahun silam (Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral) mengemuka lagi: Apa yang lebih baik bagi negara, adanya pemimpin yang baik atau sistem hukum yang baik? Apa yang terjadi di Rusia dan Venezuela memberikan jawabannya.
No comments:
Post a Comment