Saturday, December 29, 2007

Tragedi Para Dinasti Politik di Asia Selatan



Pembunuhan atas mantan PM Pakistan Benazir Bhutto di Rawalpindi, Kamis (27/12), menjadi episode aktual dari kisah para dinasti politik di sejumlah negara di Asia Selatan yang berakhir dengan kematian. Benazir menjadi episode tersendiri dari tragedi yang menimpa Dinasti Bhutto yang begitu berpengaruh di Pakistan.

Apa yang dialami Dinasti Bhutto di Pakistan seperti juga dialami Dinasti Gandhi yang berpengaruh di India. Cerita yang mirip juga dialami keluarga Bandaranaike di Sri Lanka. Dinasti-dinasti ini praktis mendominasi kehidupan politik seusai negara-negara ini merdeka dari Inggris.

Mereka berkuasa di tengah keragaman suku dan agama yang acap kali berbenturan. Muncul kelompok militan. Tak sedikit juga aksi bersenjata membentuk negara sendiri. Belum lagi ambisi pemimpin militer yang merasa diri lebih pas untuk memimpin ketimbang para politisi tadi.

Dan anggota dinasti ini hampir tak ada yang lolos dari pembunuhan yang dilakukan kelompok bersenjata, militan, ataupun pemimpin militer yang ambisius. Kelompok Al Qaeda mengaku di balik pembunuhan Benazir.

Kematian Benazir berbeda dengan sang ayah, Zulfikar Ali Bhutto, yang merupakan pendiri dinasti. Zulfikar merupakan PM Pakistan pertama pilihan rakyat. Tetapi, pemimpin militer Jenderal Mohammad Zia ul-Haq melakukan kudeta tahun 1977 dan menghukum gantung Zulfikar Bhutto.

Nasib dua adik Benazir juga berakhir dengan pembunuhan. Shanawaz ditemukan tewas di Perancis, tahun 1985. Adiknya yang lain, Mir Murtaza, juga tewas dibunuh tahun 1996. Entah "kutukan" ini masih akan berlaku apabila anak cucu Bhutto ikut dalam politik kelak.

"Masih ada ancaman serangan, tetapi Allah melindungi siapa saja. Jadi saya tidak takut," ujar Benazir saat ziarah ke makam ayahnya di Naudero, Provinsi Sindh di selatan. Ini setelah dia lolos dari bom bunuh diri yang menewaskan 150 orang saat kembali ke Pakistan, Oktober lalu.

Dinasti Gandhi

Nasib Dinasti Gandhi di India tak jauh berbeda. PM India Indira Gandhi tewas ditembak pengawalnya yang beretnis Sikh tahun 1984. Rajiv Gandhi, putra Indira, mengambil alih tongkat dinasti.

Rajiv pun tak luput. Seorang perempuan meledakkan diri saat menjabat tangan Rajiv tahun 1991 di Tamil Nadu. Anggota kelompok bersenjata Pembebasan Tamil Eelam di balik aksi ini, setelah Rajiv mendukung Pemerintah Sri Lanka melawan aksi Tamil.

"Saya berupaya mencegahnya ke politik," tulis Sonia, istri Rajiv. Sonia juga berupaya tidak ke politik, sampai tahun 1998 saat didesak Partai Kongres (I). "Ini bagian dari kehidupan politik. Ibu mertua dan suami saya hidup dan mati demi negeri ini," ujar Sonia dalam wawancara tahun 2004.

Menurut analisis politik dan profesor sejarah pada Universitas Delhi, Manesh Ranganrajan, kawasan Asia Selatan tetap panas oleh kelompok yang merasa dikucilkan oleh demokrasi. Sementara militer merasa lebih pantas. "Mereka bertarung di antara ballot (surat suara) dan bullet (peluru)," ujar Manesh.

Di Sri Lanka, PM Solomon Bandaranaike tewas di tangan seorang biksu tahun 1959. Istrinya, Sirimavo Bandaranaike, lantas menjadi PM perempuan pertama di dunia. Putri mereka, Chandrika Kumaratunga, yang lantas menjadi PM dan presiden juga tak luput dari serangan Macan Tamil tahun 1999. Dia lolos, tetapi mata kanannya buta.

Di Banglades, seusai pisah dari Pakistan tahun 1971, para politisi juga tak luput dari pembunuhan. Sheikh Hasina ikut politik setelah ayahnya yang juga bapak kemerdekaan, Sheikh Mujibur Rahman, tewas dalam kudeta militer tahun 1975. Militer di Banglades merasa lebih pantas memimpin dibandingkan politisi.

Jenderal Ziaur Rahman, yang menjadi pemimpin seusai kudeta, terbunuh dalam kudeta militer yang gagal tahun 1981. Istrinya, Begum Khaleda Zia, menjadi PM tahun 1981. Saingannya, Sheikh Hasina, mengambil jabatan PM tahun 1996. Khaleda dan Hasina kini ditahan atas tuduhan korupsi.

Adanya "kutukan" atas politisi di Asia Selatan sebenarnya sudah disadari. Benazir Bhutto menyadari itu dan menghendaki tiga anaknya tidak ikut ke politik. (Reuters/ppg)

No comments: