Benazir, Putri dari Timur
Rikard Bagun
Pikiran menerawang jauh, membayangkan lagi wajah dan sebagian ekspresi Benazir Bhutto ketika ditemui dua kali tahun 1988, termasuk sebuah wawancara panjang.
Di tengah rasa terkejut atas berita pembunuhannya, 27 Desember lalu, suara bergumam spontan keluar, "Bagaimana mungkin salah satu ikon demokrasi dari Dunia Timur itu tewas secara keji."
Masih teringat, dalam percakapan pada 22 September 1988, di rumah peninggalan ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto, di Karachi (dulu ibu kota Pakistan), Benazir begitu yakin akan memenangi pemilu November tahun itu. Keyakinan itu kemudian terbukti benar. Luar biasa!
Wawancara itu ikut disaksikan ibunya, Ny Nusrat Bhutto, yang sesekali ikut nimbrung, dan dihadiri belasan tokoh inti Partai Rakyat Pakistan pimpinan Nusrat-Benazir.
Benazir yang waktu diwawancarai berusia 35 tahun, dan sedang hamil tua untuk anak pertama, tidak ingin dibandingkan dengan Presiden Filipina Cory Aquino, tapi lebih suka dibandingkan dengan John F Kennedy. "Boleh saja saya dibandingkan dengan Presiden Filipina. Ia juga sudah banyak mengalami penderitaan dan kehilangan suaminya. Ia juga hidup di bawah kediktatoran. Kami juga bangga karena keberhasilannya dalam perjuangan di Filipina," kata Benazir.
Namun, Benazir segera menambahkan, "Saya merasa kurang adil untuk membanding-bandingkan perempuan-perempuan pemimpin, apalagi hanya untuk dua perempuan saja. Saya berpikir, seyogianya yang dibandingkan adalah pemimpin yang seumur, atau pemimpin yang bersejarah."
Lebih jauh ia menyatakan, "Dalam arti tertentu saya lebih suka dibandingkan dengan John F Kennedy ketika ia tampil di panggung politik Amerika Serikat. Ia muda menurut ukuran Amerika, dan saya muda menurut ukuran Pakistan." Kennedy berumur 45 tahun ketika terpilih menjadi Presiden AS tahun 1961, dan Benazir berusia 35 tahun ketika diwawancarai.
"John F Kennedy harus melawan prasangka-prasangka kaku terutama karena ia seorang Katolik, apalagi belum pernah orang Katolik menjadi presiden di AS. Sedangkan saya adalah perempuan, dan seorang perempuan tidak pernah menjadi pemimpin di sebuah negara Islam. Dalam kondisi macam itu, saya harus melawan prasangka-prasangka kaku," katanya.
Tidak kalah menariknya ketika Benazir menyatakan, "Keinginan untuk membandingkan dengan John F Kennedy lebih karena saya beranggapan ia mempunyai cita-cita besar. Saya juga mempunyai idealisme bagi bangsa ini."
Proses identifikasi ini seakan menjadi lengkap ketika kematian Benazir mirip dengan yang dialami John F Kennedy tahun 1963. Keduanya mati ditembak di ruang publik.
Sekalipun sudah tiada, Benazir akan dikenang sebagai pembuat sejarah karena menjadi perempuan pemimpin pertama di negara Muslim, dan di lingkungan budaya yang menegasikan perempuan sebagai pemimpin.
Ketika ditanya tentang hambatan keagamaan dan kultural bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, Benazir menyatakan, "Islam adalah agama yang mengajarkan persamaan. Tradisi dan sejarah Islam memiliki banyak contoh tentang perempuan yang ikut berperang. Jadi, saya tidak merasa perempuan tidak penting karena Islam bukanlah pesan untuk pria saja atau perempuan saja."
Dengan tegas pula Benazir menyatakan, "Islam merupakan sebuah pesan yang menyerukan semua pengikutnya selalu melawan tirani dan kebatilan kekuasaan. Saya berpikir, perlawanan itu merupakan tanggung jawab setiap orang, entah itu pria atau perempuan, tua atau muda."
Benazir juga tidak ingin melakukan politik balas dendam ketika ditanya tentang Jenderal Zia ul-Haq yang mengudeta dan menggantung ayahnya. "Kami bukan berpolitik untuk membalas dendam. Kami berpolitik karena kami mempunyai impian dan visi bagi negara kami. Kami menghendaki masyarakat kami maju dan makmur."
Tidak mungkin mengungkapkan lagi hasil wawancara yang dimuat lengkap pada harian ini edisi Sabtu 24 September 1988. Setelah berkuasa tahun 1988, Benazir semakin menjadi pusat perhatian sebagai salah satu bintang panggung paling populer dan seperti telah menjadi bagian dari legenda tentang kehidupan seorang putri kerajaan.
Putri mendiang PM Zulfikar Ali Bhutto ini memang terkenal lincah, cerdas, cantik, dan memiliki pesona pribadi sampai media Barat menjulukinya "Putri dari Timur". Tubuhnya semampai, bergaya aristokrat, orator berbakat dan berasal dari keluarga tuan tanah kaya.
Dalam usia 16 tahun, Benazir (yang dalam bahasa Urdu berarti tiada taranya) dikirim ke Harvard (AS) dan kemudian ke Oxford (Inggris). Selama menjadi mahasiswa di dua perguruan tinggi bergengsi itu, Benazir menjadi aktivis mahasiswa terkemuka. Bahkan, ia terpilih menjadi Ketua Forum Perdebatan Oxford yang terkenal itu, persis pada pekan ayahnya terpilih sebagai PM pada Desember 1971.
Sekalipun mendapat banyak tantangan dari kaum ekstremis dan kelompok penentang demokrasi, Benazir tidak mau menyerah, terus menjaga cita-cita, tanpa berkedip memandang jauh ke depan bagi Pakistan yang demokratis dan modern. Benazir pun dikenal sebagai "Daughter of Destiny", putri yang mampu menentukan arah sejarah meski hidupnya berakhir tragis.
No comments:
Post a Comment