Mendulang "Kaldu" Anggaran
Vincentia Hanni S dan Suhartono
Para manajer hedge fund yang kaya raya kini tengah berlomba mendanai kampanye Presiden Amerika Serikat 2008. Nilai donasi kampanye mereka meroket. Mengutip riset Pusat Politik Responsif atau CRP, seperti dikutip AFP, penerima donasi itu antara lain Senator Christopher Dodd dari Partai Demokrat, Rudolph Giulani dari Partai Republik, menyusul para kandidat Demokrat, Barack Obama, Hillary Clinton, dan John Edwards.
Situasi ini diceritakan dalam berita Kompas 3 Desember 2007.
Pengusaha-pengusaha loyalis, seperti Warren Buffet yang mendanai Partai Republik dan George Soros yang mendanai Partai Demokrat, juga tak segan- segan mendonasi jutaan dollar untuk kampanye partai yang disokongnya.
Itulah suasana menjelang pemilu di Amerika Serikat 2008. Kampanye presiden di sana juga dibiayai dari dana-dana yang ditempatkan dalam investasi yang bersifat spekulatif.
Partai Republik maupun Partai Demokrat di Amerika Serikat beruntung, mereka memiliki pengusaha-pengusaha loyalis yang siap membiayai mereka, ataupun manajer hedge fund yang ikut membantu membiayai semua kegiatan politik partai.
Bagaimana dengan pemilu presiden di Indonesia ataupun pemilihan legislatif? Adakah pengusaha-pengusaha loyalis yang selalu membiayai semua kegiatan partai politik itu?
Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004, pendanaan pemilu ternyata juga menggunakan dana-dana pemerintah, baik departemen maupun pemerintah daerah.
Sebut saja salah satu contoh, kasus aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ke sejumlah politisi maupun calon presiden yang bersaing dalam Pemilu 2004. Fakta ini yang mengejutkan publik karena hampir semua capres, termasuk tim-tim sekoci pemenangan pemilu, ternyata mendapat dana DKP.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (KPK) pernah mengatakan, bukan hanya dirinya saja selaku Menteri Kelautan dan Perikanan, tetapi semua menteri pada saat itu juga "digerayangi" untuk ikut membiayai pemilu.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada satu lembaga pun, termasuk Komisi Pemilihan Umum, yang mampu mendeteksi berapa dan dari mana asalnya dana-dana yang digunakan untuk kampanye partai politik dan kampanye presiden.
Menurut analis independen dari Aspirasi Indonesia Research Institute Yanuar Rizky, partai politik di Indonesia belum memiliki pengusaha-pengusaha loyalis yang siap membiayai kampanye kepala daerah ataupun kampanye presiden.
Yanuar menyinyalir pembiayaan pemilu partai politik dan pemilu presiden bukan saja berasal dari korupsi pada anggaran pemerintah, tetapi juga dengan cara mengendapkan anggaran pemerintah di lembaga-lembaga keuangan.
"Korupsi tak cuma pada dagingnya, yaitu anggaran itu sendiri, tetapi juga melebar pada kaldunya, yaitu keuntungan atau bunga yang diperoleh dengan cara mengendapkan dana-dana pemerintah," kata Yanuar.
Modus untuk memperoleh "kaldu" anggaran itu dilakukan dengan cara mengendapkan dana-dana proyek, baik milik departemen maupun pemda di lembaga keuangan, seperti di bank, atau yang lebih canggih anggaran itu diputar dulu dan akhirnya dikembangbiakkan di pasar keuangan.
"Menjelang pemilu kepala daerah besar, seperti Pilkada DKI kemarin atau pemilu nasional, terjadi lonjakan volume dan indeks transaksi. Pola seperti ini terlihat dalam periode satu tahun sebelum Pemilu 2004 dan indikasi ini akan berulang menjelang Pemilu 2009," katanya.
Kisah Kendal
Dalam sebuah seminar tentang korupsi tahun lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemberantasan korupsi membawa efek samping bagi perekonomian.
Penyerapan anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan proyek pemerintah masih sangat kecil, tak kurang dari 30 persen sampai pertengahan tahun lalu. Menurut Wapres, tak ada yang mau menjadi pemimpin proyek karena takut masuk penjara dengan tuduhan korupsi.
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menampik kalau pimpro akan menyalahgunakan anggaran untuk melaksanakan Pemilu 2009 dan pilkada. "Saya kira sulit ya sekarang ini, ya itu tadi ketakutan masuk penjara, menjadi alasan utama," katanya.
Apakah benar rendahnya penyerapan anggaran berkorelasi dengan aksi pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dan penegak hukum lainnya?
Belajar dari kasus korupsi yang melibatkan Bupati Kendal Hendy Boedoro, ternyata ada modus lain mengapa penyerapan anggaran terlambat. Dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Hendy tidak langsung menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) yang diperolehnya dari pemerintah pusat.
Hendy memerintahkan anak buahnya, Warsa Susila, Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah, untuk memutar uang DAU tahun 2003 dari satu bank ke bank lain. Dari Rp 60 miliar DAU yang diterima Kendal, Hendy memutar Rp 45 miliar. Hendy tidak pernah melaporkan kegiatan pemutaran uang ini ke DPRD.
Uang DAU dipindahkan dari BPD ke BNI Cabang Kendal, dengan argumen Hendy, "Bunga di BPD cuma 4 persen setiap bulan, sementara BNI 12,5 persen."
Uang Rp 45 miliar diputar-putar dari Bank BPD, Bank BNI dalam bentuk deposito on call, kas daerah, keluar lagi ke Bank BNI, dan sebagian malah disimpan di Bank Danamon. Bahkan, menurut Warsa, ada Rp 2 miliar yang ternyata dipakai untuk partai politik asal Hendy, yaitu Rp 700 juta dipinjam PDI-P Cabang Kendal dan Rp 600 juta untuk pemindahan Kantor PDI-P. Mengutip pernyataan Warsa di persidangan, bunga deposito Bank BNI Kendal Rp 480 juta, hanya Rp 240 juta yang dikembalikan ke kas daerah, tetapi sisanya dimasukkan ke Bank Danamon.
Hendy ternyata tidak sendirian. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada Rp 96 triliun dana pemerintah yang disalurkan ke pemerintah daerah ternyata mengendap dalam simpanan di perbankan. Dana itu disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Padahal, daerah memerlukan modal finansial yang besar untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, serta kepentingan berbagai usaha sektor riil, tetapi ternyata malah banyak dana yang diparkir atau menganggur.
Dalam sebuah lokakarya Dana Alokasi Khusus di Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengancam tidak akan mencairkan DAK Rp 6,8 triliun yang tidak bisa terserap sampai 14 Desember 2007. Menurut Sri, ternyata dana tersebut juga ada yang masuk ke rekening lain yang tidak sesuai tujuan awal.
Yanuar mencurigai, uang- uang pemerintah itu memang sengaja mampir ke rekening-rekening pribadi, untuk selanjutnya diputar dan dikembangbiakkan di pasar keuangan, seperti saham. Fakta, transaksi keuangan di Bursa Efek Jakarta setiap hari sangat tinggi dan memiliki kecenderungan meningkat tajam.
Dalam sehari saja, transaksi di BEJ bisa mencapai Rp 8 triliun. "Kalau transaksi BEJ seagresif itu, kenapa perusahaan banyak yang tidak punya uang dan buruh banyak di-PHK? Ini artinya ada kesenjangan antara pasar modal dan kondisi perusahaan," kata Yanuar.
Sementara itu, pertumbuhan dana uang panas asing selama Desember 2006-Desember 2007 sekitar 150 persen, padahal transaksi hingga 500 persen.
Pertanyaannya, yang lain asalnya dari mana? Yanuar mempertanyakan mengapa banyak dana pemerintah diparkir di SBI, padahal kecenderungan bunga SBI turun terus. "Dari analisis saya, kotak hitamnya ada di saham, bukan SBI," katanya.
Ita Kurniasih, peneliti dari Centre Financial Investment and Securities Law, mengatakan, sebenarnya BEJ dan Bapepam- LK bisa mengetahui beneficial owner, namun sulit sekali menuntut kedua lembaga itu untuk transparan dan terbuka soal itu.
Gerakan antikorupsi
Gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih berjalan di ranah hukum, belum merambah ke ranah ekonomi.
Dalam konferensi internasional anggota Transparency International (TI) akhir Oktober lalu yang dihadiri oleh perwakilan dari 90 negara anggota TI, salah satu rekomendasinya adalah gerakan pemberantasan korupsi harus juga merambah sektor-sektor keuangan.
Beberapa negara, seperti Peru dan Nigeria, telah membuktikan, industri keuanganlah tempat aman dan nyaman untuk memutarkan uang hasil korupsi.
Menurut Ketua TI Huguette Labelle, aparat penegak hukum harus meningkatkan kapasitasnya untuk bisa melacak uang hasil korupsi. "Selama ini pemberantasan korupsi melupakan industri keuangan, padahal di sanalah uang banyak beredar," katanya.
Pemilu 2004 telah memberi pelajaran besar bahwa itulah waktunya politisi "menggerayangi" dana departemen dan pemda untuk membiayai pemilu. Hati-hati!
Mendulang "Kaldu" Anggaran
Vincentia Hanni S dan Suhartono
Para manajer hedge fund yang kaya raya kini tengah berlomba mendanai kampanye Presiden Amerika Serikat 2008. Nilai donasi kampanye mereka meroket. Mengutip riset Pusat Politik Responsif atau CRP, seperti dikutip AFP, penerima donasi itu antara lain Senator Christopher Dodd dari Partai Demokrat, Rudolph Giulani dari Partai Republik, menyusul para kandidat Demokrat, Barack Obama, Hillary Clinton, dan John Edwards.
Situasi ini diceritakan dalam berita Kompas 3 Desember 2007.
Pengusaha-pengusaha loyalis, seperti Warren Buffet yang mendanai Partai Republik dan George Soros yang mendanai Partai Demokrat, juga tak segan- segan mendonasi jutaan dollar untuk kampanye partai yang disokongnya.
Itulah suasana menjelang pemilu di Amerika Serikat 2008. Kampanye presiden di sana juga dibiayai dari dana-dana yang ditempatkan dalam investasi yang bersifat spekulatif.
Partai Republik maupun Partai Demokrat di Amerika Serikat beruntung, mereka memiliki pengusaha-pengusaha loyalis yang siap membiayai mereka, ataupun manajer hedge fund yang ikut membantu membiayai semua kegiatan politik partai.
Bagaimana dengan pemilu presiden di Indonesia ataupun pemilihan legislatif? Adakah pengusaha-pengusaha loyalis yang selalu membiayai semua kegiatan partai politik itu?
Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004, pendanaan pemilu ternyata juga menggunakan dana-dana pemerintah, baik departemen maupun pemerintah daerah.
Sebut saja salah satu contoh, kasus aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ke sejumlah politisi maupun calon presiden yang bersaing dalam Pemilu 2004. Fakta ini yang mengejutkan publik karena hampir semua capres, termasuk tim-tim sekoci pemenangan pemilu, ternyata mendapat dana DKP.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (KPK) pernah mengatakan, bukan hanya dirinya saja selaku Menteri Kelautan dan Perikanan, tetapi semua menteri pada saat itu juga "digerayangi" untuk ikut membiayai pemilu.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada satu lembaga pun, termasuk Komisi Pemilihan Umum, yang mampu mendeteksi berapa dan dari mana asalnya dana-dana yang digunakan untuk kampanye partai politik dan kampanye presiden.
Menurut analis independen dari Aspirasi Indonesia Research Institute Yanuar Rizky, partai politik di Indonesia belum memiliki pengusaha-pengusaha loyalis yang siap membiayai kampanye kepala daerah ataupun kampanye presiden.
Yanuar menyinyalir pembiayaan pemilu partai politik dan pemilu presiden bukan saja berasal dari korupsi pada anggaran pemerintah, tetapi juga dengan cara mengendapkan anggaran pemerintah di lembaga-lembaga keuangan.
"Korupsi tak cuma pada dagingnya, yaitu anggaran itu sendiri, tetapi juga melebar pada kaldunya, yaitu keuntungan atau bunga yang diperoleh dengan cara mengendapkan dana-dana pemerintah," kata Yanuar.
Modus untuk memperoleh "kaldu" anggaran itu dilakukan dengan cara mengendapkan dana-dana proyek, baik milik departemen maupun pemda di lembaga keuangan, seperti di bank, atau yang lebih canggih anggaran itu diputar dulu dan akhirnya dikembangbiakkan di pasar keuangan.
"Menjelang pemilu kepala daerah besar, seperti Pilkada DKI kemarin atau pemilu nasional, terjadi lonjakan volume dan indeks transaksi. Pola seperti ini terlihat dalam periode satu tahun sebelum Pemilu 2004 dan indikasi ini akan berulang menjelang Pemilu 2009," katanya.
Kisah Kendal
Dalam sebuah seminar tentang korupsi tahun lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemberantasan korupsi membawa efek samping bagi perekonomian.
Penyerapan anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan proyek pemerintah masih sangat kecil, tak kurang dari 30 persen sampai pertengahan tahun lalu. Menurut Wapres, tak ada yang mau menjadi pemimpin proyek karena takut masuk penjara dengan tuduhan korupsi.
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menampik kalau pimpro akan menyalahgunakan anggaran untuk melaksanakan Pemilu 2009 dan pilkada. "Saya kira sulit ya sekarang ini, ya itu tadi ketakutan masuk penjara, menjadi alasan utama," katanya.
Apakah benar rendahnya penyerapan anggaran berkorelasi dengan aksi pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dan penegak hukum lainnya?
Belajar dari kasus korupsi yang melibatkan Bupati Kendal Hendy Boedoro, ternyata ada modus lain mengapa penyerapan anggaran terlambat. Dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Hendy tidak langsung menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) yang diperolehnya dari pemerintah pusat.
Hendy memerintahkan anak buahnya, Warsa Susila, Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah, untuk memutar uang DAU tahun 2003 dari satu bank ke bank lain. Dari Rp 60 miliar DAU yang diterima Kendal, Hendy memutar Rp 45 miliar. Hendy tidak pernah melaporkan kegiatan pemutaran uang ini ke DPRD.
Uang DAU dipindahkan dari BPD ke BNI Cabang Kendal, dengan argumen Hendy, "Bunga di BPD cuma 4 persen setiap bulan, sementara BNI 12,5 persen."
Uang Rp 45 miliar diputar-putar dari Bank BPD, Bank BNI dalam bentuk deposito on call, kas daerah, keluar lagi ke Bank BNI, dan sebagian malah disimpan di Bank Danamon. Bahkan, menurut Warsa, ada Rp 2 miliar yang ternyata dipakai untuk partai politik asal Hendy, yaitu Rp 700 juta dipinjam PDI-P Cabang Kendal dan Rp 600 juta untuk pemindahan Kantor PDI-P. Mengutip pernyataan Warsa di persidangan, bunga deposito Bank BNI Kendal Rp 480 juta, hanya Rp 240 juta yang dikembalikan ke kas daerah, tetapi sisanya dimasukkan ke Bank Danamon.
Hendy ternyata tidak sendirian. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada Rp 96 triliun dana pemerintah yang disalurkan ke pemerintah daerah ternyata mengendap dalam simpanan di perbankan. Dana itu disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Padahal, daerah memerlukan modal finansial yang besar untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, serta kepentingan berbagai usaha sektor riil, tetapi ternyata malah banyak dana yang diparkir atau menganggur.
Dalam sebuah lokakarya Dana Alokasi Khusus di Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengancam tidak akan mencairkan DAK Rp 6,8 triliun yang tidak bisa terserap sampai 14 Desember 2007. Menurut Sri, ternyata dana tersebut juga ada yang masuk ke rekening lain yang tidak sesuai tujuan awal.
Yanuar mencurigai, uang- uang pemerintah itu memang sengaja mampir ke rekening-rekening pribadi, untuk selanjutnya diputar dan dikembangbiakkan di pasar keuangan, seperti saham. Fakta, transaksi keuangan di Bursa Efek Jakarta setiap hari sangat tinggi dan memiliki kecenderungan meningkat tajam.
Dalam sehari saja, transaksi di BEJ bisa mencapai Rp 8 triliun. "Kalau transaksi BEJ seagresif itu, kenapa perusahaan banyak yang tidak punya uang dan buruh banyak di-PHK? Ini artinya ada kesenjangan antara pasar modal dan kondisi perusahaan," kata Yanuar.
Sementara itu, pertumbuhan dana uang panas asing selama Desember 2006-Desember 2007 sekitar 150 persen, padahal transaksi hingga 500 persen.
Pertanyaannya, yang lain asalnya dari mana? Yanuar mempertanyakan mengapa banyak dana pemerintah diparkir di SBI, padahal kecenderungan bunga SBI turun terus. "Dari analisis saya, kotak hitamnya ada di saham, bukan SBI," katanya.
Ita Kurniasih, peneliti dari Centre Financial Investment and Securities Law, mengatakan, sebenarnya BEJ dan Bapepam- LK bisa mengetahui beneficial owner, namun sulit sekali menuntut kedua lembaga itu untuk transparan dan terbuka soal itu.
Gerakan antikorupsi
Gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih berjalan di ranah hukum, belum merambah ke ranah ekonomi.
Dalam konferensi internasional anggota Transparency International (TI) akhir Oktober lalu yang dihadiri oleh perwakilan dari 90 negara anggota TI, salah satu rekomendasinya adalah gerakan pemberantasan korupsi harus juga merambah sektor-sektor keuangan.
Beberapa negara, seperti Peru dan Nigeria, telah membuktikan, industri keuanganlah tempat aman dan nyaman untuk memutarkan uang hasil korupsi.
Menurut Ketua TI Huguette Labelle, aparat penegak hukum harus meningkatkan kapasitasnya untuk bisa melacak uang hasil korupsi. "Selama ini pemberantasan korupsi melupakan industri keuangan, padahal di sanalah uang banyak beredar," katanya.
Pemilu 2004 telah memberi pelajaran besar bahwa itulah waktunya politisi "menggerayangi" dana departemen dan pemda untuk membiayai pemilu. Hati-hati!
No comments:
Post a Comment