demokrasi
AKP dan Liku-liku Partai Islam di Turki
Musthafa Abd Rahman
Pemilihan umum dini parlemen Turki telah selesai dengan hasil seperti yang sudah diduga sebelumnya. Yakni, kemenangan gemilang partai Keadilan dan Pembangunan atau AKP pimpinan Recep Tayyip Erdogan yang berbasis Islam.
AKP meraih 46,7 persen suara (340 dari 550 kursi parlemen), disusul partai Rakyat Republik (CHP) yang berbasis sekuler 20,9 persen (113 kursi), kemudian Partai Aksi Nasionalis (MHP) yang berbasis nasionalis sekuler 14,3 persen (70 kursi), terakhir kubu independen 5,1 persen (27 kursi).
Keberhasilan AKP dalam pemilu legislatif kali ini bukan suatu kejutan, tetapi kesuksesan MHP meraih 14,3 persen suara merupakan kejutan besar yang membuat partai tersebut masuk parlemen lagi.
Pada pemilu tahun 2002, MHP gagal memperoleh suara signifikan hingga tidak bisa masuk parlemen. Sebaliknya, perolehan suara CHP merosot tajam, yakni sebanyak 178 kursi pada pemilu tahun 2002 menjadi hanya 113 kursi pada pemilu tahun 2007.
Hasil pemilu dini legislatif tersebut tentu tidak terlepas dari perkembangan terakhir di Turki. Khusus bagi MHP, keberhasilannya disebabkan adanya kecenderungan semakin meningkatnya aktivitas partai Pekerja Kurdistan atau PKK di Irak Utara dan wilayah Turki tenggara.
Bahkan, PKK dituduh terlibat dalam sebuah ledakan dahsyat di ibu kota Ankara yang menewaskan puluhan warga Turki. Maka, nasionalisme rakyat Turki dibangkitkan oleh meningkatnya aktivitas PKK itu. MHP pun yang berbasis nasionalis diprediksi meraih suara signifikan pada pemilu legislatif kali ini.
Itulah realita yang memang terjadi pada pemilu legislatif kali ini di Turki. Adapun keberhasilan gemilang AKP menunjukkan rakyat Turki memberikan solidaritasnya pada partai berbasis Islam itu menyusul krisis politik akibat isu pemilihan presiden akhir-akhir ini.
Seperti dimaklumi, upaya AKP mencalonkan Menteri Luar Negeri Abdullah Gul sebagai Presiden Turki mendatang dijegal oleh lembaga militer dan CHP. Hal itulah yang membuat Perdana Menteri (PM) Erdogan meminta digelar pemilu dini legislatif.
Media massa Turki menyebutkan, mayoritas rakyat Turki kini bersatu di belakang AKP. Wartawan senior Turki, Sefer Turan, mengatakan, AKP kini merupakan representatif dari semua elemen rakyat Turki karena partai itu menang di hampir semua wilayah di negeri itu.
Mengapa AKP yang berbasis Islam kini mampu menjadi representatif dari semua elemen rakyat di negeri yang menganut faham sekuler sejak diproklamasikannya Turki modern pada tahun 1923 oleh Mustafa Kemal Ataturk?
Turki modern memang segera mengambil kebijakan menghapus semua simbol berbau Islam yang menjadi peninggalan imperium Ottoman.
Ataturk, misalnya, mengganti sistem khalifah dengan sistem negara bangsa yang berbasis sekuler, mencerabut rakyat Turki dari akar sejarah Islamnya yang malang melintang selama enam abad, mengucilkan negeri Turki dari lingkungan dunia Islam, menggantikan libur hari Jumat dengan hari Minggu, menggantikan huruf Al Quran berbahasa Arab dengan bahasa Turki, menggantikan tulisan bahasa Arab dengan bahasa Turki, dan menggantikan penutup kepala sorban dengan tarbush khas Turki.
Akan tetapi, sistem sekuler itu tidak mampu menembus infrastruktur sosial rakyat Turki dan tidak dapat pula memusnahkan sentimen keagamaan sebagian besar rakyat negara itu.
Rakyat Turki pun terpecah menjadi dua komunitas, yakni komunitas minoritas modern dan komunitas mayoritas konservatif. Pada gilirannya, terjadi konflik sosial dan politik antara dua komunitas tersebut yang tidak pernah berhenti sejak diproklamasikannya negara Turki modern hingga hari ini.
Pada era tahun 1940-an, 1950-an, dan 1960-an, disebut masa perjuangan kekuatan Islam, politik di Turki muncul kembali di permukaan setelah dibekuk habis pada era tahun 1920-an dan 1930-an. Namun, upaya kekuatan Islam politik pada era tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan.
Pada era tahun 1970-an dan 1980-an, negara Turki modern mulai melunakkan sikapnya terhadap kekuatan Islam politik, disebabkan situasi politik dan ekonomi di tingkat regional dan internasional saat itu.
Ada dua faktor menonjol yang memaksa negara Turki modern bersedia menggunakan sentimen keislamannya saat itu. Pertama, isu Siprus. Kedua, ingin mengambil manfaat dari negara petro dollar di negara Teluk.
Turki pun masuk menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan mengesahkan konstitusi pada tahun 1982 yang mewajibkan pelajaran agama di sekolah tingkat dasar. Kebijakan budaya Pemerintah Turki saat itu menjadikan Islam sebagai elemen yang tidak bisa terpisahkan dari budaya Turki.
Ottoman baru
Perkembangan beberapa dekade terakhir ini sesungguhnya mulai menggeliat opini di kalangan masyarakat Turki tentang pentingnya mengevaluasi kembali dasar-dasar pemikiran Kemal Ataturk yang dinilai sudah banyak ketinggalan zaman. Pernah muncul pula ide "Ottoman Baru" dan "Republik Kedua" untuk menggantikan republik pertama yang digagas Ataturk.
Singkat kata, negara Turki modern bikinan Ataturk mulai digugat. Ide Ottoman baru atau republik kedua itu, dicanangkan menerapkan prinsip demokrasi secara total, kebebasan individu, memberi hak penuh kepada kelompok minoritas, seperti kaum Kurdi, dan menempatkan supremasi sipil atas militer.
Kelemahan negara republik pertama Turki versi Ataturk itu, cenderung mengabaikan hak kaum minoritas, khususnya kaum Kurdi, menerapkan demokrasi setengah hati, dan menempatkan supremasi militer atas sipil. Akan tetapi, geliat opini tersebut terbentur dengan sikap keras lembaga militer dan kaum nasionalis sekuler radikal yang masih sangat setia pada ajaran Ataturk.
Pada tahun 1990-an, lembaga militer dan kaum sekuler radikal melancarkan berbagai aksi untuk mereduksi sedemikian rupa geliat pengaruh Islam politik. Berbagai aksi tersebut di antaranya, pertama, memecat tentara dan perwira militer yang diketahui punya simpati pada Islam. Kedua, para tentara dan perwira militer yang dipecat tersebut dilarang bekerja lagi di lembaga negara yang lain. Ketiga, membatasi aliran dana dari luar negeri yang dikhawatirkan masuk ke rekening-rekening lembaga-lembaga Islam. Keempat, memboikot perusahaan-perusahaan Islam dan dilarang berbisnis dengan lembaga negara. Kelima, harus komitmen penuh terhadap butir no 174 dari konstitusi negara yang menegaskan tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Ataturk. Keenam, membubarkan partai Islam Refah dan melarang pimpinannya melakukan aktivitas politik selama lima tahun.
Namun, lembaga militer dan kaum sekuler radikal tidak berhasil membuat kaum Islamis putus asa atau memilih jalan kekerasan. Mereka juga gagal meniadakan kekuatan riil Islam di tengah masyarakat.
Kegagalan upaya lembaga militer dan kaum sekuler radikal itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, penerapan demokrasi di Turki—meskipun dalam level yang rendah pada dekade lalu— tetap memberi ruang pada kaum Islamis untuk bisa bertahan dan kembali lagi melakukan aktivitas politik secara konstitusional.
Kaum Islamis mampu menunjukkan sikap bijaksana dan tanggung jawabnya dalam menghadapi aksi-aksi provokasi kaum sekuler radikal yang sempat melarang kaum Islamis melakukan aktivitas politik itu. Kaum Islamis memilih tidak menggunakan jalan kekerasan dalam menghadapi manuver politik kaum sekuler radikal yang bisa membawa ke arah meletusnya perang saudara.
Kedua, kemampuan kaum Islamis beradaptasi dengan perubahan-perubahan di tingkat regional dan internasional, serta mampu meredam secara bijak atas gerakan anti Islamis. Pimpinan kaum Islamis tidak pernah menyerukan berdirinya negara Islam atau penerapan syariat Islam di Turki. Mereka menyadari seruan semacam itu hanya akan menjadi bumerang bagi mereka, karena tentu saja akan mendapat tantangan keras dari lembaga militer dan kaum sekuler radikal.
Sebaliknya, wacana politik kaum Islamis sangat menekankan pada isu-isu ekonomi dan problema keseharian, seperti pemberantasan pengangguran, pengentasan rakyat dari kemiskinan, penegakan keadilan, pertumbuhan ekonomi, pentingnya investor, kebersihan, dan ketertiban.
Pembubaran partai
Kaum Islamis juga selalu bersikap demokratis menghadapi keputusan pembubaran partai-partai Islam oleh lembaga militer pada dekade lalu. Kaum Islamis menerima pembubaran partai Sistem Nasional yang berhaluan Islam pimpinan Necmettin Erbakan pada 20 Mei 1971. Kaum Islamis juga tidak menentang pembubaran partai Keselamatan Nasional pimpinan Necmettin Erbakan pada 12 September 1980. Kaum Islamis tidak resah dengan pembubaran partai Refah pimpinan Necmettin Erbakan pada 16 Januari 1998.
Erbakan saat itu berkomentar, keputusan pembubaran partai Refah hanya masalah kecil dalam perjalanan sejarah politik Turki dan semua pihak hendaknya tenang menghadapi keputusan itu. Ketika partai Fadhilah (pengganti partai Refah) dibubarkan lagi pada tahun 2000, kaum Islamis menanggapi dengan mendirikan dua partai berhaluan Islam, yaitu partai Saadah pada Juni 2001 serta partai AKP pimpinan Recep Tayyip Erdogan pada Agustus 2001.
Ketiga, kemampuan kaum Islamis meraih kepercayaan rakyat karena keberhasilannya memperbaiki ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan kestabilan dan keamanan.
Dalam berbagai pemilu, perolehan suara partai-partai Islam selalu menunjukkan peningkatan, yakni pada pemilu tahun 1991 meraih 11,9 persen suara, tahun 1994 meraih 19,1 persen, 1995 memperoleh 21,1 persen suara. Hanya pada pemilu 1999, perolehan suara partai Islam menurun, yakni hanya 15,6 persen. Perolehan suara partai Islam melalui AKP kembali meningkat tajam pada pemilu 2002, yakni berhasil menguasai 363 dari 550 kursi parlemen.
Kegemilangan AKP itu kemudian terulang lagi pada pemilu dini legislatif tahun 2007 ini. Itulah liku-liku perjalanan partai berbasis massa Islam di Turki hingga mencapai kejayaan di tengah terpaan kaum sekularis radikal di negara itu.
No comments:
Post a Comment