Wednesday, July 11, 2007

Pakistan
Ulama Bersuara Lembut Itu Akhirnya Tewas

Penyerbuan terhadap Masjid Merah dilakukan tentara Pakistan setelah perundingan yang dipimpin mantan Perdana Menteri Chaudry Shujaat Hussain berakhir buntu. Presiden Pervez Musharraf menolak memberikan amnesti, termasuk kepada para aktivis garis keras dari negara lain yang ikut bertahan di dalam masjid.

Amnesti, itulah permintaan ulama senior di masjid, Abdul Rashid Ghazi. "Kami menawarkan kepadanya banyak hal, tetapi dia belum siap untuk menyetujui persyaratan dari kami," kata Chaudry, yang berunding dengan Ghazi melalui pengeras suara dan telepon seluler.

Rahmatullah Khalik, ulama senior yang bergabung dalam delegasi 12 juru runding, menuduh Musharraf menyabotase naskah kesepakatan yang akan disepakati dengan Ghazi. Dia mengungkapkan, Chaudry sebenarnya sudah menyiapkan sebuah perjanjian di mana Ghazi hanya akan dipenjarakan dalam waktu singkat di sebuah penjara terlindungi dan pemerintah setuju membebaskan seluruh siswa. Hanya mereka yang dicari oleh polisi yang akan ditangkap.

"Kami gembira dan berharap seluruh bangsa akan mendengar sebuah berita baik, tetapi pemerintah mengubah hampir semua naskah kesepakatan. Pemerintah bertanggung jawab atas pertumpahan darah ini," kata Chaudry.

Pengepungan Masjid Merah menjadikan kawasan di sekitar masjid seperti medan perang. Tentara terlihat di berbagai tempat dengan senapan-senapan mesin menyembul dari gundukan pasir yang menjadi tempat perlindungan para tentara. Mobil-mobil lapis baja pun hilir mudik di sekitar masjid itu.

Ulama bersuara lembut

Setelah menyerang lebih dari 12 jam, tentara menembak Ghazi. "Ghazi dikelilingi pendukung yang tak menginginkannya menyerah dan dia tertembak dalam baku serang," kata juru bicara Departemen Dalam Negeri, Javed Iqbal Cheema.

Ghazi bertahan di ruang bawah tanah. Tentara memintanya keluar. "Ia keluar bersama pendukung yang melepaskan tembakan. Tentara membalas dan Ghazi tertembak," kata Cheema.

Lahir di kampung Basti Abdullah, barat daya Provinsi Baluchistan, Ghazi belajar di dua sekolah agama di Rawalpindi. Dia meraih gelar master bidang hubungan internasional dari Universitas Quaid-e-Azam yang prestisius di Islamabad dan kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan. Bahkan, menurut beberapa laporan, Ghazi juga sempat bekerja untuk UNESCO.

Abdul Rashid Ghazi (43) dikenal sebagai ulama yang berbicara lembut sehingga sangat dihormati Pemerintah Pakistan. BBC menyebutkan, sewaktu masih seorang siswa, dia dianggap sebagai Muslim moderat. Dia menjadi penganut garis keras setelah ayahnya, Mohammad Abdullah, yang pernah memimpin Masjid Merah, dibunuh karena alasan agama pada 1998.

Bersama kakaknya, Maulana Abdul Aziz, Ketua Ulama Masjid Merah, Ghazi membangun hubungan dengan kelompok-kelompok garis keras dan sering mengecam dukungan Pakistan atas perang melawan terorisme pimpinan Amerika Serikat.

Sebuah fatwa, yang disampaikannya pada tahun 2004, menyatakan bahwa sembahyang jenazah tidak boleh dilakukan terhadap tentara Pakistan yang tewas dalam perang melawan Al Qaeda. Hal tersebut membuatnya "bertabrakan" dengan pemerintah. Apalagi setelah peristiwa 11 September, dia terus menjadi pengkritik keras Presiden Musharraf.

BBC menyebutkan, para siswa di dalam masjid itu dan sekolah-sekolah yang menyatu di dalamnya gencar melakukan kampanye selama berbulan-bulan untuk memberlakukan hukum syariah di Pakistan. Akan tetapi, aksi-aksi mereka kemudian menimbulkan kemarahan publik yang semakin memuncak, setelah mereka menculik beberapa polisi dan rakyat biasa yang mereka anggap terlibat dalam aktivitas-aktivitas tidak bermoral.

Penculikan tujuh pekerja warga China yang dituduh mengelola prostitusi menjadi puncak tindakan yang menimbulkan kemarahan pemerintah. Penculikan itu mempermalukan Presiden Musharraf di hadapan Pemerintah China, mitra dekat Pakistan pada saat ini.

Tidak lama setelah penculikan warga China itu, militer Pakistan melakukan pengepungan atas Masjid Merah yang berlangsung hingga satu minggu, sampai akhirnya Musharraf memutuskan melakukan serangan besar-besaran. (AP/Reuters/OKI)

No comments: