Terobosan Menuju Negara Palestina
TB Silalahi
Tidak pernah diduga sebelumnya, kondisi Palestina menjadi terbagi dua seperti sekarang ini, yaitu Tepi Barat dikuasai oleh Fatah dan Jalur Gaza dikuasai oleh Hamas.
Dalam sejarahnya memang selalu terjadi perselisihan maupun konflik internal di tubuh PLO. Namun, pada waktu kepemimpinan Yasser Arafat, karena dia merupakan pemimpin legendaris, semua konflik internal tidak pernah mengakibatkan Palestina terpecah seperti sekarang ini.
Kelihatannya dengan situasi tersebut perjuangan Palestina menjadi semakin sulit. Hal ini bisa dipahami dan bisa juga benar. Saya selalu melihat bahwa semua hambatan maupun tantangan dapat diubah menjadi kesempatan. Dilihat dari sejarah, sebelum negara Israel berdiri tahun 1948, Jalur Gaza dikuasai Mesir, sementara Tepi Barat atau West Bank dikuasai Jordania. Jadi sesungguhnya tanah yang asli dari Palestina-Arab itu sendiri justru hanya yang ditempati atau dikuasai oleh Israel sebelum perang tahun 1967, sesuai dengan UN Partition Plan 1947. Artinya, Mesir dan Jordania mempersilakan dan membantu rakyat Palestina merebut tanah yang diduduki Israel.
Jadi seakan-akan geografi ini menjustifikasi terjadinya dua kelompok di sana, yaitu adanya tanah Mesir yang dikuasai Hamas dan adanya tanah Jordania yang kemudian menjadi wilayah Fatah. Perkembangan selanjutnya terjadi pada periode sesudah selesai perang tahun 1948 sampai sebelum perang tahun 1967. Mesir melepaskan klaimnya terhadap Jalur Gaza dan diserahkan menjadi wilayah Palestina-Arab yang perlu diperjuangkan melawan Israel. Begitu juga Jordania, akhirnya melepaskan Tepi Barat menjadi wilayah yang diserahkan kepada Palestina-Arab sebagai wilayah yang perlu diperjuangkan melawan Israel. Saya masih mengatakan Palestina-Arab karena pada waktu itu sebenarnya nasionalisme Palestina sendiri masih berada dalam tahap berkembang karena negara Barat sendiri mengatakan pada waktu itu wilayah tersebut adalah wilayah Arab, begitu saja.
Dengan terpecahnya dua kubu ini dan mempunyai wilayah masing-masing, walaupun sementara barangkali, banyak pihak yang menjadi pesimistis. Namun, saya melihat dari sisi lain. Sekiranya terjadi negosiasi lanjutan sesuai peta jalan damai yang dirumuskan oleh kumpulan negara yang dijuluki Kuartet, yaitu PBB, Uni Eropa, Rusia, dan Amerika Serikat, halangan yang paling berat justru terletak pada wilayah Tepi Barat, yaitu pada wilayah yang dikuasai oleh Fatah sekarang ini.
Wilayah Jalur Gaza boleh dikatakan hampir tidak ada masalah karena Israel ikhlas saja memberikan Jalur Gaza itu menjadi wilayah Palestina. Namun, yang paling krusial dan yang paling sulit serta menjadi hambatan utama dilihat dari segi geografi justru pada Tepi Barat. Karena, di Tepi Barat ini juga terletak Jerusalem, yang merupakan tanah suci bagi kedua belah pihak dan mempunyai sejarah ribuan tahun, terutama Jerusalem Timur yang disebut dengan Jerusalem Lama atau The Old Jerusalem. Setelah perang tahun 1948 selesai, Jerusalem Barat dikuasai Israel, sedangkan Jerusalem Timur masih dikuasai oleh Jordania dan kemudian oleh Palestina. Sesuai dengan UN Partition Plan 1947, kota Jerusalem (Timur dan Barat) menjadi netral sebagai "wilayah internasional". Di situlah terletak antara lain Masjid Al Aqsa, Masjid Qubbat As-Sakhrah (Dome of the Rock), yaitu masjid yang dibangun untuk menghormati Khalifah Oemar bin Chatib, dan tembok ratapan (wailing wall), yang sangat disakralkan oleh kedua belah pihak. Singkatnya, apabila masalah tanah di Tepi Barat ini bisa terselesaikan, niscaya hambatan untuk berdirinya negara Palestina sebagian besar sudah teratasi. Namun, justru situasinya adalah Fatah yang menguasai Tepi Barat didukung oleh Israel ataupun Kuartet. Adapun Hamas, yang menguasai tanah yang tidak ada problemnya yaitu Jalur Gaza, justru bertentangan dengan Kuartet atau tidak sepaham dan sejalan dengan peta jalan damai atau road map yang diciptakan tadi.
Nah, saya mempunyai pandangan sekiranya Palestina mau melaksanakan perjuangan secara bertahap dan sekaligus ingin menguji itikad baik Kuartet, terutama Israel, biar saja Presiden Mahmoud Abbas mulai berunding dengan Israel untuk kemerdekaan negara Palestina dengan wilayah Tepi Barat dulu sebagai wilayahnya Palestina. Nanti, Jalur Gaza bisa menyusul. Indonesia dulu merdeka dengan wilayah minus Papua dan belakangan baru Pulau Papua diperjuangkan walaupun tentu sangat berbeda situasinya. Kalau ini berhasil, negara Palestina berdiri dengan wilayah Tepi Barat dan masalah Jerusalem tercapai konsensus, saya yakin bahwa Hamas yang berada di Jalur Gaza akan bergabung. Namun, tentunya justru hambatan yang utama adalah Israel karena Israel tidak akan pernah setuju dengan strategi bertahap tersebut.
Apa alasannya? Sebab, kalau negara Palestina sudah berdiri di atas tanah di Tepi Barat sekarang, sedangkan Hamas yang menduduki Jalur Gaza tidak ikut berdamai dengan Israel, Israel tidak akan mau. Bagi Israel, sekiranya Palestina sudah berdiri di Tepi Barat, Israel tidak mau berurusan langsung dengan Hamas yang ada di Jalur Gaza karena tentu Hamas akan didukung oleh sponsor-sponsor garis keras sehingga akan menguras lagi tenaga Israel untuk bertempur melawan Hamas, yang akan memakan waktu yang cukup lama dan korban yang banyak. Daripada Israel langsung berurusan dengan Hamas, biarlah Fatah atau PLO secara keseluruhan mengatasi Hamas dan menanggung semua risikonya.
Apakah perlu strategi ini ditempuh? Menurut pandangan saya perlu, paling tidak untuk menguji kesungguhan Israel sendiri, termasuk Kuartet, apakah mereka memang ikhlas untuk mendirikan negara Palestina.
No comments:
Post a Comment