Politik Pendidikan Gordon Brown
Oleh Riza Sihbudi
Tanggal 27 Juni 2007 akan dicatat sebagai salah satu hari bersejarah bagi rakyat Inggris. Sebab, pada hari itu, berakhirlah yang selama ini dikenal "era Tony Blair" yang menjadi salah satu PM terlama dalam sejarah Inggris (mulai 3 Mei 1997 hingga 27 Juni 2007). Blair yang bernama lengkap Anthony Charles Lynton Blair itu dikenal sebagai salah seorang politikus muda Inggris (kelahiran 6 Mei 1953) yang brilian.
Namun, Blair harus meletakkan jabatannya setelah dikecam terus-menerus, baik dari kolega, oposisi, media massa, maupun para pengamat, dalam lima tahun terakhir akibat kebijakan luar negerinya yang terlalu membeo pada George W. Bush.
Kesetiaannya yang dianggap berlebihan pada Bush tidak jarang membuat dirinya dituding lebih sebagai "juru bicara" Bush ketimbang sebagai PM Inggris. Terakhir, ketika dia secara resmi meninggalkan Downing Street No 10 London ("istana" PM Inggris), ada sejumlah demonstran yang mengusung poster bertulisan "Blair Teroris" dan "Blair Kriminal".
Memang, kebijakan luar negeri Blair yang kelewat pro-Bush dianggap telah merugikan kepentingan nasional Inggris secara umum. Tidak hanya lantaran tewasnya sekitar 200 tentara Inggris di Iraq dan Afghanistan, melainkan juga menjadikan negara ini selalu dibayang-bayangi ancaman terorisme.
Misalnya, pengeboman di London 7 Juli 2005 (dikenal sebagai "tragedi 7/7") yang menewaskan 52 warga sipil, ancaman peledakan pesawat trans-Atlantik di Bandara Heathrow (10 Agustus 2006), ancaman bom mobil di pusat Kota London (29 Juni 2007), dan serangan terhadap Bandara Glasgow (30 Juni 2007).
Selain itu, anggaran negara yang banyak -diperkirakan lebih dari USD 6 miliar) tersedot untuk mendanai invasi ke Iraq dan Afghanistan- berdampak pada semakin melonjaknya biaya di hampir seluruh sektor ekonomi di Inggris. Hal itu tentu sangat merugikan kalangan menengah ke bawah.
Jumlah pengangguran pun diperkirakan sudah meningkat tiga kali lipat sejak invasi ke Iraq. Simpati pada Amerika pun menjadi turun drastis di kalangan publik Inggris (lihat Amerika Makin Tak Dipercaya, Jawa Pos, 29 Juni 2007).
***
Sudah tentu tidak fair jika hanya melihat sisi negatif kebijakan Blair. Banyak juga hal positif yang ditinggalkan. Keberhasilan Blair mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik di Irlandia Utara (antara penganut Protestan dan Katolik) jelas merupakan prestasi yang bisa dibanggakan. Juga, keberhasilan Blair di sektor pendidikan. Ketika baru terpilih sebagai PM Inggris pada 1997, dia menyatakan, ada tiga prioritas kebijakan yang akan dijalankan. Yaitu, education, education, education.
Dibandingkan pemerintahan Inggris sebelumnya, pemerintahan Blair secara tegas menyatakan bertanggung jawab untuk melayani pembenahan sektor pendidikan. Hasilnya cukup fantastis. Dalam sepuluh tahun terakhir, nilai akhir ujian nasional untuk para siswa tahun ke-7, 11, dan 14 (kira-kira setingkat kelas enam SD, tiga SMP, dan tiga SMA) menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Investasi pemerintah Blair di sektor pendidikan bahkan melebihi angka rata-rata yang ditetapkan OECD (Organisasi Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi). Dalam sepuluh tahun terakhir, misalnya, Blair berhasil membangun lebih dari 1.000 sekolah baru, menghasilkan 36.000 guru tambahan dan lebih dari 150 ribu staf pendukung sekolah serta meningkatkan berbagai fasilitas lain di bidang pendidikan seperti jaringan komputer dan fasilitas olahraga.
Di bawah pemerintahan Blair, alokasi anggaran pendidikan Inggris mengalami kenaikan fantastis. Yaitu, dari USD 60 miliar (1997) menjadi USD 120 miliar (2007), dari USD 5.000 dolar per siswa (1997) menjadi USD 11.000 per siswa (2007), atau dari 4,7 persen GDP (1997) menjadi 5,6 persen GDP (2007). Dengan kata lain, dari yang terendah menjadi yang tertinggi di antara negara-negara industri maju (www.hm-treasury.gov.uk).
Karena itu, tidak mengherankan jika setiap tahun diperkirakan lebih dari 500 ribu mahasiswa dari dalam dan luar negeri mengambil program pascasarjana di Inggris.
***
Keberhasilan Blair meningkatkan sektor pendidikan di Inggris jelas tidak bisa dilepaskan dari peran Gordon Brown, menteri keuangan sekaligus "orang nomor dua" pada pemerintahan masa itu.
Kini, Brown sudah resmi menjadi PM. Politikus asal Skotlandia (yang pertama menjadi PM Inggris Raya) kelahiran 20 February 1951 dan bernama lengkap James Gordon Brown tersebut sudah bisa dipastikan meneruskan bahkan lebih meningkatkan kinerja sektor pendidikan.
Salah satu perubahan penting yang dilakukan Brown dalam struktur pemerintahannya yang baru terbentuk adalah merombak Departemen Pendidikan dan Keahlian (Department for Education and Skills atau DfES) yang sebelumnya dipimpin Menteri (Secretary) Alan Johnson -kini dia menjadi menteri kesehatan.
Dalam struktur baru, DfES dipecah menjadi dua. Yaitu, Departemen Urusan Anak, Sekolah, dan Keluarga (Department for Children, Schools, and Families atau DCSF) yang dipimpin Secretary Edward Michael Balls, serta Departemen Inovasi, Universitas, dan Keahlian (Department of Innovation, Universities and Skills atau DIUS) di bawah Secretary John Yorke Denham.
DCSF bertugas mengoordinasikan seluruh kebijakan pemerintah yang terkait dengan bidang kepemudaan dan keluarga serta bertanggung jawab meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan sosial bagi anak-anak di bawah usia 19 tahun.
DIUS diberi tanggung jawab meningkatkan kualitas pendidikan tinggi (termasuk riset ilmiah) dan keahlian kaum muda yang "siap pakai" sebagai tenaga-tenaga kerja andal. Tujuan utamanya adalah menjadikan Inggris sebagai "one of the best places in the world for science, research and innovation".
Memang masih belum jelas bagaimana masa depan nasib para menteri muda (minister) bidang pendidikan era Blair, seperti Bill Rammell (menteri muda urusan pendidikan tinggi), Jim Knight (sekolah), Beverley Hughes (anak-anak dan keluarga), dan Phil Hope (keahlian). Sudah tentu, langkah yang ditempuh Brown itu pun menimbulkan pro-kontra di kalangan para pakar pendidikan.
Sekjen Persatuan Guru Nasional (National Union of Teachers) Steve Sinnott, misalnya, menyambut gembira pengangkatan Ed Balls yang "penuh energi dan ide-ide segar". Namun, Francine Bates yang mengepalai lembaga untuk anak cacat (disabled child) meragukan kemampuan Balls untuk bisa meningkatkan kualitas pendidikan bagi para penyandang cacat.
Gemma Tumelty, presiden Persatuan Mahasiswa Nasional (National Union of Students), mengingatkan John Denham soal tantangan berat terkait dengan anggaran pendidikan tinggi dan pentingnya melibatkan perwakilan mahasiswa guna meningkatkan kualitas dunia akademis.
Tampaknya, masih harus ditunggu hasil konkret politik pendidikan pemerintahan baru Inggris di bawah PM Brown. Yang jelas, semakin tinggi biaya ekonomi Inggris akan membuat pendidikan tinggi di negeri itu pun semakin mahal dan semakin sulit terjangkau. Tidak hanya bagi warga dari negara-negara berkembang, melainkan juga bagi warga menengah ke bawah di Inggris.
Karena itu, banyak warga Inggris yang berharap pemerintahan Brown akan mampu menurunkan biaya ekonomi negaranya. Salah satunya, menarik pulang kekuatan militer Inggris dari Iraq dan Afghanistan.
RIZA SIHBUDI, penasihat ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies) dan atase Pendidikan KBRI London. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Oleh Riza Sihbudi
Tanggal 27 Juni 2007 akan dicatat sebagai salah satu hari bersejarah bagi rakyat Inggris. Sebab, pada hari itu, berakhirlah yang selama ini dikenal "era Tony Blair" yang menjadi salah satu PM terlama dalam sejarah Inggris (mulai 3 Mei 1997 hingga 27 Juni 2007). Blair yang bernama lengkap Anthony Charles Lynton Blair itu dikenal sebagai salah seorang politikus muda Inggris (kelahiran 6 Mei 1953) yang brilian.
Namun, Blair harus meletakkan jabatannya setelah dikecam terus-menerus, baik dari kolega, oposisi, media massa, maupun para pengamat, dalam lima tahun terakhir akibat kebijakan luar negerinya yang terlalu membeo pada George W. Bush.
Kesetiaannya yang dianggap berlebihan pada Bush tidak jarang membuat dirinya dituding lebih sebagai "juru bicara" Bush ketimbang sebagai PM Inggris. Terakhir, ketika dia secara resmi meninggalkan Downing Street No 10 London ("istana" PM Inggris), ada sejumlah demonstran yang mengusung poster bertulisan "Blair Teroris" dan "Blair Kriminal".
Memang, kebijakan luar negeri Blair yang kelewat pro-Bush dianggap telah merugikan kepentingan nasional Inggris secara umum. Tidak hanya lantaran tewasnya sekitar 200 tentara Inggris di Iraq dan Afghanistan, melainkan juga menjadikan negara ini selalu dibayang-bayangi ancaman terorisme.
Misalnya, pengeboman di London 7 Juli 2005 (dikenal sebagai "tragedi 7/7") yang menewaskan 52 warga sipil, ancaman peledakan pesawat trans-Atlantik di Bandara Heathrow (10 Agustus 2006), ancaman bom mobil di pusat Kota London (29 Juni 2007), dan serangan terhadap Bandara Glasgow (30 Juni 2007).
Selain itu, anggaran negara yang banyak -diperkirakan lebih dari USD 6 miliar) tersedot untuk mendanai invasi ke Iraq dan Afghanistan- berdampak pada semakin melonjaknya biaya di hampir seluruh sektor ekonomi di Inggris. Hal itu tentu sangat merugikan kalangan menengah ke bawah.
Jumlah pengangguran pun diperkirakan sudah meningkat tiga kali lipat sejak invasi ke Iraq. Simpati pada Amerika pun menjadi turun drastis di kalangan publik Inggris (lihat Amerika Makin Tak Dipercaya, Jawa Pos, 29 Juni 2007).
***
Sudah tentu tidak fair jika hanya melihat sisi negatif kebijakan Blair. Banyak juga hal positif yang ditinggalkan. Keberhasilan Blair mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik di Irlandia Utara (antara penganut Protestan dan Katolik) jelas merupakan prestasi yang bisa dibanggakan. Juga, keberhasilan Blair di sektor pendidikan. Ketika baru terpilih sebagai PM Inggris pada 1997, dia menyatakan, ada tiga prioritas kebijakan yang akan dijalankan. Yaitu, education, education, education.
Dibandingkan pemerintahan Inggris sebelumnya, pemerintahan Blair secara tegas menyatakan bertanggung jawab untuk melayani pembenahan sektor pendidikan. Hasilnya cukup fantastis. Dalam sepuluh tahun terakhir, nilai akhir ujian nasional untuk para siswa tahun ke-7, 11, dan 14 (kira-kira setingkat kelas enam SD, tiga SMP, dan tiga SMA) menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Investasi pemerintah Blair di sektor pendidikan bahkan melebihi angka rata-rata yang ditetapkan OECD (Organisasi Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi). Dalam sepuluh tahun terakhir, misalnya, Blair berhasil membangun lebih dari 1.000 sekolah baru, menghasilkan 36.000 guru tambahan dan lebih dari 150 ribu staf pendukung sekolah serta meningkatkan berbagai fasilitas lain di bidang pendidikan seperti jaringan komputer dan fasilitas olahraga.
Di bawah pemerintahan Blair, alokasi anggaran pendidikan Inggris mengalami kenaikan fantastis. Yaitu, dari USD 60 miliar (1997) menjadi USD 120 miliar (2007), dari USD 5.000 dolar per siswa (1997) menjadi USD 11.000 per siswa (2007), atau dari 4,7 persen GDP (1997) menjadi 5,6 persen GDP (2007). Dengan kata lain, dari yang terendah menjadi yang tertinggi di antara negara-negara industri maju (www.hm-treasury.gov.uk).
Karena itu, tidak mengherankan jika setiap tahun diperkirakan lebih dari 500 ribu mahasiswa dari dalam dan luar negeri mengambil program pascasarjana di Inggris.
***
Keberhasilan Blair meningkatkan sektor pendidikan di Inggris jelas tidak bisa dilepaskan dari peran Gordon Brown, menteri keuangan sekaligus "orang nomor dua" pada pemerintahan masa itu.
Kini, Brown sudah resmi menjadi PM. Politikus asal Skotlandia (yang pertama menjadi PM Inggris Raya) kelahiran 20 February 1951 dan bernama lengkap James Gordon Brown tersebut sudah bisa dipastikan meneruskan bahkan lebih meningkatkan kinerja sektor pendidikan.
Salah satu perubahan penting yang dilakukan Brown dalam struktur pemerintahannya yang baru terbentuk adalah merombak Departemen Pendidikan dan Keahlian (Department for Education and Skills atau DfES) yang sebelumnya dipimpin Menteri (Secretary) Alan Johnson -kini dia menjadi menteri kesehatan.
Dalam struktur baru, DfES dipecah menjadi dua. Yaitu, Departemen Urusan Anak, Sekolah, dan Keluarga (Department for Children, Schools, and Families atau DCSF) yang dipimpin Secretary Edward Michael Balls, serta Departemen Inovasi, Universitas, dan Keahlian (Department of Innovation, Universities and Skills atau DIUS) di bawah Secretary John Yorke Denham.
DCSF bertugas mengoordinasikan seluruh kebijakan pemerintah yang terkait dengan bidang kepemudaan dan keluarga serta bertanggung jawab meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan sosial bagi anak-anak di bawah usia 19 tahun.
DIUS diberi tanggung jawab meningkatkan kualitas pendidikan tinggi (termasuk riset ilmiah) dan keahlian kaum muda yang "siap pakai" sebagai tenaga-tenaga kerja andal. Tujuan utamanya adalah menjadikan Inggris sebagai "one of the best places in the world for science, research and innovation".
Memang masih belum jelas bagaimana masa depan nasib para menteri muda (minister) bidang pendidikan era Blair, seperti Bill Rammell (menteri muda urusan pendidikan tinggi), Jim Knight (sekolah), Beverley Hughes (anak-anak dan keluarga), dan Phil Hope (keahlian). Sudah tentu, langkah yang ditempuh Brown itu pun menimbulkan pro-kontra di kalangan para pakar pendidikan.
Sekjen Persatuan Guru Nasional (National Union of Teachers) Steve Sinnott, misalnya, menyambut gembira pengangkatan Ed Balls yang "penuh energi dan ide-ide segar". Namun, Francine Bates yang mengepalai lembaga untuk anak cacat (disabled child) meragukan kemampuan Balls untuk bisa meningkatkan kualitas pendidikan bagi para penyandang cacat.
Gemma Tumelty, presiden Persatuan Mahasiswa Nasional (National Union of Students), mengingatkan John Denham soal tantangan berat terkait dengan anggaran pendidikan tinggi dan pentingnya melibatkan perwakilan mahasiswa guna meningkatkan kualitas dunia akademis.
Tampaknya, masih harus ditunggu hasil konkret politik pendidikan pemerintahan baru Inggris di bawah PM Brown. Yang jelas, semakin tinggi biaya ekonomi Inggris akan membuat pendidikan tinggi di negeri itu pun semakin mahal dan semakin sulit terjangkau. Tidak hanya bagi warga dari negara-negara berkembang, melainkan juga bagi warga menengah ke bawah di Inggris.
Karena itu, banyak warga Inggris yang berharap pemerintahan Brown akan mampu menurunkan biaya ekonomi negaranya. Salah satunya, menarik pulang kekuatan militer Inggris dari Iraq dan Afghanistan.
RIZA SIHBUDI, penasihat ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies) dan atase Pendidikan KBRI London. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
No comments:
Post a Comment