Sunday, July 15, 2007

Pakistan
Musharraf, Bagian dari Persoalan Bangsa

Simon Saragih

Bayangkan jika, misalnya, anak-anak Anda adalah salah satu yang tertahan di Masjid Merah Pakistan yang diserang tentara, Selasa (10/7). Kegelisahan akan menyergap otak dan upaya apa pun akan dicoba ditempuh meski dengan risiko kematian.

Bakhat Fazil menyerbu masuk ke masjid dengan harapan bisa menyelamatkan tiga putrinya agar tidak tewas dalam pertempuran antara tentara Pakistan dan pendukung Ulama Abdul Rashid Ghazi, Wakil Pemimpin Masjid Merah.

Mendadak ia dihadapkan pada rentetan tembakan peluru. Fazil selamat dan putrinya bebas. Namun, ia sempat diterjang peluru di bagian bahu dan kaki. Istrinya mencoba berlari mendekat untuk melindunginya, di tengah selongsongan peluru yang berasal dari senjata tentara Pakistan serta pendukung Ghazi.

Untung tentara Pakistan segera memerintahkan mereka segera tiarap agar tidak kena terjangan peluru. Sejoli itu pun tiarap selama enam jam pada pertempuran sengit Selasa itu.

Nasib baik melindunginya, ambulans pemerintah kemudian membawanya ke rumah sakit. Yang lebih penting, ia bisa bertemu kembali dengan tiga putrinya, semuanya di bawah usia 10 tahun, yang dikirim untuk belajar ke madrasah di kompleks Masjid Merah di Islamabad, ibu kota Pakistan.

Fazil beruntung, tetapi tidak demikian dengan Mohammed Ajmal (39). "Oh Tuhan! Tolong saya menemukan putra saya," kata Ajmal, yang kehilangan kontak dengan putranya yang berusia 14 tahun, juga dikirim belajar ke kompleks tersebut.

"Saya sudah mengunjungi berbagai rumah sakit, menghubungi kepolisian dan pemerintah. Saya tak juga mendapatkan informasi soal anak saya," kata Ajmal, yang berasal dari Pakistan utara.

Ia mengirim putranya untuk belajar Al Quran ke tempat itu setahun lalu. Ada seratus orangtua yang bernasib serupa dengan Ajmal.

Dilematis

Inilah buah pertikaian antara tentara pemerintah dan rakyat yang seharusnya dilindungi. Namun, keadaannya sangat dilematis. Bagi Ghazi, yang tewas akibat tembakan tentara, dan pendukungnya, menyerah kepada pemerintah adalah sebuah tindakan yang tak akan dilakukan.

Bagi mereka, perjuangan yang dilakukan bukan sesuatu yang salah. Mereka menginginkan penegakan hukum syariah. Atau, setidaknya, mereka menginginkan agar moral di Pakistan dijaga ketat.

Kelompok ini marah dan membunuh beberapa imigran China, yang menjalankan prostitusi di Islamabad. "Kami memilih mati ketimbang menyerah," kata Ghazi, sebelum serangan itu.

Dilema lainnya adalah masih ada sekitar 1.300 orang, siswa pria, perempuan, dan anak-anak, yang masih tertahan di kompleks itu.

Menurut Perdana Menteri Pakistan Shaukat Aziz, Ghazi telah menjadikan siswa-siswi itu sebagai tameng. Ghazi membantahnya dan mengatakan, "Semua yang bertahan di masjid adalah berdasarkan kerelaan sendiri."

Tidak tahulah mana yang benar. Yang jelas, almarhum Ghazi telah memilih untuk bertahan.

Bagi pemerintah, khususnya Presiden Pervez Musharraf, Kamis (12/7), Ghazi adalah simbol ekstremisme di bumi Pakistan. Pandangan ini tidak didukung sebagian rakyat Pakistan, yang hingga kemarin menyerukan kematian bagi Musharraf. Abdul Aziz, saudara kandung Ghazi, termasuk yang menyuarkan itu.

Namun, Musharraf mengatakan tindakan penyerangan dilakukan untuk menyelamatkan negara dari kehancuran. Ia juga menyerukan pengawasan lebih ketat di perbatasan Afganistan dan Pakistan, di mana Taliban dan Al Qaeda makin aktif.

Thomas Fingar, analis intelijen ternama Amerika Serikat, mengatakan, besar potensi pemberontak dari kelompok suku, yang didukung partai-partai politik berlandaskan Islam. Kelompok itu membenci kehadiran AS di Afganistan, yang didukung Pakistan, membenci AS yang menguasai Irak. Ironisnya, AS adalah karibnya Musharraf.

"Ekstremisme dan terorisme belum terkikis dan kami kukuh memerangi mereka dari setiap sudut wilayah Pakistan," kata Musharraf, yang menyampaikan ucapan dukacita kepada korban tewas dalam serangan itu.

Musharraf pun memohon dengan sangat kepada ribuan madrasah di Pakistan, yang dituduh terkait dengan serangan internasional. "Ajarilah nilai-nilai Islam yang benar dan cegahlah pemikiran ekstremisme dari benak mereka," ujar Musharraf.

Sebuah badan yang mengelola hampir semua madrasah di Pakistan, Wafaqul Madaris, menjawab Musharraf, yang dianggap telah memberi informasi yang salah kepada warga Pakistan. "Musharraf tidak perlu khawatir karena kami tidak mengajarkan kebencian," kata Hanif Jalandhri, Ketua Wafaqul Madaris.

Musharraf harus mundur

Tidak mudah bagi Musharraf memimpin negaranya. Serangan ini tidak akan mematikan perlawanan walau ada warga Pakistan yang mendukungnya. "Saya sedih dengan kejadian ini, tetapi kehidupan akan segera normal, dan ini merupakan berita baik bagi saya sebagai seorang yang miskin," kata Rahim Shah, sopir taksi di Islamabad.

Namun, banyak yang makin muak kepada Musharraf. "Pertanyaan besar sekarang adalah apa reaksi tokoh-tokoh Islam," kata Shaun Gregory, Kepala Unit Riset Keamanan Pakistan, Bradford University, Inggris.

Ia mengatakan penolakan soal kedekatan Musharraf dengan AS bukan saja dibenci kalangan fundamentalis, tetapi juga Muslim Pakistan lain, yang pada umumnya tergolong moderat.

Lalu, bagaimana mengakhiri kemelut yang melanda Pakistan? Untuk menjawab itu, seharusnya Pemerintah Pakistan juga bisa menjawab pertanyaan yang diajukan mantan PM Pakistan Benazir Bhutto di harian The Daily Telegraph, Jumat (13/7).

"Pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana masjid menjadi makin radikal. Pasti ada benturan dengan pemerintah," kata Bhutto, yang menyatakan sedih dengan pertumpahan darah itu, namun mendukung penyerangan.

Para pengungsi politik Pakistan di luar negeri bertemu di London dan memberikan jawaban soal benturan itu. Diskusi dipimpin mantan PM Nawaz Sharif, yang dijungkalkan lewat kudeta militer delapan tahun lalu, yang menaikkan Musharraf ke puncak kekuasaan.

Bagi mereka, solusi terhadap Pakistan adalah Musharraf harus mundur. Delapan tahun pemerintahannya telah menumbuhkan radikalisme di Pakistan.

Nadir Chaudhri, juru bicara Shariff, mengatakan pemerintahan junta militer sendiri sudah tidak becus memimpin karena bertindak diktator.

Imran Khan, salah satu bintang kriket Pakistan, mengatakan Musharraf tidak saja berhadapan dengan kelompok agama, tetapi juga wartawan, ahli hukum, serta partai-partai politik. "Setelah delapan tahun kediktatoran militer, radikalisme dan fundamentalisme meningkat di mana-mana," demikian Khan pada artikelnya di Guardian, Inggris, Kamis (12/7).

"Terorisme memerlukan solusi politik. Ekstremisme bisa dienyahkan lewat dialog politik dalam sebuah iklim yang demokratis," lanjut Khan.

Pertemuan di London oleh kelompok yang disebut sebagai Konferensi Semua Pihak (APP) menyatakan, "Musharraf harus mundur karena tidak mampu memerintah secara adil dan demokratis." (AFP/AP/REUTERS)

No comments: