Wapres: Investor Tidak Perlu Khawatirkan CSR
Pengusaha Berharap Tidak Bergulir seperti Bola Liar
Wisnu Nugroho
Kuala Lumpur, Kompas - Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, pengusaha atau investor tidak perlu mengkhawatirkan kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, atau yang dikenal dengan istilah corporate social responsibility, dalam undang-undang tentang perseroan terbatas yang baru disahkan DPR.
"Perusahaan yang melakukan suatu usaha di bidang sumber daya alam nasional harus memberikan CSR (corporate social responsibility), itu wajar saja dan sudah dilakukan di banyak perusahaan untuk membantu masyarakat sekelilingnya," katanya di Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu (21/7).
Soal itu nanti akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). "Tidak semua perusahaan, hanya yang bergerak di bidang sumber daya alam. Investor tidak perlu khawatir," kata Wapres.
Tentang perlunya pengaturan itu, Jusuf Kalla mencontohkan, perusahaan pertambangan batu bara jangan hanya bikin jalanan rusak, sementara masyarakat sekitar tidak ada air minum.
Contoh lain perkebunan sawit. "Tanah dan airnya dikuras, masakan masyarakat di sekitarnya miskin. Membantu sekolah mereka itu juga untuk mengamankan perusahaan tersebut karena perusahaan berada di lingkungan masyarakat. Hal ini sudah menjadi kewajiban korporat di seluruh dunia ini," katanya.
Multitafsir
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Sistem Fiskal Hariyadi Sukamdani di Jakarta menegaskan, CSR dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) sebagai aturan yang multitafsir dan berpotensi tumpang tindih dengan aturan pada tingkat di bawahnya. Kalangan dunia usaha berharap ketentuan yang jadi acuan pengaturan di tingkat pusat dan daerah tidak bergulir menjadi bola liar yang merugikan iklim investasi.
"Dimasukkannya aturan CSR di UU menjadikan ketentuan itu bisa jadi acuan aturan main bukan saja di tingkat pusat, tetapi juga di daerah. Ini mesti disikapi hati-hati," ujar Hariyadi.
PP yang diharapkan memperjelas pengaturan CSR sesuai amanat UU PT dinilai belum cukup menepis kekhawatiran pelaku usaha. Hariyadi mencontohkan, Pasal 167 Ayat 2 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah membolehkan pemda mengembangkan sistem jaminan sosial.
Dengan acuan itu, Perda DKI No 6/2004 dan Peraturan Gubernur DKI No 82/2006 mengharuskan perusahaan yang berpusat di Jakarta mengikutkan karyawannya dalam program Jaminan Kecelakaan Diri dan Kematian di Luar Jam Kerja (JKDK) selain Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
"Padahal, ada aturan lex specialis seperti UU tentang Usaha Asuransi dan UU Jamsostek yang mengatur hal itu. Nyatanya, pemda bisa memanfaatkan ketentuan multitafsir itu," ujar Hariyadi.
Saat ini Asosiasi Pengusaha Indonesia mengajukan uji materiil atas peraturan daerah tersebut di Mahkamah Agung.
Hariyadi berharap UU PT tidak "menginspirasi" sejumlah pemda untuk memanfaatkan aturan CSR sebagai peluang peningkatan pendapatan daerah.
Kini rancangan perubahan UU tentang Pajak dan Retribusi Daerah juga sedang dibahas di DPR. UU yang baru akan memastikan pajak dan retribusi apa saja yang boleh dipungut oleh daerah.
"Namun, sistem daftar tertutup itu juga bukan jaminan. Aturan JKDK di DKI, misalnya, yang dipungut bukan pajak atau retribusi, tetapi premi asuransi yang diwajibkan dan dipotong untuk PAD (pendapatan asli daerah) juga," ujarnya.
Memperkuat pemaparan Hariyadi, Ketua Aliansi Lintas Asosiasi Industri Franky Sibarani mengatakan, UU PT tidak mendefinisikan CSR secara jelas. Padahal, belum ada kesamaan persepsi soal CSR di kalangan pelaku usaha, pemerintah, dan DPR sendiri. Apalagi pengaturan CSR dalam UU PT muncul di DPR tanpa proses partisipatif pelaku usaha.
"Pemerintah dan pelaku usaha perlu mengupayakan komunikasi lebih baik untuk menjembatani kesenjangan persepsi tentang CSR. Dengan begitu, ketentuan multitafsir ini tidak bergulir jadi bola liar," ujar Franky.
Hariyadi menambahkan, peraturan tentang lingkungan hidup sudah mengharuskan limbah dari kegiatan produksi dikelola oleh perusahaan sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah.
"Apakah itu bentuk CSR yang juga dimaksudkan dalam UU PT atau ada bentuk lain, belum jelas. Yang pasti, kalau masalah sosial dan lingkungan yang tidak berkaitan dengan kegiatan produksi pun harus diurus perusahaan, itu artinya pemerintah mengalihkan tanggung jawab," ujar Hariyadi.
Kepemilikan silang
Pada bagian lain UU PT, perseroan dilarang mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri. Ketentuan Pasal 36 UU PT itu juga melarang adanya kepemilikan silang (cross holding). Kepemilikan silang terjadi bila perseroan pertama memiliki saham pada perseroan kedua, sedangkan perseroan kedua memiliki saham pada perseroan pertama, baik secara langsung maupun tak langsung.
Ketua Panitia Khusus Rancangan UU PT Akil Mochtar menjelaskan, saham yang diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat harus dialihkan kepada pihak lain yang tidak dilarang memiliki saham dalam waktu satu tahun setelah tanggal perolehan saham tersebut.
Adapun pengaturan kepemilikan pada perusahaan terbuka yang tercatat di pasar modal, baik perusahaan efek maupun emiten bukan perusahaan efek, tetap mengacu pada UU Pasar Modal.
Direktur Utama PT Bursa Efek Jakarta Erry Firmansyah juga menyatakan larangan kepemilikan silang tidak soal bagi emiten yang mencatatkan sahamnya di bursa. Memang tidak diatur soal kepemilikan silang itu, tetapi UU Pasar Modal juga lex specialis. (DAY/DIS)
No comments:
Post a Comment