DCA, Hilang Muka atau Kepercayaan Rakyat?
Hikmahanto Juwana
Harian Kompas (17/7) menurunkan berita utama soal pernyataan Menteri Luar Negeri George Yeo di depan Parlemen Singapura. Dikatakan, Singapura akan mencoba bersabar dan akomodatif atas keinginan Indonesia untuk mengubah perjanjian kerja sama pertahanan (defence cooperation agreement atau DCA).
Namun, Indonesia diminta tidak melakukan perubahan substansial atau mendasar, atau membatalkan perjanjian ekstradisi.
Pernyataan Menlu Yeo ini jelas merupakan reaksi dari Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang mengungkapkan Singapura sengaja tidak mau berunding karena kekhawatiran Singapura terhadap Perjanjian Ekstradisi. Sementara itu, beberapa waktu lalu Menlu Hassan Wirajuda optimistis perundingan akan sampai pada kesepakatan apabila para pihak bisa cooling down lebih dulu.
Sikap pemerintah
Tentu patut dipertanyakan bagaimana sikap pemerintah terhadap buntunya dua perjanjian dengan Negara Singa itu. Publik Indonesia berharap pemerintah bisa memberi pernyataan seperti Menlu Yeo.
Hingga kini tidak jelas sikap pemerintah. Apakah sengaja membuat DCA diambangkan, dibatalkan sebelum proses ratifikasi, atau sungguh-sungguh hendak disempurnakan.
Pemerintah seolah mengambangkan karena kebuntuan dibiarkan berlarut-larut. Mungkin pemerintah sedang memainkan kartu diplomasi dengan Singapura. Singapura dibuat terpojok sehingga mereka akan duduk berunding dan menerima segala sesuatu yang dikehendaki Indonesia.
Namun, bisa juga diambangkan karena ingin menunggu situasi di Indonesia kondusif. Kondusif karena saat ini sorotan publik dan media begitu hebat, seolah pemerintah terpojokkan. Mungkin harapan pemerintah adalah kelak ketika DCA tidak lagi mendapat sorotan, perundingan akan dijalankan kembali dan proses ratifikasi akan lebih mudah.
Apabila ini yang terjadi, pemerintah sedang bermain api. Publik akan marah bila ternyata pemerintah hanya memainkan emosi dan tidak betul-betul memerhatikan kegusaran berbagai komponen bangsa.
Dalam perspektif lain, bisa jadi proses pembuntuan (frustrate) atas DCA sengaja dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menghentikan proses ke tahap ratifikasi.
Pada kondisi seperti ini Singapura diharapkan akan lelah dan akhirnya tidak meneruskan DCA. Kebijakan pemerintah ini bisa saja sia-sia karena sebagaimana diungkapkan Menlu Yeo, Singapura akan bersabar.
Sementara itu, bila kebuntuan saat ini untuk cooling down dan pada saatnya kedua pemerintahan akan menyempurnakan Implementing Arrangement (IA) maka patut dipertanyakan apakah DCA dan Perjanjian Ekstradisi yang dipaketkan menguntungkan Indonesia?
Tidak diuntungkan
Apabila ditilik secara saksama, ada tiga hal yang mengindikasikan Indonesia tidak begitu diuntungkan.
Pertama, dalam tahap sekarang akan sangat sulit memaksa Singapura menerima IA di Area Bravo, sebagaimana dikehendaki Indonesia. Singapura akan gigih bertahan pada posisi apa yang telah ditandatangani. Ia tidak akan membuka kembali (reopen). Kalaupun diubah, sebagaimana diungkapkan Menlu Yeo, perubahan seharusnya tidak mendasar dan substansial.
Kedua, Perjanjian Ekstradisi yang telah ditandatangani tidak akan mengembalikan uang haram asal Indonesia. Ini telah ditegaskan Menlu dalam artikelnya di harian ini. Penegasan ini amat kontradiktif dengan pernyataan Menteri Pertahanan, meski sama-sama pemerintah, yang mengatakan ruang akan ditukar dengan uang.
Ketiga, kalaupun IA di Area Bravo pada akhirnya bisa disepakati, DCA belum berpihak pada kepentingan Indonesia. Alasannya IA di Area Alpha dan Bravo hanya mengatur latihan perang bagi tentara Singapura.
Menjadi pertanyaan besar, bagaimana dengan pengaturan (baca: IA) latihan perang TNI di Singapura? Bahkan pengaturan bagi TNI untuk mendapat akses alat utama sistem persenjataan (alutsista) modern tentara Singapura?
Apabila tidak ada pengaturan, bisa jadi ketentuan yang ada dalam DCA tidak akan memiliki arti (meaningless), bahkan tidak dapat dijalankan (unimplementable).
Di sinilah perlunya pemerintah mengambil sikap atas DCA dan Perjanjian Ekstradisi. Satu hal yang mungkin patut dicamkan pemerintah, lebih baik kehilangan muka daripada harus kehilangan kepercayaan dari rakyatnya.
Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment