Wednesday, July 4, 2007

Indonesia, UE, dan Larangan Terbang

PLE Priatna

Komite Keselamatan Penerbangan Uni Eropa berencana melarang semua operasi pesawat komersial Indonesia ke Eropa.

Tanggal 4 Juli 2007, Komisi Eropa akan resmi menetapkan daftar hitam pencekalan penerbangan ke Eropa termasuk bagi maskapai penerbangan Volare Aviation Enterprise (Ukraina), TAAG Angola Airlines, dan Pakistan International Airlines (PIA).

Amat melegakan saat Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, pelarangan ini harus ditanggapi positif, dijadikan pelajaran dan introspeksi untuk dapat memperbaiki kinerja dan keamanan penerbangan kita. Apalagi UE memberi kesempatan secara periodik, setiap tiga bulan (Oktober 2007) status dan kemajuan yang dilakukan bisa dilaporkan. Presiden Yudhoyono akan bertemu Presiden ICAO Robert Kobeh Gonzales di Jakarta dan menyampaikan komitmen Pemerintah RI dalam melaksanakan standar penerbangan internasional.

Bukan krisis politik

"Peringatan UE berupa larangan terbang bagi maskapai penerbangan Indonesia ke Eropa tidak berarti memburuknya hubungan Uni Eropa-Indonesia. Hubungan Indonesia-UE ada pada the golden years yang amat baik dan menjanjikan," jelas Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa Nadjib Riphat Kesoema di Brussel, menjawab pertanyaan berbagai kantor berita dan media internasional.

Penetapan daftar hitam bagi penerbangan komersial dari Indonesia tidak berarti terjadi krisis hubungan RI-UE. Indonesia tetap memiliki kedudukan terhormat dan diakui telah melakukan serangkaian kemajuan pesat membangun demokrasi, good governance, perang terhadap terorisme, pemberantasan korupsi, dan pemulihan situasi makro- ekonomi yang menggairahkan, meski masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.

Berkali-kali para pejabat Uni Eropa memberi apresiasi tinggi terhadap kemajuan Indonesia. Tak kurang Komisioner Kerja Sama Luar Negeri Komisi Eropa, Dr Bennita Ferrero Waldner dan Javier Solana—perwakilan tinggi UE untuk kebijakan luar negeri dan keamanan—memberi apresiasi terhadap peran dan perubahan yang dilakukan Indonesia. Di Aceh, Uni Eropa bersama ASEAN, Pemerintah RI, dan GAM mampu menciptakan perdamaian dan bermanfaat bagi semua pihak (Kompas, 14/12/2006).

Rencana kunjungan Putra Mahkota Belgia Pangeran Philip ke Indonesia tahun depan bersama pengusaha Uni Eropa, langkah finalisasi persetujuan Partnership Comprehensive Agreement (PCA) Indonesia-UE akhir tahun ini, bantuan UE dalam rangka Forest Law Enforcement Government and Trade Action Plan (FLEGT) guna memulihkan hutan menghadapi illegal logging, dan realisasi Indonesia-EU Strategy Paper 2007-2013 dengan sederet program kerja sama keuangan dan bantuan teknik selama lima tahun ke depan adalah komitmen besar yang tidak akan dipertaruhkan UE dengan pencekalan penerbangan. Indonesia tetap memiliki kedudukan strategis yang tidak mungkin ditinggalkan, dalam hubungan UE dengan Asia, China, dan Jepang.

Kritik IATA soal daftar hitam

Memasuki dunia global dengan pergerakan manusia menjadi amat tinggi, keselamatan penerbangan tidak bisa ditawar lagi. Seperti tiap negara, Komisi Eropa (EASA) melihat mobilitas manusia menjadi faktor esensial dalam merebut kompetisi kelangkaan sumber daya yang amat tinggi sehingga keselamatan aktivitas perorangan ini harus terjamin dan terlindungi dari segala ancaman. Transportasi udara menjadi tangible factors amat penting dalam peta hubungan dan kerja sama antarbangsa.

Studi Ascend, lembaga konsultan swasta di London, melaporkan, posisi tingkat keselamatan penerbangan kita rata-rata rendah. Rate of fatal crashes penerbangan kita tiga tahun terakhir mencapai 3,77 kecelakaan fatal dari setiap satu juta jumlah tinggal landas, dibanding dari rata-rata jumlah satu juta penerbangan global yang hanya 0,25.

Keadaan inilah yang mendorong Komisi Eropa mengeluarkan peringatan larangan terbang bagi pesawat komersial Indonesia memasuki wilayah Eropa, sebelum pemulihan dan peningkatan dilakukan. Kita tidak perlu marah dan tersinggung dengan larangan ini mengingat rentetan musibah di Tanah Air tidak boleh terjadi lagi hanya karena man-made disaster, sembrono menjalankan kelaikan keamanan sesuai standar internasional.

Namun, menurut International Air Transport Association (IATA), pencekalan itu bukan jawaban, meski bisa menjadi satu pendekatan untuk memperbaiki standar. "Blacklists in themselves do nothing to directly improve safety. It does not address the problem of bringing less safe airlines up to standard. IATA’s approach is to tackle the root causes of safety concerns," demikian IATA menanggapi pencekalan ini.

Sementara David Henderson, juru bicara Association of European Airliner, mengulangi keprihatinan, ada sesuatu yang tidak pas dalam standardisasi ini sehingga satu-dua negara bisa memberi sertifikasi kepada maskapai negara lain, hanya karena Eropa berpikir tidak aman.

Untuk itu, IATA melalui audit keamanan IOSA (IATA Operational Safety Audit) dengan program Partnership for Safety menawarkan bentuk audit dan capacity building atas maskapai penerbangan yang bermasalah. Menurut IATA, melalui program ini akar masalah bisa diperbaiki secara komprehensif.

Meski IATA memberi kritik terhadap model pencekalan ini, tidak berarti kita harus terlibat perdebatan dan melupakan kewajiban memperbaiki standar penerbangan. Kerja sama intens dengan Uni Eropa (European Aviation Safety Agency), ICAO, FAA dan IATA menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar.

Instrumen diplomasi

Transportasi udara adalah instrumen penting diplomasi. Pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi melalui gerak perpindahan aktor-aktor negara dan non-negara guna membuka dialog, membangun kerja sama dan persahabatan, tidak cukup melalui surat atau telepon.

Komunikasi langsung melalui pertemuan dan pembicaraan, menuntut medium transportasi udara yang cepat dan aman untuk menghubungkan satu sama lain. Air safety awareness menjadi tuntutan zaman yang tidak bisa diremehkan. Peran kita dalam diplomasi global pun menuntut kerja sama erat, antara maskapai penerbangan yang andal, lembaga aviasi sipil yang kredibel, perangkat tenaga manusia yang profesional, dan publik yang berbudaya teknologi baru.

Pelarangan nonpermanen yang setiap tiga bulan bisa ditinjau ulang ini memberi kesempatan kepada kita untuk terus membenahi diri. Uni Eropa siap mencabut pencekalan bahkan menawarkan bantuan untuk mempercepat benah diri. Karena itu, yang kini harus segera ditangani tidak hanya soal demokratisasi, perlindungan HAM, atau good governance, tetapi juga transportasi udara dengan standar keselamatan memadai.

PLE Priatna Konselor Penerangan Sosial- Budaya dan Diplomasi Publik, KBRI Brussel di Belgia

No comments: