Monday, July 23, 2007

Australia dan Permainan "Travel Advisory"

Maruli Tobing

Seolah tidak bosan-bosannya memproduksi masalah bagi Indonesia, Departemen Luar Negeri Australia kembali merilis pernyataan yang mengundang reaksi keras dari kalangan wakil rakyat di DPR.

Dalam siaran persnya, Minggu (8/7), Deplu Australia menyatakan, teroris merencanakan suatu serangan di Indonesia. Warga negara Australia yang akan berkunjung ke Indonesia disarankan agar mempertimbangkan kembali rencana perjalanan tersebut.

Pernyataan ini tidak secara spesifik menyebut kapan dan di mana teroris akan beraksi. Namun, dijelaskan, serangan dapat terjadi setiap saat dalam waktu dekat. Warga Australia yang berada di Indonesia disarankan menjauhi lokasi yang selama ini menjadi target favorit teroris, seperti Bali dan Jakarta (The Australian, 9/7).

Ketua DPR Agung Laksono dan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR Tjahjo Kumolo berpendapat, travel advisory itu sangat menyakitkan. Keduanya mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap tegas. "Sebaiknya Pemerintah RI menyatakan Australia sebagai ancaman positif," kata Tjahjo (Antara, 9/7).

Informasi mengenai "teroris merencanakan suatu serangan di Indonesia" digulirkan saat sektor pariwisata mulai pulih dari krisis akibat peristiwa bom Bali 2. Antara Januari dan April 2007, misalnya, kunjungan wisatawan asing tercatat 1,4 juta orang. Naik 12,8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (1,2 juta wisatawan). Khusus wisatawan Australia, terjadi lonjakan 50 persen pada tahun yang sama.

Lagi pula, entah faktor kebetulan atau bukan, travel advisory itu dirilis hanya berselang beberapa hari setelah Masyarakat Eropa (ME) memutuskan memboikot penerbangan maskapai Indonesia, hal yang mengakibatkan sektor pariwisata Indonesia babak belur. Kini ditambah lagi dengan travel advisory.

Hal serius

Jenis imbauan yang menyudutkan ini bukanlah hal baru. Australia melakukannya puluhan kali sejak peristiwa 11 September. Meskipun serangan itu tidak terbukti dan Indonesia meminta agar travel advisory dicabut, Australia mengabaikannya.

Akhir Juni lalu, misalnya, permintaan itu kembali disampaikan. Dalam pertemuan dengan Menteri Perdagangan Australia Warren Truss di Jakarta, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menjelaskan, travel advisory dapat mengganggu arus kunjungan wisatawan ke Indonesia, termasuk para calon investor dan pembeli. Indonesia mengharapkan Australia mencabutnya (Reuters, 26/6).

Truss memang tidak menjanjikan sesuatu. Dua pekan kemudian muncul travel advisory yang dihebohkan saat ini. Esok harinya, PM John Howard menyatakan, ancaman teroris merupakan hal serius dan seharusnya disampaikan kepada publik (The Australian, 9/7).

Menakut-nakuti

Howard mungkin benar. Lagi pula informasi mengenai aktivitas teroris dimonitor langsung oleh para perwira antiteror Australia yang ditempatkan di Jakarta. Akan tetapi, Mabes Polri sendiri kerap terperanjat ketika tiba-tiba muncul travel advisory.

Kini kalangan pemerintah dan DPR melihat "saran perjalanan" yang secara teratur diproduksi intelijen dan Deplu Australia sebagai alat propaganda terselubung untuk mendiskreditkan Indonesia. Australia dituding menjalankan politik bermuka dua.

Namun, apa motif sesungguhnya di balik travel advisory tersebut?

Dalam laporannya "Terror Watch: The Politics of Intelligence" (Newsweek, 23/5), Michael Isikoff dan Mark Hosenball menulis: "Presiden AS George W Bush menakut-nakuti rakyat AS dengan berulang kali menyatakan Osama bin Laden menugaskan Abu Musab al-Zarqawi menyiapkan serangan di AS".

Belakangan diketahui bahwa semua itu bohong. Bush melakukannya hanya untuk membenarkan kebijakannya dalam perang Irak dan menambah anggaran perang.

Dua pekan menjelang invasi militer AS di Irak (6/3/2003), Menlu AS Colin Powell lebih dulu melakukan kebohongan di depan sidang Dewan Keamanan PBB. Powell menunjukkan foto-foto senjata biologis Irak dan kamp teroris Al-Zarqawi yang memproduksi racun.

Sebagai sekutu Presiden Bush, dengan sendirinya perilaku politik PM Howard ikut terpengaruh. Seperti halnya Bush, Howard gemar menggunakan "ancaman serangan teroris" untuk menakut-nakuti warga Australia di dalam dan luar negeri.

Bush tidak bosan-bosannya mengingatkan rakyat AS pada tragedi 11 September dan akan datangnya serangan lebih besar. Howard mengeksploitasi peristiwa bom Bali 1 yang menewaskan 88 warga Australia.

Dalam hal ini travel advisory yang menyudutkan Indonesia hanyalah salah satu alat yang digunakan untuk menakut-nakuti rakyat Australia. Bagi politisi jenis Howard, konsumsi politik di dalam negeri merupakan hal terpenting, khususnya untuk membenarkan kebijakannya mengirimkan pasukan Australia ke Afganistan dan Irak.

Maka, tidak cukup hanya travel advisory. Howard juga berulang kali mengatakan, teroris sedang merencanakan suatu serangan di Australia. Agar lebih meyakinkan dan menimbulkan suasana menakutkan, aparat keamanan Australia bergerak dan memberlakukan keadaan siaga. Mengepung dan menangkap "aktivis militan".

Kebijakan ini sangatlah berisiko menimbulkan ketegangan di kawasan Asia Tenggara. Barangkali itu sebabnya mantan PM Paul Keating menyebut Howard sebagai sosok berbahaya dan membandingkannya dengan Hitler (AFP, 12/7).

No comments: