Saturday, July 7, 2007

Global Compact dan Peran Korporasi

Rupanya istilah corporate social responsibilty atau CSR, yang sering kita dengar satu-dua tahun terakhir, juga tengah bergaung di lingkup dunia.

Di Geneva, Swiss, Kamis (5/7), dibuka konferensi UN Global Compact yang dihadiri oleh lebih dari 600 eksekutif senior korporasi dunia. Global Compact yang didirikan mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan tujuh tahun silam bertujuan menyusun perilaku standar bagi korporasi global.

Dengan itu diharapkan mereka bisa memperbaiki praktik bisnis dengan memerhatikan lingkungan hidup dan aspek sosial di dalam dan di luar perusahaan. Korporasi diminta memperlihatkan kepedulian dan tanggung jawab kemasyarakatan lebih besar.

Ke-10 panduan yang ditetapkan dalam Global Compact—yang dibagi dalam empat kelompok, yakni Hak Asasi Manusia, Standar Perburuhan, Lingkungan Hidup, dan Antikorupsi—kita amati relevan dengan kondisi dunia dewasa ini. Bagaimanapun praktik bisnis yang baik seharusnya menjunjung keempat elemen di atas.

Ambil contoh lingkungan hidup. Kalau sekarang ini isu yang paling hangat di dunia adalah pemanasan global, maka jelas korporasi harus ikut memikirkan karena pabrik-pabrik mereka menyemburkan gas-gas rumah kaca dalam jumlah besar yang diyakini berperan vital dalam terjadinya pemanasan global.

Adapun untuk unsur perburuhan dan HAM, korporasi pun dihadapkan pada tantangan semakin berat. Di satu sisi ongkos produksi cenderung meningkat, sehingga ketika profit ingin dipertahankan tinggi, buruhlah yang sering menjadi korbannya. Di sinilah lalu sering terjadi pelanggaran HAM.

Akhirnya untuk upaya antikorupsi, korporasi pun harus mampu mengembangkan etik baru sehingga upaya mencari keuntungan tidak harus dilakukan dengan praktik penyuapan, yang pada gilirannya merusak tatanan, baik di lingkungan birokrasi maupun bisnis itu sendiri.

Global Compact, seperti diniatkan mantan Sekjen PBB, kiranya dapat memajukan nilai-nilai luhur yang dijadikan pedoman kalangan bisnis. Berdasar survei PBB, perusahaan umumnya masih lemah di bidang HAM dan antikorupsi, meskipun ada perbaikan di sana-sini. Dalam hal ini, kita tidak boleh berhenti mengingatkan.

Akhirnya, dengan perilaku yang coba dikembangkan termasuk melalui pertemuan di Geneva, satu hal yang juga tetap dituntut dari korporasi adalah kepedulian terhadap ketimpangan di masyarakat di banyak negara. Kealpaan merespons hal itu—dengan kata lain melupakan CSR—sesungguhnya cepat atau lambat akan mengancam kelangsungan usaha korporasi.

No comments: