Babak Baru Perang Melawan Terorisme
Rakaryan Sukarjaputra
Berakhirnya pendudukan sekaligus penyanderaan di Masjid Lal atau Masjid Merah, Islamabad, tidak berarti berakhirnya perang untuk melawan kelompok-kelompok garis keras di Pakistan. Peristiwa Masjid Merah bahkan membuka babak baru perang yang lebih terbuka antara pemerintah Pakistan dan kelompok-kelompok garis keras, yang didukung juga oleh jaringan terorisme Al Qaeda.
Perang terbuka antara pasukan Pemerintah Pakistan dan gerilyawan bersenjata pro-Taliban dan Al Qaeda itu sebagian besar terjadi di wilayah perbatasan barat laut Pakistan-Afganistan, khususnya provinsi-provinsi Waziristan Utara dan Waziristan Selatan dan Provinsi Perbatasan Barat Daya. Di wilayah pegunungan itulah tinggal beberapa suku yang wilayahnya saat ini terbelah antara Pakistan dan Afganistan.
Persaudaraan suku-suku di perbatasan kedua negara itu memang sangat kuat. Ketika Afganistan diduduki Uni Soviet, para pejuang suku-suku dari perbatasan Pakistan ikut berjuang bersama para pejuang suku-suku Afganistan. Hal itu juga terjadi sekarang, ketika Afganistan dipersepsikan mereka telah diduduki oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Jatuhnya pemerintahan Taliban di Afganistan oleh AS, tidak berarti habisnya pengaruh Taliban secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya, para gerilyawan Taliban terus bertempur di wilayah perbatasan Afganistan-Pakistan yang medannya memang sangat keras dan sulit dijangkau. Dengan dukungan warga suku-suku di perbatasan kedua negara itu, Taliban mampu membangun kekuatannya kembali, bahkan dilaporkan kini semakin bersatu dengan sekitar 700 anggota Al Qaeda yang masih belum tertangkap dan tersebar di berbagai tempat.
"Mereka memanfaatkan rakyat suku-suku yang miskin itu dengan memengaruhi warga suku-suku itu untuk mendukung mereka," kata Duta Besar Pakistan untuk Indonesia Ali Baz, belum lama ini.
Oleh karena itu, dia menambahkan, Pemerintah Pakistan memang membuat kesepakatan damai dengan warga suku-suku di Waziristan Utara dan Waziristan Selatan, untuk mencegah masuknya warga-warga asing ke wilayah itu. "Perjanjian itu sebenarnya cukup efektif dan warga suku-suku selama ini sudah banyak mengusir para pendatang ke wilayah mereka," papar Dubes Pakistan.
Akan tetapi, diakui Ali Baz, kasus Masjid Merah kemudian membuat warga suku-suku menjadi berbalik arah menentang pemerintah karena banyak warga mereka yang menjadi korban pada peristiwa di Masjid Merah Islamabad itu.
Penanganan Masjid Merah
Kini perang terbuka telah terjadi. Presiden Pervez Musharraf mengambil pilihan yang sangat berat, tetapi akhirnya harus diambil agar kehidupan demokratis dan modern di Pakistan tetap tegak berdiri. "Pemerintah memutuskan mencabut hingga ke akar-akarnya ektremisme dan terorisme dari seluruh negeri dengan taruhan apa pun, dengan mengombinasikan penggunaan kekuatan keras dan lunak. Keberhasilan Pakistan membasmi ekstremisme dan terorisme dari seluruh negeri juga akan menjadi sukses bagi masyarakat internasional secara keseluruhan," ujar Dubes Pakistan.
Sejak mulainya krisis pada Februari 2007, ketika para siswa Jamia Hafsa Islamabad yang berafiliasi dengan Masjid Merah, menduduki perpustakaan anak-anak, Pemerintah Pakistan menjelaskan, telah berusaha menyelesaikan masalah ini dengan cara halus. Akan tetapi, pengelola Masjid Merah tetap menolak bersikap fleksibel dan menolak usul pemerintah untuk penyelesaian baik-baik.
Bahkan, Maulana Abdul Aziz dan Abdul Rashid Ghazi sebagai pemimpin ulama berpidato berapi-api mengundang para pengikut garis keras dari seluruh penjuru negeri untuk berkumpul di Masjid Merah dan secara terbuka menyerukan madrasah-madrasah untuk bangkit menentang pemerintah. Tuntutan mereka semakin meningkat dengan meminta penerapan syariah di Pakistan.
Warga Islamabad
Warga Islamabad yang mulai tidak nyaman akhirnya menuntut pemerintahnya mengambil tindakan tegas, setelah para pengikut garis keras yang menjadikan Masjid Lal sebagai markas mereka mulai menculik sejumlah orang yang dianggap melanggar syariah yang mereka tetapkan, merusak toko-toko video/cd.
Atas berbagai tindakan itu, pemerintahan Musharraf masih memilih pendekatan damai, dengan mengimbau, mengajak berunding, dan membujuk mereka agar membebaskan orang-orang yang mereka culik dan para siswa yang mereka jadikan sandera. Akan tetapi, semua itu ditolak oleh kedua ulama bersaudara itu beserta para pengikutnya.
Keputusan untuk melakukan penyerbuan yang disampaikan Pemerintah Pakistan merupakan keputusan yang sulit, khususnya terkait dengan pandangan kesucian tempat ibadah itu dan adanya perempuan dan anak-anak di kompleks madrasah yang digunakan oleh gerilyawan garis keras sebagai perisai hidup.
Meski demikian, keputusan sulit itu semakin tak terhindarkan ketika semua upaya untuk menyelesaikan krisis itu secara damai menemui kegagalan, apalagi di dalam kompleks itu dilaporkan terdapat sejumlah pasukan asing dan persenjataan beserta munisinya dalam jumlah besar.
Kelompok kecil
Dubes Pakistan menjelaskan, ada preseden untuk membenarkan keputusan sulit ini, yaitu keputusan pemerintah Saudi untuk melakukan tindakan militer terhadap kelompok garis keras yang dipimpin Juhaiman ibn Muhammad ibn Saif Al Utaibi pada November 1979. Saat itu kelompok Metaibi menduduki tempat suci Kabah, menuntut pemberlakuan syariah yang menjadi pegangan mereka.
Seratus lebih pengikut Utaibi tewas pada operasi di dalam kompleks suci tersebut, 61 lainnya tertangkap hidup-hidup, tetapi kemudian dieksekusi di beberapa kota seputar Saudi.
Munculnya kelompok-kelompok garis keras di Pakistan, bagi Pemerintah Pakistan sendiri, awalnya tidaklah mengkhawatirkan karena mereka hanyalah sekelompok kecil warga yang tidak didukung oleh mayoritas rakyat Pakistan yang menikmati modernisasi dan moderasi dengan berbagai manfaatnya.
Oleh karena itu, meskipun perang melawan garis keras dan terorisme kini dilakukan lebih terbuka, Ali Baz yakin perang itu tidak akan meluas ke banyak provinsi di Pakistan oleh karena kantong-kantong kelompok garis keras hanyalah di sekitar perbatasan negara itu dengan Afganistan. "Saya kira kita pun tidak akan mau ada orang yang dengan seenaknya bisa mengatakan kamu tidak beragama, kamu orang murtad, lalu menghukum kita karena itu. Agama adalah urusan hubungan kita masing-masing dengan Sang Pencipta, dan setiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk menjaga hubungan itu," ujarnya.
Seorang Komandan Taliban yang mengepalai sebuah unit bergerak dari wilayah suku di Waziristan Utara hingga ke wilayah Bannu, Qari Sarfraz, seperti dikutip BBC, menjelaskan, mereka menyadari tidak mempunyai kapasitas untuk menggantikan pemerintahan Musharraf.
"Kami tidak bermaksud melakukan itu. Apa yang kami berusaha lakukan di wilayah kami adalah jika kami melihat sesuatu yang tidak Islami, kami berusaha menghentikannya karena kami bertanggung jawab untuk wilayah kami sendiri," ujarnya.
Meski dalam lima tahun terakhir di bawah kepemimpinan Musharraf, pendapatan per kapita Pakistan telah meningkat dari sekitar 400 dollar AS menjadi 800 dollar AS, kantong-kantong kemiskinan memang masih terdapat di beberapa tempat, khususnya di sekitar perbatasan dengan Afganistan.
Pendekatan peningkatan kesejahteraan untuk mengurangi kecenderungan dukungan warga di wilayah itu terhadap Taliban dan Al Qaeda, memang terus diupayakan. Akan tetapi, pembangunan berbagai prasarana dan sarana untuk meningkatkan kehidupan rakyat itu tidak akan berguna, bila kemudian menjadi sasaran penyerangan kelompok garis keras.
"Tidak mungkin kita membiarkan adanya negara dalam negara. Yang ingin mereka lakukan adalah itu, membangun negara dalam negara. Tentu saja ini tidak bisa dibiarkan dan Presiden Musharraf telah mengambil langkah paling berani untuk kepentingan seluruh rakyatnya dan masyarakat dunia secara keseluruhan," ujar Ali Baz.
No comments:
Post a Comment