Timor Leste
Belum Bebas dari Bayang-bayang Negara Gagal
Kalaupun pemilu Timor Leste berlangsung aman dan lancar-lancar saja, negara termuda di Asia itu kemungkinan belum bisa keluar dari bayang-bayang menjadi negara gagal (failed state). Betapa tidak, negara ini masih sangat rentan terjerembap dalam perpecahan.
Pemilu memang bisa menjadi jalan keluar bagi negara itu untuk membebaskan diri dari konflik. Apalagi, tiga kali pemilu di Timor Leste berlangsung aman dan lancar. Dua kali pemilu digelar ketika rakyat memilih Presiden Ramos Horta dalam dua putaran. Pemilu terakhir digelar Sabtu lalu untuk memilih anggota parlemen.
Tiga pemilu itu disambut antusias rakyat Timor Leste. Mereka berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara. Ini yang menyebabkan angka partisipasi rakyat dalam pemilu dilaporkan tinggi.
Dalam waktu dekat, hasil pemilu akan segera keluar. Sejauh ini, Partai Fretilin memimpin perolehan suara. Tepat di belakangnya ada Kongres Nasional Rekonstruksi Timor Leste (CNRT). Jika hasil pemilu diresmikan, parlemen dan pemerintahan baru akan terbentuk.
Pertanyaannya, apakah kesuksesan menggelar pemilu cukup untuk membawa negara yang tergolong paling miskin di dunia ini untuk segera bangkit? Sejumlah pengamat mengatakan tidak.
Siapa pun yang akan memimpin 1 juta rakyat Timor Leste akan menghadapi seabrek tantangan berat. Salah satunya adalah persoalan yang amat mendasar: perut.
Timor Leste memang memiliki cadangan minyak lepas pantai dan gas. Namun, itu belum termanfaatkan. Industri pun belum tumbuh. Akibatnya, penganggur menumpuk. Hampir setengah angkatan kerja di negara itu kini masih menganggur.
"Tidak ada pekerjaan. Di samping itu, tidak ada jaminan bahwa kita aman dalam perjalanan ke tempat kerja," ujar Xisto Carlos (24), warga Timor Leste.
Belum berjalannya roda perekonomian negara lima tahun setelah merdeka membuat 40 persen rakyat Timor Leste hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka benar-benar menggantungkan hidup pada bantuan makanan komunitas internasional.
Kendati demikian, bantuan tidak selalu memadai jumlahnya. Itu sebabnya badan-badan bantuan internasional pada bulan lalu memperingatkan bahwa seperlima rakyat Timor Leste atau sekitar 200.000 orang terancam kelaparan.
Kondisi ini membuat rakyat Timor Leste galau. Kegalauan ini ditangkap Xanana Gusmao. April lalu dia mengatakan, setelah lima tahun merdeka, rakyat Timor Leste justru kecewa karena perbaikan ekonomi di negara itu tak kunjung terwujud.
"Rakyat sudah jemu menunggu..., menunggu sesuatu yang baik," kata Gusmao ketika itu (Kompas, 4/4).
Itu baru dari sisi ekonomi. Dari sisi keamanan sami mawon. Saat ini, keamanan di Timor Leste masih bergantung pada kehadiran pasukan keamanan asing di bawah koordinasi PBB. Para pemimpin Timor Leste dan PBB menilai kehadiran pasukan asing masih dibutuhkan selama beberapa tahun ke depan.
"Masalah utama adalah keamanan, (dan) otoritas negara. Rakyat ingin merasakan lagi bahwa negara ini memiliki otoritas sendiri dan memiliki kekuatan sendiri untuk mengatasi masalah," ujar mantan Perdana Menteri (PM) Mari Alkatiri.
Negara yang sempat berada di bawah pemerintahan PBB hingga merdeka tahun 2002 ini juga memiliki persoalan berkaitan dengan legitimasi negara. Menurut Fund for Peace, lembaga nirlaba yang berbasis di Washington, Timor Leste berada di level terendah dalam hal legitimasi negara.
Penyebabnya adalah mudahnya negara ini terguncang peristiwa kekerasan. Tahun lalu, misalnya, PM Mari Alkatiri jatuh dari kekuasaannya setelah terjadi kekerasan berdarah di Timor Leste.
"Tekanan yang sedang dihadapi Timor Leste secara khusus berkaitan dengan destabilisasi. Pasalnya, negara baru seperti ini belum memiliki lembaga-lembaga yang mapan," ujar Joelle Burbank, peneliti Fund for Peace, seperti dikutip AP, Selasa (3/7).
Menurut Burbank, legitimasi pemerintah di sebuah negara baru sangatlah penting. Untuk kategori ini, skor Timor Leste jelek.
Berbagai kerentanan itulah yang membuat sejumlah pengamat sepakat memberi penilaian bahwa Timor Leste belum bebas dari kemungkinan terjerembap sebagai negara gagal.
Peringkat 20
Fund of Peace baru-baru ini memublikasikan indeks negara gagal tahun 2007 di majalah Foreign Policy. Lembaga itu menempatkan Timor Leste pada urutan ke-20 negara yang terancam mengalami kegagalan setelah Sudan, Irak, Somalia, Zimbabwe, dan beberapa negara lainnya.
Penentuan peringkat dalam indeks ini didasarkan pada 12 indikator, antara lain sosial, ekonomi, politik, dan militer. Pemeringkatan ini dilakukan di 177 negara.
Mari Alkatiri mengesampingkan penilaian sejumlah pengamat mengenai kemungkinan Timor Leste menjadi negara gagal. "Ini adalah periode transisi, dari negara yang benar-benar hancur menuju (periode) rekonstruksi. Anda baru bisa benar-benar bicara soal sebuah negara gagal setelah pemerintahan independen (berumur) 20-30 tahun, bukan setelah 4-5 tahun," paparnya.
Alkatiri boleh saja berpendapat demikian. Yang pasti, ujar para pengamat, masa depan Timor Leste sangat bergantung pada bagaimana faksi-faksi yang selama ini bertikai mampu bekerja sama. "Jika tidak, saya khawatir dengan stabilitas kami dan kemungkinan bahwa kami akan menjadi sebuah negara gagal," ujar Julio Tomas Pinto, seorang profesor ilmu politik di La Paz University di Timor Leste.
Bayang-bayang menjadi negara gagal memang masih mengiringi Timor Leste selama negara belum sanggup mengatasi seabrek masalahnya. Kita lihat saja. (AP/BSW)
No comments:
Post a Comment