Tuesday, July 10, 2007

Palestina dan Keegoisan Para Pemimpin Arab Cetak E-mail

Oleh: YON MACHMUDI, PHD

Di antara bangsa-bangsa yang ada di dunia, Palestina adalah salah satu bangsa yang paling lama hidup terjajah. Puncak dari penderitaan bangsa Palestina sebenarnya diawali dengan jatuhnya Jerusalem ke tangan Israel pada tanggal 10 Juni 1967.

Setelah itu pemimpin negara-negara Arab berusaha membangkitkan kembali semangat untuk merebut bumi Palestina dari kekuasaan Israel yang didukung oleh Amerika Serikat. Hanya, semangat itu pada akhirnya meluntur, setelah wilayah-wilayah yang dicaplok Israel dikembalikan ke negara-negara yang bersangkutan dengan catatan mereka mau mengakui keabsahan negara Israel di Timur Tengah. Sejak itu, satu per satu negara-negara Arab mulai menelantarkan urusan Palestina dan lebih berkonsentrasi dengan kepentingan nasional mereka.

Arab Saudi, Mesir, Suriah,Tunisia maupun Yordania tidak mau mengorbankan hubungan baiknya dengan AS demi mengurusi nasib pengungsi Palestina. Bahkan, para pengungsi di perbatasan Mesir dan Yordania yang sering melakukan protes dan perlawanan terhadap Israel diusir karena dianggap dapat menimbulkan persoalan dalam negeri mereka. Yang tersisa hanya para pengungsi di Lebanon yang mendapat dukungan kelompok Hizbullah yang pro-Iran. Negara-negara yang bersuara lantang menantang Israel seperti Irak, Libya, dan Iran mendapatkan ancaman dan sekaligus menjadi korban invasi dari Amerika Serikat (AS).

Diplomasi AS di Timur Tengah yang selalu dibarengi dengan politik menekan (coercion) dan menghukum (deterrence) berhasil menjauhkan Palestina dari agenda pemimpin negara-negara Arab. Pendekatan politik kapal perang (politics of warship) yang diterapkan AS juga mampu menakut-nakuti negara-negara yang menentang Israel maupun keterlibatan AS di Timur Tengah. Kapal-kapal perang AS disiagakan di perairan Teluk Arab dan siap bergerak mendekati wilayah-wilayah Arab guna mempengaruhi politik dalam negeri mereka.

Akibatnya, isu Palestina pun hanya sebatas solidaritas umat yang disuarakan oleh pemimpin-pemimpin agama dan masyarakat umum, tetapi sepi di tingkat kebijakan pemerintahan. Persatuan dan kekuatan negara-negara Arab yang diharapkan mampu mendorong penyelesaian Palestina ibarat jauh panggang dari api karena dunia Arab sendiri menghadapi persoalan perpecahan internal dan ketergantungan luar biasa terhadap kekuatan asing (AS dan Eropa).

Legitimasi Kekuasaan dan Rendahnya Kerja Sama Ekonomi

Di antara persoalan internal dunia Arab yang dapat menghambat persatuan di antara mereka adalah rapuhnya legitimasi politik yang dimiliki oleh para rezim penguasa. Sebagian besar pemimpin negara-negara Arab mempunyai potensi besar untuk mengalami ketidakstabilan politik karena bentuk politik yang represif. Para rezim umumnya tampil sebagai pemimpin-pemimpin besar yang memiliki kekuasaan tidak terbatas dalam membungkam suara publik.

Masing-masing negara pada akhirnya lebih memilih memikirkan keberlangsungan kekuasaannya masing- masing daripada harus menyatukan diri dalam satu entitas. Persoalan lain dari ketidakmampuan negara-negara Arab dalam mewujudkan satu kesatuan yang solid dan kuat adalah adanya kenyataan bahwa di antara mereka sendiri tidak memiliki jaringan ekonomi regional yang kokoh. Integrasi ekonomi regional sangat rendah bahkan perdagangan dan investasi yang terjadi antarnegara-negara Arab sendiri kurang dari lebih 5 persen dan selebihnya dengan dunia Barat.

Hegemoni AS

Secara umum, dunia Arab memiliki tingkat fragmentasi yang sangat tinggi terutama apabila dilihat dari keinginan masing-masing pemimpin negara itu untuk menjadi patron bagi yang lain. Karena itu, usaha-usaha untuk menjadi negara pusat (a center state) dan diakui kepemimpinannya di tingkat regional menjadi isu yang sangat sensitif. Arab Saudi, Mesir, Suriah, dan Irak (sebelum invasi AS) adalah negara-negara besar yang selalu berusaha untuk memegang kepemimpinan regional di Timur Tengah.

Mengingat sulitnya usaha-usaha untuk menyatukan diri dalam membentuk kepentingan bersama di dunia Arab, maka kemudian masing-masing negara lebih memilih untuk membangun kerja sama individu dengan negara-negara Barat. Setelah hancurnya kekuatan Uni Soviet, AS kemudian menjadi satusatunya negara yang mampu menarik perhatian para pemimpin dunia Arab.

Peran Indonesia

Posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia sebenarnya memiliki fungsi yang sangat strategis. Indonesia dipandang memiliki pemikiran Islam yang moderat diharapkan mampu menjembatani konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah. Dibutuhkan keberanian dan langkah yang sungguh-sungguh bagi Indonesia untuk memasuki era baru dalam penyelesaian konflik yang ada.

Konstelasi politik internasional yang dikuasai oleh AS dan melemahnya dukungan para rezim di Timur Tengah terhadap kemerdekaan Palestina hendaknya tidak menjadi pertimbangan utama pemerintah Indonesia dalam menentukan langkah-langkah strategis guna membantu menyelesaikan persoalan Palestina.

Pemerintah Indonesia seyogianya tetap berpegang pada semangat politik bebas aktif dengan mengedepankan penghormatan pada hak-hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination). Karena itu, tekanan dari AS apa pun bentuknya harus dapat dilawan agar penyelesaian Palestina tidak sekadar mengikuti permainan politik Israel dan AS yang pada akhirnya merugikan kepentingan bangsa Palestina itu sendiri.

Suara publik di Indonesia yang menolak segala bentuk penjajahan hendaknya dapat disuarakan selantang-lantangnya dalam kebijakan politik luar negeri yang mengarah pada kemerdekaan Palestina. Kekecewaan publik Indonesia atas dukungan Indonesia terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB 1747 yang memberi sanksi kepada Iran sejatinya dapat terobati apabila Pemerintah Indonesia mampu menunjukkan keseriusannya dalam menyuarakan hak-hak bangsa Palestina. (*)

YON MACHMUDI, PHD
Dosen Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

No comments: