Tanggung Jawab Sosial Korporasi
Salah satu pasal yang membuat kegaduhan dalam Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang pekan lalu disetujui untuk disahkan DPR menjadi Undang-Undang adalah Pasal 74 yang mengatur prinsip tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility/CSR).
Sesungguhnya, ketentuan yang erat berkait dengan hal ini telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007, terutama melalui Pasal 15 dan Pasal 34, yang memberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatalan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, sampai pencabutan kegiatan usaha.
Pertautan antara kedua UU tersebut telah membuat dunia usaha menjerit karena dunia usaha merasa terjepit dengan terjadinya kemerosotan daya saing, biaya ekonomi tinggi, dan segala masalah lain, seperti reformasi pajak, undang-undang perburuhan, reformasi birokrasi, dan penguatan kelembagaan hukum yang belum mendapat perhatian yang saksama.
Soal itu jugalah yang menjadi perhatian Bruce L Hay, Robert N Stavins, dan Richard HK Vietor. Bagi guru besar Harvard Law School ini, pertanyaan mendasar bukan apakah korporasi wajib tunduk dan patuh kepada hukum karena pertanyaan tersebut tak lagi membutuhkan jawaban.
Yang menjadi soal penting adalah pertanyaan tentang tata cara apakah yang dapat mendorong korporasi bersedia untuk mengorbankan keuntungannya guna kepentingan sosial? Apakah mereka mampu melakukan hal itu mengingat mereka memiliki apa yang disebut sebagai fiduciary responsibilities terhadap para pemegang saham? (Environmental Protection and the Social Responsibility of Firms, Perspective from Law, Economic and Business, RFF Press, 2005).
Serangkaian pertanyaan seperti itu akan terus datang bergelombang jika pertanyaan dasar tentang mengapa perseroan harus punya tanggung jawab sosial tak ditemukan jawabannya. Padahal, menemukan jawaban itu tidaklah terlalu sukar karena pada dasarnya kepentingan perseroan tidak lagi boleh bergerak terbatas hanya pada kepentingan pemegang saham ataupun karyawan yang terlibat di dalamnya.
Definisi luas seperti itulah yang pada saat ini banyak dianut dengan meninggalkan apa yang di Amerika dikenal sebagai model philanthropic yang memperbolehkan korporasi untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya dan kemudian diharapkan memberikan donasi sebagai bagian dari tanggung jawab korporasi.
Model "belas kasihan" seperti ini sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara karena apa yang disebut sebagai CSR berhubungan erat dengan soal akuntabilitas terhadap dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan korporasi.
Dengan kata lain, yang dipersoalkan adalah menghilangkan seluruh dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. Singkatnya, CSR lebih banyak berhubungan dengan terciptanya keseimbangan antara biaya rasional yang dikeluarkan dalam proses produksi dan laba operasional yang diperoleh korporasi dengan memperhitungkan seberapa besar dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi yang ditimbulkan.
Itulah sebabnya agak mengherankan jika dunia usaha di Indonesia menjerit ketika RUU tentang PT disetujui untuk disahkan dan di dalamnya diatur tentang CSR ini. Seolah dunia usaha di Tanah Air menutup mata terhadap serangkaian kerusakan sosial, budaya, alam, dan ekonomi yang dihasilkan oleh kegiatan produksi korporasi.
Agak mengejutkan juga ketika disebutkan bahwa tak ada negara lain yang merumuskan soal CSR ini di dalam UU perseroan. Seolah terlupakan ketika Inggris memasukkan soal ini ke dalam UU PT dan mengaturnya di dalam ketentuan umum dan bahkan menetapkan adanya kewajiban pelaporan bagi seluruh perusahaan berkaitan dengan soal CSR yang telah tercatat di bursa saham. Semua persyaratan ini tercatat di dalam CODEX hukum di Inggris meskipun negara ini menganut sistem common law.
Tentu saja, sekelumit contoh tadi dapat bergerak secara jauh lebih dramatis jika dipahami bahwa pergerakan terhadap CSR ini sudah menjadi bagian yang dianggap fundamental bagi kehidupan manusia dan lingkungan tempat korporasi menjalankan aktivitas produksinya.
Gerakan sosial
Salah satu di antaranya diungkap oleh Jennifer A Zerk yang melukiskan bahwa gerakan sosial terbesar dalam periode saat ini adalah gerakan CSR yang memberikan tekanan terhadap multinasional, negara, dan bahkan hukum internasional yang dipandangnya terlalu banyak mengabaikan, jika tidak mau dikatakan sangat miskin, dalam memerhatikan persoalan globalisasi (Multinationals and Corporate Social Responsibility, Limitations and Opportunities in International Law, Cambridge Studies in International Law, No 48, Cambridge University Press, 2007).
Ia berkata, penerimaan terhadap prinsip CSR pada dasarnya bukan terletak pada persoalan hukum, tetapi lebih pada perlawanan ekonomi dan politik.
Tak mengherankan ketika RUU PT disetujui untuk disahkan, yang menjadi fokus hanya kegiatan usaha di bidang sumber daya alam, seolah kegiatan usaha di luar itu tidak memberikan dampak sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Seolah kegiatan usaha yang mengambil bahan baku produksi dari alam, seperti furnitur, kosmetik, dan rokok, tak berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan sosial budaya ketika begitu banyak perusahaan yang memanfaatkan tenaga kerja dengan upah yang teramat murah.
Yang mengherankan adalah ketika banyak negara sudah menganggap CSR sebagai bagian yang melekat dari dinamika korporasi, dunia usaha di Indonesia terus menjerit dan menganggap seolah CSR sebagai beban, bukan soal tanggung jawab.
Inti persoalan kemudian digeser dari masalah prinsip kehidupan manusia dan lingkungannya ke persoalan yang bersifat teknis perusahaan, yang berakhir pada masalah perhitungan antara untung dan rugi. Padahal, CSR berkaitan juga dengan kelangsungan kehidupan setiap korporasi.
Meskipun demikian, patut dicatat, memahami persoalan dunia usaha di Indonesia memang membutuhkan pendekatan lebih khusus. Jangan berharap berbicara tentang CSR di belahan Bumi yang lain akan sama nikmatnya jika berbicara soal yang sama dalam konteks Indonesia.
Di belahan Bumi yang lain, ketika korupsi dibabat habis dan seluruh mata rantai birokrasi dibereskan dengan memberikan tekanan kepada pemberesan kelembagaan hukum, reformasi birokrasi, remunerasi, dan reformasi hukum berjalan, dunia usaha mulai bergerak pasti dan siap bicara soal CSR dalam konotasi yang pahit sekalipun.
Sementara itu, di wilayah Nusantara, pengusaha harus berhadapan dengan semua urusan yang berkonotasi uang, birokrasi yang panjang dan melelahkan, kepastian hukum yang masih menjadi angan-angan, merosotnya daya saing, seretnya kredit dari perbankan, relatif tingginya pajak badan yang dikenakan negara, dan serentetan masalah lainnya yang membuat dunia usaha bagaikan hidup segan mati tak hendak.
Dalam situasi seperti itu, sangat masuk akal jika adopsi terhadap semua prinsip-prinsip yang berlaku di negara yang faktor kelembagaan ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politiknya sudah tertata dengan baik menjadi tak dapat bekerja dengan baik ketika dicoba untuk diterapkan di Indonesia.
Masalahnya tidak terletak pada adanya UU PT yang baru, tetapi lebih terletak pada bagaimana pemerintah memberikan ruang yang luas pada kenyamanan berusaha dengan memerhatikan faktor kelembagaan sebagai faktor yang dominan sebelum adopsi terhadap konsep apa pun hendak dijalankan.
Bantahan terhadap kelemahan ini dapat dilakukan, tetapi tetap saja akan sia-sia. Sebab, bukankah angin tak dapat ditutupi dan asap tak dapat digenggam?
No comments:
Post a Comment