Sunday, July 1, 2007


Menyelami Faktor Israel

Oleh :

Muhammad Takdir
Diplomat RI

Ada pernyataan menarik Effendi Choirie, anggota Komisi I DPR RI sebagaimana diberitakan Republika (25/6) dalam rapat kerja dengan Komisi I dengan Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda. Effendi Choirie menyatakan perlunya pemerintah untuk segera mengoreksi, mengevaluasi, dan mendiskusikan secara objektif sikap maupun posisi Indonesia vis-a-vis Israel. Pernyataan itu tidaklah baru bagi Departemen Luar Negeri karena pemikiran-pemikiran mengenai isu strategis yang terkait dengan Timur Tengah (termasuk Israel) telah secara intensif mulai didiskusikan dan dikaji serius.

Keseriusan kita
Antusiasme dan ekspektasi tinggi terhadap engagement konstruktif Indonesia di Timur Tengah terlihat pada sejumlah pernyataan optimistis yang selalu disampaikan, baik oleh Presiden SBY maupun Menlu Hassan Wirajuda. Peran aktif RI di Timur Tengah mengetengahkan harapan paling rasional pemerintah terhadap peran signifikan Indonesia yang dapat dimainkan Indonesia di kawasan tersebut. Optimisme itu dibingkai oleh status baru Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) untuk periode 2007-2008. Presiden SBY bertekad menjadikan proses penyelesaian Palestina sebagai salah satu prioritas dalam masa pemerintahannya.

Tekad itu sebenarnya telah lama tersimpan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, khususnya Bab 8 tentang Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerja sama Internasional. Bab tersebut mengungkapkan bahwa pemajuan peran aktif Indonesia di berbagai forum internasional dan PBB harus direvitalisasi dalam mencapai penyelesaian yang adil dalam soal Palestina dengan mengakhiri pendudukan Israel sebagai bagian dari peace making. Masalahnya, Indonesia dinilai publik cenderung lack of self-confident dalam menentukan bentuk-bentuk engagement yang harus dilakukan terkait dengan bagaimana menyikapi faktor Israel dalam konflik tersebut.

Perdebatan umum yang terjadi di Indonesia adalah bagaimana mengeksplorasi kemungkinan engagement kita dalam krisis di Timur Tengah tanpa berhubungan langsung dengan Israel. Sebab, premis utama yang selama ini kita pertahankan yakni tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Tel Aviv tanpa kemerdekaan Palestina atau pengakhiran pendudukan Israel di tanah Arab. Sementara akses untuk memainkan peranan strategis dalam penyelesaian konflik di kawasan itu sangat ditentukan oleh seberapa besar sikap penerimaan Israel terhadap tawaran maupun inisiatif Indonesia. Artinya, it takes two to tango.

Realitas politik internasional menunjukkan bahwa tantangan terberat dalam memprakarsai inisiatif perdamaian di kawasan itu dengan mendorong seluruh pihak kunci maju dalam meja perundingan adalah memperoleh konsensus Israel atas proposal tersebut. Dalam beberapa hal, dukungan AS juga sangat vital. Indonesia harus mampu mengirimkan pesan yang bersifat bersahabat terhadap kepentingan kedua negara. Secara politis, determinasi kita dalam proses yang ditempuh memang seyogianya tidak merusak kepentingan para pihak yang bertikai. Karena itu, kemampuan memainkan peran honest brooker dapat berarti Indonesia siap meyakinkan Israel bahwa kita lacking of personal interest. Diplomasi yang diperlukan pun boleh disebut sangat maju.

Jika menelusuri catatan kontak yang kita ciptakan dengan Israel, Indonesia mungkin masih dalam tahap penjajakan yang bersifat 'malu-malu'. Di tingkat tertinggi, kontak pertama Indonesia dengan Israel berawal dari langkah PM Yizhak Rabin pada awal dasawarsa 1990-an. Sesaat setelah keberhasilan Oslo Accord tahun 1993, PM Yizhak Rabin mengunjungi Jakarta dan bertemu dengan Presiden Soeharto ketika itu.

Kontak tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan Menlu Israel Shimon Peres pada tahun 1995. Tetapi semua rintisan itu ambruk ketika PM Benyamin Netanyahu tampil sebagai pemimpin yang baru pada akhir dekade 1990-an yang sekaligus juga menandai babak gelap proses perdamaian di Timur Tengah. Mungkin karena situasi itu, Indonesia lalu menolak PM Netanyahu melakukan transit di Indonesia dalam perjalanannya pulang dari Jepang pada tahun 1997.

Pada tahun 1999, presiden yang menjabat saat itu, Abdurrahman Wahid melaksanakan tour ke Timur Tengah, namun memutuskan tidak melakukan perjalanan ke Israel sebagai akibat tekanan publik domestik yang luar biasa. Akibatnya ia hanya berkunjung ke Yordania. Kontak terakhir paling tinggi dilakukan pada tahun 2005 ketika Menlu Hassan Wirajuda bertemu dengan Menlu Israel Silvan Shalom di New York. Indonesia menyebut pertemuan itu sebagai informal meeting dan tidak berimplikasi pada pembukaan hubungan diplomatik kedua negara. Penjelasan Menlu Hassan Wirajuda di hadapan Komisi I DPR-RI seingat saya jelas menegaskan bahwa prioritas terbesar dalam membangun kontak dengan Israel adalah tetap untuk mencapai kemerdekaan rakyat Palestina.

Tantangan utama
Tak dapat dipungkiri adanya godaan yang sangat besar untuk masuk dalam prakarsa penyelesaian Timur Tengah. Israel pun sebenarnya memperlihatkan gelagat ketertarikan yang sama sebagaimana tercermin pada kontak paling akhir kedua negara. Namun di saat bersamaan, kita terbentur pada apa yang saya sebut sebagai constitutionally built-in obstacle dengan menganggap Israel sebagai agresor dan pendudukan di tanah asing. Kebijakan tak mau kenal Israel dipahami sebagai sikap yang sejalan dengan UUD 1945 yang tidak mentolerir berbagai macam bentuk pendudukan terhadap negara lain. Konsekuensinya, atas dasar itu Indonesia menolak setiap kontak dengan Israel yang berimplikasi pada kemungkinan pembukaan hubungan diplomatik di antara kedua negara.

Jika Indonesia serius masuk dalam spotlight penyelesaian konflik Israel-Palestina, hal pertama kali yang perlu disingkirkan adalah sikap 'malu-malu' itu. Kita jelas tidak akan efektif melakoni peran mediasi tanpa menciptakan relasi langsung dengan kedua pihak, baik Palestina maupun Israel. Selain sikap non-relasi itu tidak realistis dalam melihat konfigurasi politik regional di kawasan tersebut, Indonesia juga telah mengabaikan faktor Israel sebagai elemen konflik yang paling mendasar.

Andaipun Indonesia mampu melewati tahapan krusial ini, skeptisisme berikut yang sering menganggu adalah pernyataan bahwa Indonesia tidak cukup kuat memikul beban berat dalam mengupayakan penyelesaian akhir atas konflik di kawasan tersebut. Kelompok Kuartet saja yang terdiri dari empat pemain internasional yakni PBB, AS, Uni Eropa, dan Rusia tidak mampu melanggengkan gagasan Peta Jalan Damai. Bagaimana Indonesia secara sendiri mengartikulasikan peranan itu tanpa kerterlibatan dan partisipasi para pemain internasional lainnya?

Mereka yang pesimis mungkin melupakan pengalaman Norwegia tatkala berhasil mengantarkan Palestina dan Israel untuk mencapai konsensus pada Oslo Accord 1993. Kesepakatan ini merupakan perjanjian pertama Palestina-Israel yang dicapai tanpa melibatkan aktor internasional seperti AS maupun Uni Eropa. Pihak ketiga seperti Norwegia bukanlah dominant player namun mampu menciptakan suasana yang memungkinkan Palestina dan Israel membahas persoalan-persoalan fundamental yang mereka hadapi.

Norwegia tidak memberikan komitmen resmi kepada Uni Eropa maupun AS dalam proses inisiasi gagasan perdamaian mereka. Menariknya, kendati karakter fasilitasi perundingan Oslo yang diberikan Norwegia bersifat bilateral namun pada akhirnya Washington pun memberikan dukungan kuat melalui fasilitasi penandatanganan perjanjian yang mengambil tempat di South Lawn Gedung Putih. Padahal, AS semula tidak memandang proses perundingan Oslo sebagai serious track.

Semua itu sebenarnya dimungkinkan oleh pengertian bersama Palestina dan Israel yang menilai bahwa tidak ada kesepakatan yang dapat dijalankan dengan lancar tanpa keterlibatan penuh dan menyeluruh Washington (lihat, Muhammad Takdir, Indonesia's Breakthrough in the Middle East, The Jakarta Post, 30/11/06).

Indonesia bisa mencontoh Norwegia dengan segala kelebihan kilau credential yang dipunyai Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Indonesia ditopang oleh sejarah keberhasilan dalam penyelesaian konflik di Kamboja maupun Filipina Selatan pada akhir dekade 1980-an. Oleh karena itu, keinginan untuk mengambil peran konstruktif dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah sangat ditentukan seberapa jauh kita menyikapi kepentingan taktis Indonesia dalam mengelola faktor Israel.

Ikhtisar

- Secara formal pemerintah telah menjadikan proses penyelesaian masalah Palestina sebagai salah satu program prioritas bagi Indonesia.
- Untuk menjalankan proses tersebut, faktor Israel sangatlah penting.
- Smentara pihak saat ini masih memandang bahwa Indonesia belum percaya diri untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel.
- Indonesia harus mampu menunjukkan diri bahwa tidak ada self-interest yang menyelinap di balik upaya pembebasan Palestina itu.

No comments: