Musthafa Abd Rahman
Telah berlalu setahun perang Israel-Hezbollah (berkecamuk mulai 12 Juli dan berakhir 13 Agustus). Media massa Arab menyebut perang tersebut merupakan perang Arab-Israel ke-6 setelah perang tahun 1948, 1956, 1967, 1973, dan 1982.
Perang itu dipicu oleh aksi militer Hezbollah ke wilayah Israel dengan menghancurkan sejumlah tank Israel dan menewaskan delapan tentara serta menahan dua lainnya yang hingga saat ini masih disekap Hezbollah.
Israel segera mendeklarasikan perang terhadap Hezbollah, yang akhirnya berlangsung selama 33 hari, dengan menewaskan 1.119 orang dan melukai 4.409 penduduk sipil Lebanon. Hezbollah kehilangan 500 tentara.
Infrastruktur negeri Lebanon hancur lebur mulai dari jembatan, desa-desa, hingga kota-kota di Lebanon Selatan, Lembah Bekaa, dan Beirut Selatan.
Israel kehilangan 119 tentara dan 43 penduduk sipil serta yang cedera 4.262 orang. Sebanyak 350.000 penduduk Israel di wilayah utara yang berbatasan dengan Lebanon terpaksa mengungsi ke wilayah yang lebih aman di selatan.
Dahsyat
Perang itu ternyata tidak hanya dahsyat dalam kualitas pertempurannya, tetapi juga membawa dampak politik luar biasa yang mengguncang Israel dan Lebanon. Dalam pertempuran, teknik dan semangat tempur gerilyawan Hezbollah sangat mengagumkan hingga mampu bertahan selama 33 hari menghadapi berbagai jenis senjata Israel yang supercanggih itu.
Hezbollah juga membuat kejutan bagi Israel dan masyarakat internasional dengan senjata rudal antitanknya yang mampu menghancurkan atau merusak puluhan tank canggih Mirkava miliki Israel.
Hezbollah juga mencengangkan Israel dan masyarakat internasional dengan tembakan ratusan rudal berbagai jenis dari darat ke darat ke arah berbagai kota Israel di wilayah utara dan bahkan mencapai kota Haifa di wilayah tengah.
Sebaliknya, Israel melancarkan serangan terdahsyat sejak invasinya ke Lebanon tahun 1982. Israel telah mengerahkan empat divisi angkatan darat pada pekan terakhir dari perang tahun lalu.
Dalam kancah politik pascaperang, Israel dan Lebanon sama-sama diguncang krisis politik internal. Investigasi Komisi Winograd mengkritik keras kepemimpinan Perdana Menteri Ehud Olmert dalam cara merancang, mengambil keputusan, dan mengontrol jalannya perang.
Hasil investigasi komisi tersebut nyaris mengempaskan Olmert dari posisinya sebagai PM Israel. Meski masih bertahan sebagai PM, posisi politik Olmert kini jauh lebih lemah pascakeluarnya hasil investigasi Komisi Winograd itu.
Bahkan, hubungan PM Olmert dan Menteri Luar Negeri Tzipi Livni kurang harmonis lagi setelah Livni mengimbau Olmert mundur dari jabatan PM menyusul diumumkannya hasil investigasi Komisi Winograd itu. Livni juga tidak segan-segan menyatakan keinginannya menggantikan Olmert sebagai PM.
Kajian
Institut kajian keamanan nasional pada Universitas Tel Aviv juga mengeluarkan hasil kajiannya tentang penampilan militer Israel dalam perang dengan Hezbollah tahun lalu.
Berdasarkan hasil kajian itu, militer Israel sangat mengandalkan keunggulan teknologinya dan hanya mau bertempur dari jarak jauh, tetapi sangat lemah dalam pertempuran jarak dekat. Tentara Israel selalu menghindar dari pertarungan satu lawan satu dalam jarak sangat dekat dengan gerilyawan Hezbollah.
Hasil kajian itu juga menegaskan, militer Israel semakin tidak mampu mengemban jumlah korban yang besar dan sedapat mungkin menghindar pula dari perang darat. Karena itu, serangan darat Israel selalu gagal pada minggu pertama perang melawan Hezbollah.
Di Lebanon, guncangan krisis politik internal lebih dahsyat lagi. Para politisi Lebanon serta-merta terpuruk dalam perpecahan akut yang menggiring negeri Lebanon dilanda perang politik di antara politisinya setelah babak belur akibat perang Israel-Hezbollah.
Pada gilirannya, hasil perang Juli tahun lalu tidak mendapat perhatian semestinya. Hezbollah yang memimpin kubu oposisi menuduh lawan-lawan politiknya telah berkolaborasi secara tidak langsung dengan Israel dan AS. Hezbollah pun menggerakkan massanya untuk berunjuk rasa di depan Kantor PM Lebanon Fouad Siniora yang terus berlangsung hingga sekarang. Hezbollah juga telah menarik para menterinya dari kabinet pimpinan PM Siniora.
Sistem politik Lebanon pun kini lumpuh. Tidak ada lagi sidang kabinet dan sidang parlemen serta hubungan PM dan presiden praktis terputus.
Tujuan Hezbollah dan kubu oposisi adalah memaksa PM Siniora mengundurkan diri dan selanjutnya dibentuk pemerintah transisi yang bertugas menggelar pemilu parlemen dini. Hezbollah dan kubu oposisi yang minoritas berharap dalam pemilu dini itu bisa mendapatkan kursi lebih banyak daripada pemilu sebelumnya.
Namun, tujuan Hezbollah dan kubu oposisi gagal tercapai karena PM Siniora ternyata mampu bertahan sampai saat ini.
Mengapa Hezbollah memilih mengobar krisis politik dalam negeri daripada merayakan prestasi yang dicapai dalam perangnya melawan Israel?
Ditengarai, ada tiga faktor yang mendorong Hezbollah menuai krisis politik di dalam negeri. Pertama, Hezbollah begitu terkejut ketika sejumlah menteri dalam sidang kabinet pertama pascaperang meminta segera dilucuti senjata Hezbollah sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB Nomor 1701 yang mengakhiri perang Israel-Hezbollah itu. Hezbollah juga kecewa karena kaum Sunni dan Kristen Maronite cenderung melempar kesalahan kepada Hezbollah atas terjadinya invasi Israel ke Lebanon. Mereka juga menuduh Hezbollah mengambil alih keputusan politik dari negara Lebanon untuk mewujudkan kepentingan Iran daripada kepentingan rakyat Lebanon sendiri.
Kedua, Hezbollah dan kubu oposisi berusaha bisa mengontrol keputusan politik di Lebanon dengan cara menguasai minimal sepertiga anggota kabinet. Dalam konstitusi Lebanon ditegaskan, semua rancangan undang-undang (RUU) dan program pemerintah bisa lolos jika disetujui minimal dua pertiga lebih satu anggota kabinet.
Dengan demikian, jika Hezbollah dan kubu oposisi menguasai sepertiga kursi kabinet, mereka bisa menggagalkan RUU atau program pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan mereka.
Beralihnya perhatian Hezbollah untuk bisa mengontrol dan mengendalikan keputusan politik di dalam negeri itu disebabkan tereduksinya peran Hezbollah di wilayah perbatasan Israel-Lebanon setelah turunnya Resolusi DK PBB No 1701. Resolusi itu memberi wewenang kepada pasukan perdamaian PBB (UNIFIL) dan pasukan Lebanon mengontrol penuh perbatasan dengan Israel. Sementara Hezbollah harus mundur dari wilayah perbatasan. Maka, tidak ada pilihan bagi Hezbollah kecuali maju menuju Beirut untuk merebut kontrol politik di dalam negeri, khususnya semakin dekatnya pemilihan presiden, setelah kehilangan kontrol di wilayah perbatasan dengan Israel.
Presiden baru
Kecemasan utama Hezbollah adalah kubu pemerintah mampu memilih presiden baru yang tak memberi apresiasi pada gerakan perlawanan. Seperti diketahui, Presiden Emile Lahoud akan berakhir masa jabatannya pada September mendatang.
Karena itu, Hezbollah berusaha dengan segala cara agar presiden Lebanon mendatang tidak loyal kepada Barat dan dapat diterima Hezbollah serta tidak menentang gerakan perlawanan.
Ketiga, tekanan regional. Hezbollah mendapatkan dukungan dana, militer, serta moral dari Iran dan Suriah. Pascaperang tahun lalu, kubu pemerintah atau mayoritas meningkatkan gerakannya untuk meloloskan pembentukan mahkamah internasional atas tewasnya mantan PM Lebanon Rafik Hariri.
Adapun Suriah tidak setuju atas pembentukan mahkamah internasional tersebut. Suriah, Hezbollah, dan kubu oposisi khawatir mahkamah internasional itu dipolitisasi AS dan kubu mayoritas di Lebanon.
Akan tetapi, AS dan Barat berhasil menjauhkan isu mahkamah internasional dari urusan internal Lebanon dengan cara menetapkan pembentukan mahkamah internasional itu melalui resolusi DK PBB.
Kini tinggal isu pemilihan presiden baru Lebanon pada akhir September yang menjadi pemicu utama krisis politik di Lebanon.
Kubu mayoritas dengan didukung masyarakat internasional dan dunia Arab menganggap presiden mendatang adalah hak mereka dan merekalah yang memilih karena memegang mayoritas.
Kubu mayoritas itu juga berpandangan presiden Lebanon mendatang adalah presiden pertama sejak berakhirnya perang saudara tahun 1990 yang bisa dipilih tanpa pengaruh Suriah sama sekali.
Oleh karena itu, kubu mayoritas melihat saat ini adalah masa kemerdekaan kedua bagi negeri Lebanon yang terwujud lewat hengkangnya pasukan Suriah dari negeri itu. Kemerdekaan kedua itu tidak akan sempurna tanpa adanya presiden yang berada di luar pengaruh Suriah.
Sementara itu, kubu oposisi yang didukung Suriah dan Iran menganggap proses pemilihan presiden Lebanon selalu dengan kesepakatan, bukan dengan cara mengandalkan suara mayoritas mengingat komposisi peta sekte, agama, dan mazhab agama di negeri itu.
Kubu oposisi juga berpendapat mereka adalah bagian dari elemen rakyat Lebanon yang cukup luas dan tidak bisa diabaikan begitu saja aspirasinya.
No comments:
Post a Comment