Wilayah Dominan Syiah
yang Terbelah Dua
Senin, 3 Maret 2008 | 02:17 WIB
Hubungan Iran-Irak selama dua dekade terakhir dipenuhi hawa permusuhan dan saling curiga. Namun, perlahan, hubungan yang tegang itu mulai mencair seiring dengan naiknya para pemimpin Syiah Irak ke tampuk kekuasaan pemerintahan di negara itu.
Sejarah masa lalu kedua negara sesungguhnya tidak terlepas dari dua aliran besar dalam Islam yang dikenal dengan Sunni dan Syiah. Kedua aliran itu di banyak kelompok masyarakat lebih dikenal ketimbang beberapa aliran besar lainnya dalam Islam.
Konflik Iran-Irak juga tidak terlepas dari sejarah wilayah itu pada masa kerajaan Mesopotamia hingga kekaisaran Ottoman. Antara tahun 1555 dan 1918, menurut Wikipedia, kerajaan Persia dan kekaisaran Ottoman telah menandatangani tidak kurang dari 18 perjanjian mengenai batas kedua wilayah yang terus dipersengketakan.
Persengketaan batas negara itu terus berlanjut hingga kemudian pada 1975, atas desakan AS, Iran dan Irak menandatangani kesepakatan mengenai batas negara di Algiers, Aljazair.
Sejak itu hubungan kedua pemerintahan agak membaik pada 1978, ketika agen-agen Iran di Irak berhasil membongkar komplotan pro-Uni Soviet yang merencanakan kudeta terhadap Pemerintah Irak. Akan tetapi, hubungan kedua negara memburuk lagi ketika Saddam Hussein berkuasa dan kembali mengungkit masa lalu.
Puncaknya, pasukan Irak kemudian menyerbu masuk ke Iran pada 22 September 1980. Selain masalah sengketa perbatasan yang kembali diungkit, Saddam ketika itu juga mengkhawatirkan perlawanan warga Syiah yang notabene mayoritas di Irak. Warga Syiah Irak kian aktif menuntut hak-haknya, terinspirasi oleh keberhasilan revolusi di Iran.
Perang Iran-Irak yang berlangsung hingga 1988 menewaskan ratusan ribu warga dari kedua belah pihak. Kekuatan angkatan bersenjata Irak yang saat itu lebih menonjol dilawan dengan keberanian dan perlawanan yang tinggi dari bangsa Iran.
Konflik kedua negara semakin memburuk dengan keterlibatan AS membantu Irak. Perang juga meluas hingga penghancuran kapal-kapal pengangkut minyak, yang menjadi sumber penghasilan bagi kedua negara tersebut.
Akhirnya setelah sama-sama babak belur, Iran dan Irak menyepakati untuk berdamai pada 20 Agustus 1988.
Sunni-Syiah
Meski di tataran formal pemerintahan kedua negara telah menghentikan perang, di dalam negeri Irak sendiri perebutan pengaruh tidak pernah berhenti antara warga Syiah dan warga Sunni yang menduduki pemerintahan Irak di bawah Saddam.
Oleh karena itulah, ketika AS memutuskan menginvasi Irak dengan mengajak beberapa sekutunya dan menjatuhkan Saddam Hussein, peta sosial-politik di Irak pun langsung berubah. Warga Syiah kemudian menuntut haknya sebagai mayoritas di Irak. Di sisi lain, AS dan sekutunya juga tidak punya pilihan lain karena mengkhawatirkan perlawanan sebagian besar warga Sunni yang sangat marah dengan dijatuhkan dan dieksekusinya Saddam Hussein.
Kini, Iran dipimpin oleh Nuri al-Maliki yang jelas-jelas Syiah. Presiden Irak Jalal Talabani pun meski seorang Kurdi, tetapi fasih berbahasa Farsi (Iran). Tidak mengherankan bila kemudian hubungan Iran dan Irak kini membaik di tataran yang jauh lebih dalam karena pertemuan kembali warga Syiah yang terpisahkan dua negara. Tinggallah kini AS yang bingung menghadapi menguatnya Syiah di kawasan. (BBC/Reuters/OKI)
No comments:
Post a Comment