Friday, March 7, 2008

Putinisme Tanpa Putin



Kusnanto Anggoro

Pemilihan presiden Rusia boleh saja baru diselenggarakan belum lewat sepekan. Namun, hasil pemilihan itu telah dapat dipastikan beberapa bulan sebelumnya. Sejak akhir tahun silam, Wakil Perdana Menteri Dmitry Medvedev (42 tahun) sudah menjadi calon yang paling kuat, menggeser Viktor Zubkov dan Sergei Ivanov.

Dengan Vladimir Putin sebagai perdana menteri, seperti salah satu skenario yang paling populer dalam beberapa bulan belakangan ini, Rusia tetap akan berada dalam genggaman Putin. Presiden Medvedev sendiri mengatakan bahwa kepemimpinannya akan menjadi ”kesinambungan langsung” (direct continuation) kepemimpinan Vladimir Putin. Bisa jadi, pemilihan presiden Rusia kali ini agaknya tidak lebih dari sekadar interlude Putin untuk kembali ke Kremlin secara konstitusional.

Keseimbangan Timur-Barat

Dalam serangkaian kampanye kepresidenan Medvedev hanya sedikit memaparkan gagasannya tentang politik luar negeri. Yang secara berulang-ulang disebutnya adalah keharusan untuk memperjuangkan kepentingan nasional, menjaga independensi politik luar negeri, dan keinginannya untuk menyusuri jalan yang selama ini telah dibangun oleh Presiden Vladimir Putin. Terobosan penting mungkin terbatas pada penggunaan energi sebagai instrumen diplomasi, itu pun tidak akan jauh berbeda dari apa yang sebelumnya dirancang oleh Presiden Putin.

Dalam beberapa bulan belakangan ini, Presiden Medvedev mungkin saja mulai ”belajar”. Medvedev konon mempunyai peran besar dalam penolakan Rusia terhadap rencana Amerika membangun jejaring rudal antibalistik di Republik Ceko dan Polandia. Sebagai anggota Dewan Keamanan Nasional, Medvedev terbiasa dengan isu-isu hubungan Rusia dengan NATO, Eropa Barat, dan AS. Kunjungannya ke Bulgaria awal Januari lalu bersama Presiden Putin juga menjadi pengalaman yang memberinya insight tentang bagaimana diplomasi harus dilakukan.

Namun, Dmitry Medvedev tidak cukup memiliki kapasitas untuk itu. Tanpa latar belakang intelijen dan hubungan yang kuat dengan militer akan mempersulit Medvedev. Diragukan apakah ia mampu mencegah para jenderal memberi pernyataan politik yang kerap kali memberi api dalam sekam dalam hubungan Rusia dengan Eropa Barat dan AS. Beberapa bulan silam, suara para jenderal itu makin kencang, mi- salnya ketika Kepala Staf Gabungan Yury Baluevsky menyatakan penolakannya tentang berbagai persoalan yang terkait dengan isu nuklir strategis dan perimbangan kekuatan konvensional di Eropa.

Menjadi persoalan serius bagaimana Medvedev mampu memperbaiki hubungannya dengan AS dan Eropa (Barat). Menjadi tanda tanya pula tentang apa yang akan dilakukannya ketika NATO kembali menggelar rudal-rudal antibalistik di Eropa Timur. Karena kedekatannya dengan militer, Presiden Putin ”berani” melawan rencana penggelaran rudal di Republik Ceko dan Polandia dengan menawarkan penggunaan fasilitas militer di Gadala, perbatasan Rusia-Azerbaijan. Medvedev tak banyak menikmati privilege seperti itu.

Besar kemungkinan yang akan terjadi adalah ”pembagian wilayah politik luar negeri”. PM Putin akan in charge dalam hubungan Rusia dengan Eropa dan Amerika. Medvedev, sesuai dengan pengalamannya mengelola bidang energi, akan lebih banyak memerhatikan Asia Tengah, khususnya yang tergabung dalam Commonwealth of Independent States. Negara-negara di kawasan itu pula yang pertama kali akan dikunjunginya dalam kedudukan sebagai presiden. Besar kemungkinan Medvedev akan merancang kartel pengekspor energi, yang pasti akan membawa implikasi serius bagi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) maupun hubungan Rusia dengan Asia Timur.

Medvedev tak akan membawa suasana baru bukan karena hubungan demokrasi dengan efektivitas pemerintahan, melainkan karena kuatnya bayang-bayang Putin. Harapan pada demokratisasi mungkin memang harus digantungkan pada beberapa elemen lain. Dalam kampanyenya, Medvedev menjanjikan keterwakilan perempuan dan kedekatan dengan kelompok-kelompok marjinal sampai dengan perhatian yang lebih besar pada pemanasan global. Namun kenyataannya, sebagian dari persoalan itu akan berada dalam genggaman kewenangan PM Putin.

Kewenangan besar Presiden Rusia

Menurut konstitusi Rusia, presiden memiliki kewenangan besar, jauh lebih besar dibandingkan dengan perdana menteri. Di Rusia, presiden memiliki kewenangan yang amat besar dalam berbagai isu yang berkaitan, terutama dengan pertahanan, keamanan, dan politik luar negeri. Presiden juga berwenang mengeluarkan ketentuan darurat, termasuk yang mungkin ekstrakonstitusional. Di lain pihak, seorang perdana menteri memiliki kewenangan yang lebih berbau ”domestik”, misalnya kebijakan sosial, kependudukan, dan perburuhan. Perdana menteri juga menguasai birokrasi yang kerap kali menjadi faktor kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Tak seorang pun yakin bahwa kecenderungan seperti itu akan tetap terpelihara pada masa-masa mendatang. Akhir tahun silam, Presiden Vladimir Putin mengatakan bahwa kepergiannya dari Kremlin tidak akan disertai dengan hilangnya kewenangan Presiden Rusia. Putin menjamin bahwa tidak akan ada otoritas presiden yang dipindahkan ke meja perdana menteri. Namun, Putin bisa saja melakukan berbagai manuver politik untuk memperkuat ”Gedung Putih” (Kantor Perdana Menteri), sekurangnya pada tahap awal tanpa mengurangi kewenangan Kremlin (Istana Kepresidenan).

Sejak tumbangnya Uni Soviet memang tidak ada perdana menteri yang kuat. Kekuasaan sejati berada di Kremlin. Yeltsin jauh lebih perkasa dibandingkan, misalnya, Nikolai Rybkin, Viktor Chernomyrdin, dan Yevgeny Primakov. Dalam sembilan tahun belakangan ini juga tidak ada perdana menteri yang mampu membayangi kekuasaan Vladimir Putin. Apakah Medvedev akan sanggup mempertahankan tradisi itu menjadi tanda tanya besar. Konstitusionalisme dalam tata kenegaraan adalah persoalan yang kerap kali menjadi sesuatu yang seharusnya, bukan apa yang benar-benar terjadi. Dalam tradisi Kremlin, prosedur kerap kali menjadi formalitas yang berada di balik kekuatan gaib yang lebih didorong oleh real politics.

Konstitusi Rusia membuka ruang yang cukup luas untuk berbagai penafsiran, termasuk memberi keleluasaan kepada seorang perdana menteri. Di mana pun juga, batas kewenangan legal konstitusional dari pemerintahan (eksekutif) kerap kali dirumuskan dalam konteks ”perimbangan kekuatan” dengan institusi negara yang lain. Sifat hubungan antarlembaga tinggi negara itu dipengaruhi oleh bagaimana pengembangan birokrasi eksekutif dibangun oleh (PM) Putin. Dengan jejaring yang amat kuat di beberapa departemen kunci, dari pusat sampai daerah, pengaruh Putin tidak akan dapat ditandingi oleh Medvedev.

Dalam jangka pendek, pembagian kewenangan antara Medvedev dan Putin bisa saja merupakan isyarat yang baik. Namun, untuk jangka menengah tidak terlalu jelas bagaimana kesepakatan antara Putin dan Medvedev dapat dipelihara. Cepat atau lambat, Kremlin akan berusaha menemukan tradisi yang selama ini terjaga, sebagai pusat kekuasaan. Namun, di tangan Putin, kantor perdana menteri akan menjadi pusat kekuasaan baru. Budaya politik Rusia belum menemukan bagaimana mengelola ”surya kembar” seperti itu.

Konstitusi Rusia membatasi masa jabatan kepresidenan hanya dua kali berturut-turut. Tidak ada larangan untuk kembali meraih singgasana setelah disela oleh presiden lain. Krisis politik Kremlin (Medvedev)-Gedung Putih (Putin), kalau terjadi dalam waktu dekat, justru akan membuka peluang Vladimir Putin untuk lebih cepat kembali ke Kremlin.

Kusnanto Anggoro Dosen Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

 

No comments: