Wednesday, March 19, 2008

LIMA TAHUN INVASI KE IRAK


Tragedi Terbesar sejak PD II

AP photo/KARIM KADIM / Kompas Images
Seorang tenaga medis sedang mengobati seorang gadis cilik yang cedera karena terkena serpihan mortir di sebuah sekolah dasar di kawasan Baladiyat, Baghdad, Irak, Senin (17/3). Dua anak cedera dan lima anak lainnya meninggal akibat ledakan di dekat sekolah tersebut. Begitulah lebih kurang keadaan sehari-hari di Irak, nyawa anak-anak pun tak terlindungi selama lima tahun invasi AS.
Rabu, 19 Maret 2008 | 00:16 WIB

Simon Saragih

Jika batas sejarah modern adalah sejak Perang Dunia II, maka invasi ke Irak telah mengakibatkan tragedi terbesar zaman modern. Nyawa dan uang habis melayang secara cuma-cuma. Hasilnya nihil, kecuali versi Gedung Putih bahwa Irak jadi negara bebas dan menuju demokrasi. Dunia dan warga AS pada khususnya telah dikelabui.

Fakta-fakta menunjukkan keadaan yang kontras secara ekstrem. Sebelum tulisan ini berlanjut, perlu diingatkan bahwa AS tak pernah menyebut serangan ke Irak sebagai invasi, tetapi menyebutnya Iraq War (Perang Irak).

Namun jelas, Irak dibombardir oleh AS dan sama sekali tidak ada perlawanan dari Irak. Ini terjadi pada 20 Maret 2003, atau 19 Maret waktu AS, saat invasi dimulai. Jadi, hal ini tidak menunjukkan keadaan seperti yang dikatakan AS, yakni Iraq War. Dengan kata lain, Iraq War bukan satu kategori dengan Perang Korea atau Perang Vietnam.

Lepas dari itu, menurut laporan Amnesty International (AI), 17 Maret 2008, sekarang dua dari tiga warga Irak tak memiliki akses air bersih, empat dari 10 warga Irak hidup di bawah garis kemiskinan. Sistem kesehatan dan pendidikan di Irak, bersama sistem negara, secara keseluruhan telah ambruk.

Irak kini menjadi negara paling tak aman di dunia, disertai pertikaian sektarian dan hidup warga sipil yang sehari-hari terancam. Negara sedang menghadapi tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Setidaknya, empat juta, atau sekitar 15 persen dari 27 juta penduduk Irak, telah tergusur dari rumahnya.

Angka-angka korban berbeda secara cepat dari waktu ke waktu. Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), sekitar dua juga warga Irak kini mengungsi ke Jordania dan Suriah. Sekitar 2,2 juta lagi warga Irak telah mengungsi di Irak sendiri, menghindari daerah berbahaya di kampung halaman.

Tak banyak warga Irak yang diterima negara-negara penginvasi Irak, seperti Inggris, AS, Spanyol, dan Polandia. Sekitar 60.000 warga Irak telah ditahan aparat Irak, dibantu pasukan multinasional.

Aksi-aksi radikal dan berdarah, termasuk aksi penembakan yang setiap hari berdentuman di Irak, telah menewaskan 1,2 juta warga Irak, sebagaimana dilansir Iraq Body Count dan The Lancet, sebuah lembaga terhormat asal Inggris, September 2007.

Sekitar 12.000 tentara pasukan Irak tewas, sebagaimana diumumkan Pemerintah Irak bulan lalu. Sekitar 4.280 tentara asing tewas, termasuk 3.987 tentara AS, menurut AFP berdasarkan bahan dari http://www.icasualties.org site.

Perang termahal

Kini masih ada 160.000 tentara di Irak, dengan biaya yang harus keluar sekitar 12 miliar dollar AS per bulan, sebagaimana diberitakan The San Francisco Chronicle, edisi 17 Maret. Total uang yang sudah dialokasikan ke Irak mencapai lebih kurang 500 miliar dollar AS. Jika ditambah dengan beban bunga, total biaya invasi mencapai 615 miliar dollar AS. Masalahnya, biaya perang itu dipakai dari dana-dana pinjaman pemerintahan AS.

Biaya yang akan dikeluarkan AS, sebagaimana diutarakan Joseph Stiglitz, ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, akan mencapai setidaknya 3 triliun dollar AS. Peralatan militer AS yang sudah rusak akibat invasi ke Irak membutuhkan anggaran tambahan untuk pembaruan persenjataan sekitar 280 miliar dollar AS. Veteran yang cacat akibat invasi ke Irak membutuhkan biaya 500 miliar dollar AS lagi untuk menunjang kehidupan veteran itu sepanjang umurnya.

Stiglitz dan profesor keuangan publik dari Harvard University, AS, Laura Bilmes, mengatakan, bersama biaya-biaya tambahan lainnya, total biaya invasi ke Irak akan mencapai 3 triliun dollar AS. Angka ini mendekati sekitar 3,8 triliun dollar AS utang Pemerintah AS, yang sebagian besar tercipta selama rezim Presiden George W Bush.

”Kita negara kaya dan pada tingkat tertentu, biaya itu masih bisa ditanggulangi,” kata Stiglitz, yang juga profesor dari Columbia University, AS, yang menuliskan kalkulasi biaya invasi ke Irak itu dalam buku barunya berjudul The Three Trillion Dollar War.

Namun, Stiglitz mengatakan invasi ke Irak telah memberi kontribusi pada kerusakan ekonomi AS dan global. Irak yang tidak stabil telah berperan besar mendorong harga minyak ke ketinggian yang merupakan rekor baru dalam sejarah perminyakan dunia, yakni mencapai 112 dollar AS per barrel.

Mengimbas ke dunia

Secara langsung atau tidak langsung, kenaikan harga minyak akibat faktor geopolitik terkait Irak juga telah merugikan warga dunia. Harga minyak sangat rentan naik jika kekacauan Irak terjadi. Ratusan juta warga miskin dunia telah ketiban harga minyak, untuk satu hal yang mungkin mereka tidak tahu penyebabnya.

Kekacauan perekonomian AS, yang mengakibatkan anjloknya bursa saham dan kurs dollar AS, telah pula membuat spekulan global ”berjudi” di sektor komoditas, yang jadi salah satu bahan pangan pokok masyarakat dunia.

Selain menghadapi kenaikan harga minyak, warga global juga telah tertimpa kenaikan harga- harga pangan. Jadi, jika salah satu penyebab kekacauan global, yakni harga minyak yang naik, ingin diatasi, salah satu jawabannya adalah menstabilkan Irak.

Kembali ke soal biaya, beban finansial invasi ke Irak, kata Stiglitz, telah membuat AS tak bisa mengatasi beban utang. Ini terjadi saat ekonomi AS sedang menuju resesi akibat kehancuran sektor perumahan dan anggaran pemerintahan yang defisit ditambah lagi defisit perdagangan AS dengan negara lain.

Dampak lainnya, makin sulitnya AS memenuhi anggaran untuk pengeluaran sosial dan kebutuhan lainnya di masa datang.

Juru Bicara Gedung Putih Dana Perino menjawab, jika tak diinvasi, maka Irak akan menjadi sarang Al Qaeda. Namun, laporan AI menunjukkan, Irak adalah negara dengan dentuman senjata setiap hari, di mana nyawa manusia melayang.

Dalam perspektif sejarah, invasi ke Irak adalah yang paling menelan biaya terbesar. Invasi ke Irak dua kali lebih mahal dari Perang Korea (1950-1953), dan lebih mahal sepertiga dari Perang Vietnam (yang berlangsung 12 tahun). Stiglitz dan Bilmes mengalkulasi bahwa invasi ke Irak 10 kali lebih mahal dari Perang Teluk I dan dua kali lebih mahal dari biaya Perang Dunia (PD) I.

Hanya PD II yang mampu mengalahkan biaya invasi ke Irak. Dibutuhkan 5 triliun dollar AS dalam PD II, termasuk biaya mengerahkan pasukan AS menghadapi Jerman dan Jepang.

Profesor Steven Davis dari University of Chicago Graduate School of Business juga mendukung soal kalkulasi invasi ke Irak itu, yang akan terus menggelinding. ”Akan tetapi, tetap saja muncul penolakan dari pemerintahan untuk menghentikan invasi,” kata Davis.

Davis menyalahkan Kongres AS dan juga media AS yang sejak dini kurang kritis soal bahaya besar, baik nyawa maupun konsekuensi dari invasi ke Irak. Periode 2003 hingga sekarang, AS bukanlah sebuah negara yang menunjukkan diri sebagai negara demokrasi. ”Terjadi kesalahan kolektif,” kata Davis.

Gubernur California Arnold Schwarzenegger mengatakan, sekitar setengah dari peralatan negara bagian kini dialokasikan ke Irak dan Afganistan. ”Ini tidak adil,” kata Schwarzenegger.

Robert Hormats, Wakil Ketua Goldman Sachs, memperingatkan Kongres AS soal bahaya kekurangan biaya bagi generasi AS di masa depan jika invasi ke Irak tidak dihentikan. Biaya invasi ke Irak telah melampaui alokasi anggaran untuk pendidikan dan riset kesehatan. ”Apakah tidak sebaiknya biaya invasi ini dialokasikan ke sektor lain yang lebih menguntungkan negara,” ujar Hormats.

Harian Salt Lake Tribune, edisi Senin (17/3), juga menuliskan, biaya invasi ke Irak sudah lebih mahal dari biaya riset untuk energi terbarukan (renewable energy). Editor majalah Scientific American menuliskan bahwa Pemerintah AS hanya membutuhkan 450 miliar dollar AS untuk riset energi, yang bisa melahirkan energi yang efisien, termasuk energi matahari.

Di harian Indianapolis Star, edisi 17 Maret, Profesor Sheila Kennedy dari Indiana University School of Public and Environmental Affairs mengatakan kita telah melakukan tindakan blunder di Irak. ”Kita menyerang negara yang tidak terkait dengan serangan 11 September, kita telah menciptakan kekacauan besar di di Irak, namun kita tidak pernah serius mengevaluasi semua kesalahan ini,” kata Sheila.

Kenangan buruk tentara

Wapres AS Dick Cheney masih tetap dengan entengnya mengatakan AS tak akan membiarkan Irak menjadi kacau-balau. Sampai kapan pernyataan seperti itu terus berlanjut?

Clifton Hicks, tentara AS yang pernah ditugaskan di Irak, mengatakan, ia memiliki kenangan buruk saat bertugas di Irak. Setiap saat ia terancam serangan oleh orang-orang yang bersenjata.

Ia juga menyaksikan kerumunan perkawinan yang juga telah menjadi sasaran dari orang-orang yang bersenjata sebagai bentuk provokasi bahwa Irak di bawah AS tidak akan pernah aman.

Rasanya tak mungkin lagi mengharapkan Gedung Putih mengatasi masalah Irak. Rasanya susah bagi orang-orang yang bercokol di Gedung Putih keluar dari Irak. Terlalu banyak proyek milik orang-orang terkait dengan Dick Cheney di Irak. Kita berdoa saja agar Barack Obama atau Hillary Clinton jadi presiden AS. Keduanya menjanjikan penarikan pasukan AS dari Irak jika terpilih jadi presiden AS.

No comments: