Minggu, 9 Maret 2008 | 02:39 WIB
Rakaryan Sukarjaputra
Untuk ketiga kalinya Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menjatuhkan sanksi tertentu terhadap Iran. Kerja sama dan keterbukaan Iran kepada Badan Tenaga Atom Internasional atau IAEA nyatalah belum ada harganya di mata 14 dari 15 negara anggota DK PBB yang menyetujui penjatuhan sanksi itu.
Resolusi DK PBB 1803 yang didukung 14 anggota DK, terkecuali Indonesia yang menetapkan sikap abstain atau tidak mendukung, sebagaimana ditegaskan Duta Besar Iran untuk PBB Mohammad Khazaee kepada Antara, Senin (3/3), memang tidak akan menghalangi Iran untuk mempertahankan hak mengembangkan nuklir bertujuan damai. Meski demikian, resolusi itu menambah panjang catatan pencitraan buruk Iran di mata masyarakat internasional.
Resolusi 1803, seperti dilaporkan BBC, menetapkan tambahan sanksi berupa larangan perjalanan terhadap lima pejabat Iran, membekukan aset 13 perusahaan Iran dan 13 pejabat Iran di luar negeri, pelarangan penjualan barang-barang yang bisa berfungsi ganda (untuk tujuan damai dan tujuan militer) ke Iran, pemeriksaan kapal-kapal barang dari dan menuju Iran, memonitor aktivitas dua bank Iran, mendorong para pemerintah untuk menarik dukungan pendanaan terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan perdagangan dengan Iran.
Resolusi DK PBB terkait program nuklir Iran sebelumnya yaitu Resolusi 1696 (2006), 1737 (2006), dan 1747 (2007) memang telah meminta Iran pada awalnya memverifikasi dan kemudian berkembang menjadi menghentikan aktivitas pengayaan uranium. Namun, dalam resolusi-resolusi itu disebutkan pula bahwa hal itu merupakan upaya untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dunia atas tujuan damai program nuklir Iran.
Aktivitas pengayaan uranium itu, sebagaimana laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) kepada DK PBB awal tahun ini, memang belum dihentikan, bahkan Iran telah memulai pengembangan alat sentrifugal generasi baru dan meneruskan pembangunan reaktor IR-40. Hal inilah yang dijadikan alasan oleh DK PBB untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran.
Banyak kemajuan
Jika dilihat secara sepenggal-sepenggal, alasan negara-negara pendukung Resolusi 1803 itu cukup masuk akal. Hanya saja, sebagaimana diingatkan Indonesia kepada 14 negara anggota DK PBB lainnya, keharusan menghentikan pengayaan uranium itu perlu dipandang sebagai satu bagian dari upaya menumbuhkan kepercayaan masyarakat dunia, yang diwakili oleh IAEA, atas tujuan damai program nuklir Iran.
Pada kenyataannya, sebagaimana diakui IAEA sendiri, Iran telah menunjukkan kerja sama dan keterbukaan yang lebih baik dengan IAEA, sehingga IAEA mampu untuk terus memverifikasi tidak adanya pengalihan material nuklir yang sebelumnya dideklarasikan oleh Iran.
”Selain itu, laporan (IAEA) menyatakan bahwa pengetahuan IAEA mengenai program nuklir Iran yang telah dideklarasikan semakin jelas, karena pemberian informasi yang dilakukan oleh Iran. Lebih dari itu, Iran juga telah memberikan akses kepada IAEA atas material nuklir yang telah dideklarasikan sebelumnya, dan juga telah memberikan laporan akuntansi material nuklir dalam kaitan dengan materi, dan aktivitas nuklir yang telah dideklarasikan sebelumnya,” jelas Duta Besar RI untuk PBB di New York, Marty Natalegawa, dalam pidato pengantar sebelum pemungutan suara, Minggu (2/3).
Wajarlah bila Indonesia kemudian mempertanyakan apakah tambahan sanksi pada saat ini merupakan pendekatan yang paling wajar. ”Apakah tambahan sanksi merupakan langkah paling tepat untuk menumbuhkan kepercayaan dan mendorong kerja sama di antara para pihak yang terkait,” tegas Marty.
Ditambahkan, proses verifikasi IAEA atas program nuklir Iran memang belum sepenuhnya terselesaikan. Namun, proses tersebut telah dimulai dan mencatat sejumlah kemajuan. ”Penghentian sementara atas kegiatan-kegiatan terkait dengan proses pengayaan (uranium) merupakan suatu alat atau cara untuk mencapai suatu tujuan. Menurut kami, penghentian sementara pengayaan uranium bukanlah tujuan dengan sendirinya, yang terpisah dan tidak terkait dengan adanya kemajuan Iran dalam menjalin kerja sama dengan IAEA,” ungkap Marty.
Indonesia juga mengingatkan, rencana kerja antara IAEA dan Iran yang telah dibuat merupakan suatu kerangka dasar untuk memulihkan tingkat kepercayaan masyarakat internasional. ”Gangguan atau interupsi apa pun terhadap proses membangun kepercayaan tersebut hanya akan mengancam kemajuan penting yang telah dicapai selama ini,” papar Marty menyuarakan pendapat Indonesia.
Tidak dilarang
Kegiatan pengayaan uranium, penyediaan material dan teknologi nuklir untuk tujuan damai, sesungguhnya tidak dilarang dalam Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT). Dengan demikian, logikanya, bila kegiatan pengayaan uranium yang dilakukan Iran bisa diverifikasi IAEA bahwa memang tidak dimaksudkan untuk tujuan perang, maka tidak ada alasan untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Faktanya, laporan IAEA menyebutkan, tidak mendeteksi adanya penggunaan bahan-bahan nuklir untuk pembuatan senjata. Di luar IAEA, laporan intelijen AS juga sudah menyebutkan bahwa Iran telah menghentikan minatnya untuk mengembangkan senjata nuklir sejak tahun 2003 lalu.
Inti permasalahannya, seperti disampaikan Marty, adalah kurangnya kepercayaan. Lebih tepatnya adalah ketidakpercayaan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya terhadap Iran, yang sejak terjadinya revolusi Iran tahun 1979 memang telah dibidik sebagai ”musuh”. Dalam kondisi seperti ini, upaya apa pun yang dilakukan Iran tampaknya tidak akan ada nilai positifnya di mata AS dan sekutunya. Hal itu terlihat dalam ”modus operandi” di mana selalu saja ada tuduhan baru, yang mereka sebut dokumen, mengenai program nuklir Iran yang mencurigakan. Terlepas apakah dokumen tersebut valid atau hanya karangan semata.
Sejak awal, tekanan yang dilakukan Barat terhadap Iran memang sangat penuh dengan muatan politik. Iran yang anggota NPT diperlakukan dengan sangat keras, sementara negara-negara yang sudah mengembangkan senjata nuklir tetapi bukan anggota NPT dibiarkan saja. India, Pakistan, dan juga Israel sangat jarang sekali dipersoalkan, apalagi ditekan dengan cukup keras seperti DK PBB memperlakukan Iran sekarang ini.
Lebih jauh dari itu, traktat NPT juga bukan hanya mengawasi dan mengatur non-proliferasi senjata nuklir, tetapi juga penghapusan senjata nuklir yang sudah ada sehingga seluruh umat manusia tidak lagi berada di bawah ketakutan serangan nuklir. Pada kenyataannya, hal ini sampai sekarang belum dilakukan AS, Rusia, Inggris, Perancis, dan China, serta ketiga negara non-NPT tersebut. Pengurangan memang dilakukan, tetapi senjata nuklir yang ada di muka Bumi ini, diyakini masih lebih dari 5.000 hulu ledak, masih lebih dari cukup untuk menghancurkan planet kita ini.
Resolusi 1803 memperlihatkan sekali lagi sistem hubungan internasional yang sangat timpang dan didominasi oleh kepentingan negara-negara adidaya. Sayangnya, dalam kondisi seperti ini ternyata masih banyak juga negara berkembang yang terperangkap dalam permainan para adidaya. ***
No comments:
Post a Comment