Senin, 10 Maret 2008 | 00:37 WIB
Oleh Endang Suryadinata
Surat Perintah 11 Maret (1966) genap 42 tahun. Cuma kali ini ”peringatannya” tanpa mantan Presiden Soeharto yang meninggal beberapa waktu lalu.
Salah satu warisannya adalah beragam kontroversi terkait Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang belum berakhir hingga kini. Selain itu, dipertanyakan keberadaan naskah asli Supersemar.
Penuh kontroversi
Seusai pemakaman Pak Harto, A Budi Hartono SH selaku kuasa hukum Letda (Inf) Soekardjo Wilardjito, saksi mata Supersemar, mendesak keluarga Soeharto segera menyerahkan naskah asli Supersemar (28/1/2008).
Anggota Tjakrabirawa, Soekardjo, pada 1998 mengaku melihat Jenderal Panggabean menodongkan pistolnya kepada Presiden Soekarno, sementara Jenderal Jusuf menyodorkan map surat untuk ditandatangani. Pengakuan itu didukung oleh Kaswadi dan Rian Ismail. Sumber lain membantah pengakuan Soekardjo.
Soal naskah asli, publik juga pernah berharap pada Jenderal M Jusuf. Namun, hingga M Jusuf meninggal pada 8 September 2004, publik tetap tidak tahu. Saat hadir di rumah almarhum, Jusuf Kalla yang saat itu masih menjadi calon wakil presiden menuturkan, menurut M Jusuf, naskah asli ada di tangan Pak Harto.
Begitulah salah satu kontroversi Supersemar. Hingga kini pun keberadaan naskah Supersemar belum diketahui. Mungkin saja pihak yang menyimpannya tak akan mengungkapkan ke publik. Takut dipenjara. UU No 7/1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan Fasal 11 berbunyi, ”Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam Fasal 1 huruf a Undang-Undang ini dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.”
Atau mungkin benar dugaan Ben Anderson, kemungkinan naskah asli Supersemar dihilangkan karena diketik dengan kop Markas Besar Angkatan Darat
Itu baru satu kontroversi Supersemar, belum kontroversi lain seperti siapa pengetik sebenarnya, bagaimana kondisi Bung Karno saat itu sehingga mau menandatangani surat itu, lalu apa kata Jenderal Jusuf, Basuki Rachmad, dan Amir Machmud kepada Bung Karno maupun Soeharto dan sebagainya. Kontroversi itu hingga kini belum terjawab, padahal penulisan sejarah Indonesia yang obyektif, termasuk sejarah Supersemar, amat penting bagi perjalanan bangsa.
Yang pasti, dari beragam kontroversi seputar Supersemar, Pak Harto tetap keluar sebagai pihak yang paling diuntungkan. Pak Harto telah menggunakan Supersemar demi politiknya, yakni mendapat peran sebagai orang nomor satu di negeri ini, seperti kebijakan membubarkan PKI pada 12 Maret 1966.
Bahkan, agar posisinya kian kuat, Soeharto mencari legitimasi MPRS agar Supersemar dinilai konstitusional. Bayangkan, MPRS telah menjadikan Supersemar sebagai payung hukum melalui Tap MPRS IX/MPRS/ 1966 sehingga Soekarno—sang pemberi mandat—pun tak berhak mencabutnya. Supersemar telah menjadi Surat Izin Menguasai Indonesia dan punya implikasi luas atas negeri dan bangsa ini.
Bahkan, meski Soeharto telah tiada, implikasi atas Supersemar masih ada karena para sejarawan Indonesia kini punya tugas berat untuk menulis sejarah Supersemar dan sejarah lain secara obyektif dan mengutamakan kebenaran sesuai metode dalam studi sejarah. Meluruskan yang bengkok tentu tidak mudah.
Selama berkuasa, melalui berbagai cara, Soeharto berusaha menguasai tafsir sejarah. Sejarah direkayasa demi kekuasaan. Bahkan, mungkin cara berbohong pun ditempuh. Arhur D Sylvester pernah menulis, berbohong merupakan hak yang melekat pada penguasa untuk menyelamatkan diri. Tidak heran jika sejarah kita adalah history (his merujuk kepada Soeharto), bukan our story, their story, bahkan her story.
Misteri
Yang memprihatinkan, ternyata kebiasaan memanipulasi masih menjadi gaya para penguasa pasca-Soeharto. Coba simak, pemerintahan kita tampak tidak berdaya atas banyak kasus pelanggaran HAM pada era Soeharto. Banyak peristiwa pelanggaran HAM dibiarkan dalam misteri. Banyak pertanyaan korban atau keluarganya tidak terjawab.
Kita berharap akan ada penjelasan bagi para korban. Apalagi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM kabarnya baru membentuk dua tim ad hoc. Yang pertama untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966. Yang lain untuk menyelidiki kasus penembakan misterius (Kompas, 4/3/2008).
Sebenarnya bukan hanya demi kepentingan para korban, tetapi keberanian mengungkap kebenaran yang harus dilakukan tim ad hoc juga penting untuk rakyat banyak, sejarah, dan eksistensi Indonesia ke depan. Hasil kerja tim harus menginspirasi para penguasa atau pejabat. Jangan lagi negeri ini dikelola atas dasar kebohongan.
Para pejabat seharusnya mengutamakan kebenaran. Apa yang dilakukan jaksa UTG jelas telah menyakiti rakyat. Yang lebih menyakitkan, ada banyak yang seperti UTG belum ditangkap KPK. Reformasi belum menyentuh birokrasi kita yang memang diyakini rakyat sudah keropos, gampang disogok, mengingat mentalitas birokrat yang doyan membohongi rakyat.
Endang Suryadinata Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam
No comments:
Post a Comment