Monday, March 17, 2008

5 Tahun Pascainvasi, AS Didesak Keluar dari Irak

Kehidupan Masyarakat Irak Tak Kunjung Berubah


EPA/JEON HEON-KYUN / Kompas Images
Demonstran Korea Selatan di Seoul, Minggu (16/3), membawa poster dengan tulisan yang secara im- plisit meminta Presiden AS George Walker Bush memahami perdamaian. Protes massal soal invasi Irak berlangsung di berbagai negara menjelang lima tahun invasi Irak oleh AS, yang dimulai 20 Maret 2003.
Senin, 17 Maret 2008 | 00:33 WIB

Los Angeles, sabtu - Sudah waktunya untuk AS dan koalisi pasukan keamanan internasional keluar dari Irak. Anjuran sekaligus desakan itu kembali muncul dari puluhan ribu orang yang menentang perang Irak yang berunjuk rasa di wilayah turis Hollywood Boulevard, Sabtu (15/3). Mereka kembali menuntut agar perang itu dihentikan.

Selain di AS, gelombang protes yang sama juga digelar di London. Gelombang protes diselenggarakan kelompok antiperang untuk memperingati invasi pasukan AS dan pasukan asing yang lain ke Irak pada 20 Maret 2003. Gelombang protes yang sama juga terjadi di beberapa negara Eropa dan Kanada serta diikuti oleh ribuan orang. Veteran Perang Vietnam, Ron Kovic, yang ikut protes dengan kursi roda mengaku sedih mengingat rakyat Irak dan tentara yang menjadi korban.

”Kita sudah berperang selama lima tahun. Sekarang ini kita terancam resesi. Jutaan, bahkan miliaran dollar, uang kita digunakan untuk perang yang kita tentang,” kata seorang peserta aksi protes.

Anjuran dan desakan sama juga datang dari London. Veteran dan mantan anggota parlemen di Partai Buruh, Tony Benn, mengakui keterlibatan pasukan Inggris di Irak itu juga telah menciptakan kehancuran. Karena ”kesalahan” Inggris untuk berperang di Irak dan ikut-ikutan AS, anggota Parlemen Eropa, Caroline Lucas, sekaligus menuntut supaya mantan Perdana Menteri Tony Blair dan PM Gordon Brown dihukum dengan dakwaan kejahatan perang.

”Kesalahan” yang dimaksud itu semata-mata karena telah mengikuti dan memberi dukungan kepada Presiden AS George W Bush. Padahal tuduhan awal Bush yang menuding Irak memiliki senjata pemusnah massal tidak terbukti. Lima tahun berlalu. Kini di Irak sudah ada pemerintah baru. Namun, kondisi keamanan di Irak tidak berubah. Gejolak kekerasan masih tetap saja tinggi dan situasi politik dan ekonomi masih belum berkembang.

Meski gejolak kekerasan Irak menurun selama beberapa bulan terakhir ini, militer AS mengaku para pemimpin di Irak tidak kunjung berhasil mempersatukan ide untuk menyelesaikan perbedaan politik di antara setiap kelompok. ”Memenangi peperangan itu mudah, tetapi meraih kesamaan pandangan politik itu yang sulit. Kini sulit bagi AS untuk memperbaiki kesalahannya dulu,” kata Direktur Studi Keamanan di Pusat Penelitian Dubai, Mustafa Alani.

Tak berubah

Akibat invasi AS yang berlangsung selama lima tahun, puluhan ribu warga Irak menjadi korban. Data situs independen bernama Iraqbodycount.org memperkirakan korban sipil yang tewas mencapai 90.000 orang. Selain itu, ada sekitar 4.000 tentara yang tewas. Meski AS mengklaim meraih kemenangan, hingga kini tentara AS dan tentara koalisi kerap menjadi sasaran serangan roket, bom, dan granat dari kelompok bersenjata.

Selain sektor keamanan, sektor ekonomi Irak juga tidak menunjukkan perkembangan positif. Situasi ekonomi masih parah. Tingkat pengangguran meningkat karena tak ada lapangan pekerjaan yang memadai. Produksi minyak yang menjadi tumpuan harapan rakyat Irak sulit diharapkan. Persoalan minyak justru menjadi sumber konflik internal di antara Sunni, Syiah, dan Kurdi.

Kehidupan sehari-hari masyarakat Irak masih dirasa tak membaik. Bahkan sebagian rakyat Irak justru menilai kehidupan mereka lebih baik ketika rezim mendiang Presiden Irak Saddam Hussein. Fasilitas pelayanan umum paling dasar, seperti air dan listrik, saja masih sulit terpenuhi meski telah ada puluhan, bahkan ratusan, proyek khusus pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Irak.

Tidak ada yang peduli dan mau menuruti permintaan Pemerintah Irak agar pengungsi bersedia pulang ke tanah air untuk membantu membangun kembali Irak. Dari sekitar dua juta warga Irak yang sudah mengungsi ke Suriah dan Jordania, hanya 50.000 orang yang bersedia kembali ke Irak. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

No comments: