Yodhia Antariksa March 3rd, 2008
Beberapa hari lalu, melalui layar CNN, saya menyaksikan debat calon presiden Amerika antara Hillary Clinton dengan Barack Obama. Dan selama hampir dua jam itu, saya terhenyak menyaksikan sebuah parade komunikasi yang amat menggairahkan, inspiratif dan sekaligus sarat dengan pertarungan gagasan nan mengesankan.
Dalam drama komunikasi itu, Barack Obama kiranya kian meneguhkan dirinya sebagai one of the most outstanding communicators on earth. Melalui aura kecerdasan dan keterampilannnya merajut kalimat, penampilan Barack Obama sungguh menawarkan sederet kisah pembelajaran yang amat kaya tentang apa itu manajemen komunikasi. Lalu, apa saja pelajaran tentang the art of communication yang disuguhkan oleh bekas anak Menteng ini? Mari kita nikmati bersama.
Sebelum mengeksplorasi elemen-elemen teknis tentang communication skills yang telah diperagakan oleh Obama, tampaknya ada dua karakter dasar yang sejauh ini amat membantu dirinya menjadi sang komunikator ulung.
Yang pertama adalah ini : Obama adalah seseorang dengan pribadi yang hangat, santun, dan selalu berpenampilan kalem. Ia nyaris tak pernah memperlihatkan sikap agresif dan menujukkan mimik muka yang terkesan “merendahkan” orang lain. Sebaliknya, ia selalu menawarkan aura kehangatan, rasa hormat pada mitra bicara, serta mampu menampilkan sosok yang tenang dan persuasif. Karakter semacam ini tak pelak, telah mampu menumbuhkan simpati orang lain bahkan sebelum ia mengeluarkan sepatah kata pun.
Yang kedua, well, Obama memang orang yang cerdas. Ia lulusan dari Harvard Law School dan bekas Pemred majalah mahasiswa prestisius di kampusnya itu. Dengan kata lain, Obama bukan komunikator asbun, atau hanya pandai beretorika layaknya penjual obat di pinggir jalanan. Obama pandai dan ia sangat menguasai tema-tema yang dibicarakannya. Dan oh ya, dua bukunya yang indah itu, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming the American Dream dan Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance dengan jelas juga menunjukkan kapasitas intelektual dia.
Kini kalau kita coba menelisik ketrampilan komunikasi Barack Obama secara lebih detil, maka setidaknya ada 5 elemen pelajaran yang bisa kita petik darinya. Lima elemen itu dalam manajemen komunikasi acap disebut sebagai 5 C : Complete, Concise, Consideration, Clarity, dan Courtesy.
Complete. Dalam debat menegangkan itu, Obama selalu mampu menyuguhkan gagasannya secara lengkap dan koheren; tidak parsial atau sepotong-potong. Elemen ini mengindikasikan bahwa kesempurnaan komunikasi yang kita bangun hanya bisa dicapai jika kita menyampaikannya dengan lengkap, dan tidak sepotong-potong. Mari kita ingat, berapa kali kita mengalami mis-komunikasi hanya gara-gara kita tidak menyampaikan informasi kepada rekan kerja atau kepada bos, dengan lengkap.
Concise. Ringkas dan padat. Tidak bertele-tele. Sadar bahwa efisiensi waktu amat penting, malam itu Obama selalu bisa menyampikan esensi gagasannya dengan ringkas namun padat. Audiens senang karena dengan demikian mereka mudah mencernanya, dan tidak bosan mendengar kalimat yang bertele-tele. Kita sama. Kita akan senang kalau mendengar orang lain menyampaikan gagasannya dengan ringkas dan jelas. Sayang, dimana-mana kita melihat orang acap melupakan elemen penting ini. Banyak orang bicara dengan boros, tidak efisien, mengulang-ulang, bertele-tele, dan membosankan lagi. Pliss deh…….
Consideration. Consideration means that you prepare every message with the recipient in mind and try to put yourself in his or her place. Dalam debat itu Obama tampil dengan sudah mengetahui apa yang ada dibenak rakyat Amerika. Apa yang mereka butuhkan, dan apa yang mereka dambakan. Ketika kita membangun komunikasi, kita mestinya juga melakukan hal serupa. Selalu berusaha memahami apa kebutuhan orang lain – dan bukan melulu minta dipahami. Selalu membangun empati pada apa yang dirasakan oleh mitra bicara kita dan mau mendengarkan isi hati orang lain.
Clarity. Obama mampu mendemonstrasikan elemen ini dengan amat memukau. Ia mampu memilin kata dan merajut kalimat dengan penuh presisi. Ia mampu mengartikulasikan gagasannya dengan jelas dan mengalir. Kita mungkin tak mesti harus seperti Obama. Namun alangkah eloknya, jika kita juga bisa mengekspresikan setiap jejak gagasan dan keinginan kita dengan penuh kejelasan. Dengan itu, sebuah relasi yang produktif mungkin bisa kita pahat dengan penuh keberhasilan.
Courtesy. Santun. Persuasif. Menumbuhkan respek. Elemen ini juga diperagakan dengan nyaris sempurna oleh Obama. Ia menawarkan gagasannya dengan santun dan elegan. Alunan kalimat yang membasahi bibirnya sungguh persuasif dan menumbuhkan respek. Kita kagum dan menaruh hormat dengan orang-orang yang seperti ini. Kita mungkin juga pernah menjumpainya. Inilah orang-orang yang selalu bisa berbicara dengan santun (tidak kasar), persuasif (tidak memaksa), dan menumbuhkan respek (dan bukan merendahkan).
Itulah pelajaran the art of communication a la Barack Obama. Bravo Obama. Viva for US President 2008.
Beberapa hari lalu, melalui layar CNN, saya menyaksikan debat calon presiden Amerika antara Hillary Clinton dengan Barack Obama. Dan selama hampir dua jam itu, saya terhenyak menyaksikan sebuah parade komunikasi yang amat menggairahkan, inspiratif dan sekaligus sarat dengan pertarungan gagasan nan mengesankan.
Dalam drama komunikasi itu, Barack Obama kiranya kian meneguhkan dirinya sebagai one of the most outstanding communicators on earth. Melalui aura kecerdasan dan keterampilannnya merajut kalimat, penampilan Barack Obama sungguh menawarkan sederet kisah pembelajaran yang amat kaya tentang apa itu manajemen komunikasi. Lalu, apa saja pelajaran tentang the art of communication yang disuguhkan oleh bekas anak Menteng ini? Mari kita nikmati bersama.
Sebelum mengeksplorasi elemen-elemen teknis tentang communication skills yang telah diperagakan oleh Obama, tampaknya ada dua karakter dasar yang sejauh ini amat membantu dirinya menjadi sang komunikator ulung.
Yang pertama adalah ini : Obama adalah seseorang dengan pribadi yang hangat, santun, dan selalu berpenampilan kalem. Ia nyaris tak pernah memperlihatkan sikap agresif dan menujukkan mimik muka yang terkesan “merendahkan” orang lain. Sebaliknya, ia selalu menawarkan aura kehangatan, rasa hormat pada mitra bicara, serta mampu menampilkan sosok yang tenang dan persuasif. Karakter semacam ini tak pelak, telah mampu menumbuhkan simpati orang lain bahkan sebelum ia mengeluarkan sepatah kata pun.
Yang kedua, well, Obama memang orang yang cerdas. Ia lulusan dari Harvard Law School dan bekas Pemred majalah mahasiswa prestisius di kampusnya itu. Dengan kata lain, Obama bukan komunikator asbun, atau hanya pandai beretorika layaknya penjual obat di pinggir jalanan. Obama pandai dan ia sangat menguasai tema-tema yang dibicarakannya. Dan oh ya, dua bukunya yang indah itu, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming the American Dream dan Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance dengan jelas juga menunjukkan kapasitas intelektual dia.
Kini kalau kita coba menelisik ketrampilan komunikasi Barack Obama secara lebih detil, maka setidaknya ada 5 elemen pelajaran yang bisa kita petik darinya. Lima elemen itu dalam manajemen komunikasi acap disebut sebagai 5 C : Complete, Concise, Consideration, Clarity, dan Courtesy.
Complete. Dalam debat menegangkan itu, Obama selalu mampu menyuguhkan gagasannya secara lengkap dan koheren; tidak parsial atau sepotong-potong. Elemen ini mengindikasikan bahwa kesempurnaan komunikasi yang kita bangun hanya bisa dicapai jika kita menyampaikannya dengan lengkap, dan tidak sepotong-potong. Mari kita ingat, berapa kali kita mengalami mis-komunikasi hanya gara-gara kita tidak menyampaikan informasi kepada rekan kerja atau kepada bos, dengan lengkap.
Concise. Ringkas dan padat. Tidak bertele-tele. Sadar bahwa efisiensi waktu amat penting, malam itu Obama selalu bisa menyampikan esensi gagasannya dengan ringkas namun padat. Audiens senang karena dengan demikian mereka mudah mencernanya, dan tidak bosan mendengar kalimat yang bertele-tele. Kita sama. Kita akan senang kalau mendengar orang lain menyampaikan gagasannya dengan ringkas dan jelas. Sayang, dimana-mana kita melihat orang acap melupakan elemen penting ini. Banyak orang bicara dengan boros, tidak efisien, mengulang-ulang, bertele-tele, dan membosankan lagi. Pliss deh…….
Consideration. Consideration means that you prepare every message with the recipient in mind and try to put yourself in his or her place. Dalam debat itu Obama tampil dengan sudah mengetahui apa yang ada dibenak rakyat Amerika. Apa yang mereka butuhkan, dan apa yang mereka dambakan. Ketika kita membangun komunikasi, kita mestinya juga melakukan hal serupa. Selalu berusaha memahami apa kebutuhan orang lain – dan bukan melulu minta dipahami. Selalu membangun empati pada apa yang dirasakan oleh mitra bicara kita dan mau mendengarkan isi hati orang lain.
Clarity. Obama mampu mendemonstrasikan elemen ini dengan amat memukau. Ia mampu memilin kata dan merajut kalimat dengan penuh presisi. Ia mampu mengartikulasikan gagasannya dengan jelas dan mengalir. Kita mungkin tak mesti harus seperti Obama. Namun alangkah eloknya, jika kita juga bisa mengekspresikan setiap jejak gagasan dan keinginan kita dengan penuh kejelasan. Dengan itu, sebuah relasi yang produktif mungkin bisa kita pahat dengan penuh keberhasilan.
Courtesy. Santun. Persuasif. Menumbuhkan respek. Elemen ini juga diperagakan dengan nyaris sempurna oleh Obama. Ia menawarkan gagasannya dengan santun dan elegan. Alunan kalimat yang membasahi bibirnya sungguh persuasif dan menumbuhkan respek. Kita kagum dan menaruh hormat dengan orang-orang yang seperti ini. Kita mungkin juga pernah menjumpainya. Inilah orang-orang yang selalu bisa berbicara dengan santun (tidak kasar), persuasif (tidak memaksa), dan menumbuhkan respek (dan bukan merendahkan).
Itulah pelajaran the art of communication a la Barack Obama. Bravo Obama. Viva for US President 2008.
No comments:
Post a Comment