Sinolog kenamaan seperti Michael D Swaine dan Ashley J Tellis dalam bukunya Interpreting China’s Grand Strategy: Past, Present, and Future (2000) menuliskan perilaku China setidaknya setelah reformasi dan modernisasi sekarang ini memiliki pendekatan non-ideologis yang terbagi atas kebutuhannya untuk meneruskan pertumbuhan ekonomi, menahan diri secara sistematis untuk tidak menggunakan kekuatan militer, serta keterlibatan yang diperluas di forum-forum multilateral tingkat global dan regional.
Dalam konteks kerusuhan Tibet akhir pekan lalu, pendekatan perilaku strategi akbar ini sepertinya tidak berlaku, dan bisa ditilik setidaknya dalam beberapa faktor inheren yang cara penanganannya yang berbeda dengan Taiwan. Taiwan merupakan sisa pertikaian politik nasionalis versus komunis berbasis ideologi yang sekarang menjadi usang bersamaan dengan kemajuan ekonomi RRC.
Jika Ma Ying-jeou dari Kuomintang berhasil menduduki posisi Presiden Taiwan—jika berhasil mengalahkan Frank Hsieh dari Partai Progresif Demokratik—meneruskan kekuasaan Presiden Chen Shui-bian, hubungan Beijing-Taipei dipastikan tidak akan banyak berubah. Fondasi hubungan Partai Komunis China (PKC) dan Kuomintang (Partai Nasionalis China) cukup kokoh untuk bisa menyelesaikan kemungkinan terjadinya ketegangan di antara keduanya.
Bahan ejekan
Dalam persoalan Tibet, isu dan masalah yang berkembang menjadi berbeda. Kata Xizang (artinya Tibet) dalam bahasa China mempunyai dua arti yang bertolak belakang. Xizang bisa berarti ’harta di barat’, tetapi Xizang juga memiliki homonim yang berarti ’kotoran di barat’ yang menjadi ejekan orang-orang keturunan Han tentang orang-orang Tibet yang kotor dan berdebu karena ritual agama Lama dengan posisi telentang di tanah.
Ada faktor kenyataan internasional, dengan tidak ada satu negara dan pemerintahan di dunia ini yang mempertentangkan status Tibet dan mengakuinya sebagai bagian dari RRC, dan bersedia untuk memberikan pengakuan legal apa pun kepada Dalai Lama yang berada dalam pemerintahan pengasingan di Dharamsala, wilayah India yang berbatasan dengan Tibet.
Di sisi lain, faktor Dalai Lama menjadi problematik subyektif sekaligus obyektif mengingat karisma religiusnya menarik simpati banyak kalangan dari Hollywood, media massa global, sampai politisi, yang mendudukkan pemenang Hadiah Nobel 1989 dalam posisi dilematis antara dimensi internasional dan pada tingkat tertentu dimensi nasional.
Sinergi internasionalisasi Dalai Lama, serta posisinya sebagai figur politik dengan sejarah tradisi panjang inkarnasi agama Lama pada abad ke-17 mewakili kepentingan enam juta orang Tibet, harus berhadapan dengan patriotisme dalam rumusan komunisme China. Internasionalisasi ini akan berhadapan secara sistematis dengan strategi akbar RRC yang berusaha untuk memutuskan mata rantai panjang sejarah kelahiran inkarnasi Dalai Lama.
No comments:
Post a Comment