Selasa, 11 Maret 2008 | 00:16 WIB
Oleh Broto Wardoyo
Proses negosiasi untuk mengakhiri konflik paling baik dikerjakan manakala konflik sudah mengalami fase kematangan (ripeness of conflict).
Secara teori, ada tiga elemen yang menandai kematangan konflik. Pertama, hadirnya mutually hurting stalemate, kesadaran bahwa meneruskan konflik lebih merugikan dibandingkan dengan mengakhirinya. Kedua, munculnya formula-formula penyelesaian. Ketiga, adanya juru bicara yang valid, yang dipandang terpercaya mewakili kelompoknya.
Dalam konflik di Jalur Gaza antara Israel dan Hamas, ketiga elemen itu belum terlihat. Juru bicara resmi Israel menegaskan, Israel belum akan mengakhiri serangan. Kekerasan masih dipandang sebagai pilihan utama kedua pihak. Hal itu membentuk karakter kedua kelompok yang menyuburkan kultur berkonflik.
Tindakan kekerasan yang dilakukan Israel membuat anak-anak muda Gaza tumbuh dalam situasi kebencian. Kondisi ini memudahkan masuknya sentimen-sentimen ideologis yang berakar pada kebencian yang ditanamkan sejak dini. Ketika anak-anak itu tumbuh dewasa, dengan mudah mereka akan menekan tombol kebencian dalam aksi-aksi kekerasan. Di sisi berbeda, anak-anak Israel tumbuh dalam ketakutan yang sama. Ketika masuk usia sekolah menengah, mereka memiliki kesadaran, setelah lulus akan masuk dinas militer untuk berhadapan dengan anak-anak Gaza. Masuk dalam pilihan membunuh atau dibunuh. Realitas ini sulit dipangkas dari sisi mana pun.
Memotong siklus
Upaya untuk memotong siklus kekerasan sebenarnya bisa dikerjakan dalam dua alternatif. Keduanya memiliki sisi buruk yang harus ditangani.
Pertama, cara realis, dengan memaksakan perdamaian, peace enforcement. Implementasi model ini membutuhkan kehadiran pihak ketiga yang cukup kuat untuk memaksa Hamas dan Israel mengakhiri kekerasan. Pemaksaan bisa dikerjakan dengan kekuatan bersenjata, pengaruh politik, maupun dukungan ekonomi. Pilihan terakhir tampaknya lebih bisa diterapkan dalam masalah ini mengingat tidak mudah mengalahkan kemampuan militer Israel. Dari sudut Israel, sokongan ekonomi digunakan sebagai hadiah bagi pengurangan atau bahkan penghentian kekerasan. Dari sudut Hamas, bantuan ekonomi dijadikan alat pemaksa untuk mengurangi atau menghentikan kekerasan. Hanya saja, sejauh ini aktor-aktor internasional lain masih dalam tahap mengeluarkan pernyataan mengecam tanpa memberi rekomendasi dan kesiapan taktis dalam mengatasi kekerasan.
Pilihan kedua, mengubah kultur di kedua pihak. Memunculkan perpecahan untuk membuka peluang hadirnya beberapa subkelompok yang lebih berorientasi damai. Pilihan ini memungkinkan dikerjakan, tetapi membutuhkan waktu lama. Belum lagi tantangan yang harus dihadapi kelompok Fatah, yang de jure menguasai Palestina.
Mana yang akan dipilih, ditentukan beberapa hal. Pertama, telaah tentang akar masalah yang muncul di Gaza. Kedua, momen penyelesaian. Ketiga, ketersediaan sumber daya (resources).
Permasalahan di Gaza muncul dalam beberapa tingkatan, salah satunya persoalan internal Palestina akibat perebutan kekuasaan antara Hamas dan Fatah. Persoalan ini sebenarnya bisa diselesaikan jika ada tatanan politik yang bisa mengakomodasi kepentingan keduanya. Hanya saja upaya untuk membangun tatanan itu terbentur dua hal. Pertama, tentangan masuknya Hamas dalam tatanan politik dari aktor luar. Kedua, insistensi Hamas dalam beberapa poin yang membuat tidak adanya mekanisme kompensasi antara Hamas dan Fatah.
Perlu keberanian
Masalah pertama bisa dilihat dari penolakan atas keterlibatan, dan kemudian kemenangan, Hamas dalam Pemilu 2006. Tatanan realistis yang bisa dibangun di Palestina adalah pembagian kekuasaan di Palestina dengan reformasi PLO. Membangun tatanan baru di luar PLO hampir mustahil dilakukan. Salah satunya terkait perubahan mendasar dalam penerimaan negara-negara di dunia. Reformasi PLO dibutuhkan untuk bisa mengimbangi tatanan politik baru yang melibatkan Hamas. Hanya saja, penolakan Hamas untuk meninggalkan senjata dan mengakui menjadi kendala serius upayanya masuk ke PLO.
Upaya menemukan titik temu menjadi sulit dilakukan karena adanya penolakan terselubung oleh aktor-aktor lain dalam PLO. Ketika pertentangan politik internal ini ditambah kompleksitas hubungan antarnegara di tataran regional, upaya mencari solusi menjadi lebih sulit.
Ketika reformasi PLO bisa dikerjakan, akan lebih mudah mendorong aneka kelompok moderat dalam Hamas untuk bermain lebih bebas dalam politik. Mereka bisa menjadi agen yang akan mengooptasi anak-anak muda Gaza untuk tidak melepas kebencian di jalan, tetapi dimaksimalkan di area politik.
Langkah ini akan lebih efektif ketika tercipta momen yang baik. Momen terbaik bisa muncul ketika kedua pihak sama-sama kalah atau menang. Pilihan pertama lebih mudah dikondisikan dibandingkan dengan kedua. Sayang, dalam kasus Gaza kemenangan Israel akan dipandang sebagai kekalahan Hamas dan sebaliknya.
Ketersediaan sumber daya terkait dengan siapa yang hendak masuk penyelesaian konflik. Mengharapkan AS masuk menengahi konflik yang melibatkan Hamas hampir mustahil terjadi. Di sisi lain, Uni Eropa maupun aktor-aktor pinggiran lain tampaknya belum memandang serius masalah di Gaza.
Dalam kondisi saat ini, dibutuhkan keberanian pihak-pihak yang bertikai, Israel ataupun Hamas, untuk membuka keran masuknya kelompok ketiga. Jika tidak, pilihan membuka keran itu bisa dilakukan Fatah, ”otoritas resmi” Palestina saat ini.
Broto Wardoyo Pengajar di Departemen Ilmu HI, UI; Manajer Program Center for International Relations (CIReS) UI
No comments:
Post a Comment