Tuesday, March 11, 2008

DK PBB dan Nuklir Iran


Selasa, 11 Maret 2008 | 00:17 WIB

Oleh Edy Prasetyono

Dewan Keamanan PBB pada 3 Maret 2008 mengeluarkan Resolusi 1803 (2008) tentang nuklir Iran.

Kali ini Indonesia abstain. Ini berbeda dengan sikap Indonesia atas Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB 1747 (2007) yang menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Substansi sikap Indonesia, Resolusi DK PBB 1803 (2008) tidak mengandung hal baru yang signifikan, kecuali sanksi tambahan, dan timing-nya tidak tepat karena dalam satu tahun terakhir ada perkembangan positif dalam perundingan Iran-IAEA. Tampaknya Indonesia melihat tidak ada alasan kuat untuk membuat resolusi dan menambah sanksi baru terhadap Iran. Sebaliknya, perlu didorong kelanjutan negosiasi antara Iran dan IAEA, terutama tentang kegiatan penelitian yang mencurigakan (alleged studies), yaitu the Green Salt Project, high- explosive testing, dan missile re- entry vehicle yang dicurigai terkait pengembangan senjata nuklir.

Perkembangan positif

Secara teknis dan legal, sejak Resolusi DK PBB 1747 (2007) lahir, ada kemajuan dalam masalah nuklir Iran. Laporan Direktur Jenderal IAEA 22 November 2007 menyatakan, Iran telah mengambil langkah-langkah sesuai dengan Resolusi DK PBB 1737 (2006) dan 1747 (2007) serta ketentuan safeguard system Protokol Tambahan 1997 (the Additional Protocol).

Secara spesifik, laporan Dirjen IAEA menggarisbawahi isu-isu sentral nuklir Iran, yang didefinisikan sebagai outstanding issues dengan pengecualian alleged studies di atas, dianggap telah selesai. Isu-isu itu mencakup sumber kontaminasi nuklir dan pengadaan material dan peralatan nuklir, Polonium-210, tambang uranium di Gchine Mine, Heavy Water Reactor, kegiatan pengolahan kembali dan pengayaan uranium (reprocessing dan enrichment), dan kemungkinan pengalihan penggunaan uranium (uranium conversion/diversion).

Menurut IAEA, informasi dan dokumentasi Iran tentang semua hal itu tidak bertentangan dengan temuan IAEA. Bahkan, IAEA menyatakan, tiga dari aneka kegiatan yang dianggap potensial mengarah pada kemampuan pengembangan senjata nuklir, yaitu Polonuim-210, kegiatan pengayaan uranium, dan reprocessing tidak lagi menjadi masalah mengganjal karena telah berada di bawah pengawasan penuh IAEA.

Laporan positif IAEA ini perlu menjadi pertimbangan guna menilai perkembangan nuklir Iran. Pandangan IAEA ini segaris dengan laporan US National Intelligence Estimate (NIE) berjudul Iran: Nuclear Intention and Capabilities (November 2007). Laporan NIE menyatakan, Iran telah menghentikan program pengembangan senjata nuklir tahun 2003 dan hingga kini Iran tidak memiliki senjata nuklir. Laporan ini juga menyatakan, Iran bisa saja secara teknis memproduksi highly enriched uranium (HEU) untuk senjata nuklir paling cepat akhir 2009. Namun, ditegaskan, hal itu sangat tidak mungkin, bahkan hingga tahun 2015.

Tiga masalah

Sisa masalah yang mengganjal adalah alleged studies, yaitu the Green Salt Project, uji coba ledakan tinggi, dan rancang bangun re-entry vehicle sebagai wahana peluncuran senjata. Semua itu mempunyai dimensi militer. The Green Salt Project adalah proyek pengubahan uranium dioxide (UO2) menjadi uranium yang bisa dipakai untuk senjata nuklir.

Tentang tiga hal itu, IAEA merasa belum puas atas informasi dan laporan yang diberikan Iran. Namun, IAEA menegaskan, badan atom internasional ini tidak mendeteksi atau tidak mempunyai informasi akurat tentang adanya penggunaan material nuklir dalam ketiga alleged studies yang dilakukan Iran untuk pengembangan senjata nuklir. Masalahnya, IAEA tidak mempunyai informasi tentang kemungkinan Iran melakukan aneka kegiatan pengayaan yang tidak dilaporkan kepada IAEA.

Atas hal-hal itu, Indonesia berpendapat, IAEA dan Iran harus diberi kesempatan lebih panjang untuk memaksimalkan perundingan positif yang telah dilakukan. Indonesia konsisten mendukung larangan penyebaran senjata nuklir dan aneka instrumen implementatifnya. Indonesia juga mendukung imbauan Dirjen IAEA agar Iran mengambil langkah-langkah penting untuk meyakinkan dunia internasional tentang maksud-maksud damai program nuklirnya.

Lahirnya Resolusi DK PBB 1803 (2008) di tengah hasil-hasil positif yang dicapai dalam perundingan Iran-IAEA bukan disebabkan masalah legal dan teknis, tetapi karena tiadanya political trust dan perbedaan kepentingan strategis di Timur Tengah antara Iran dan Barat. Karena itu, abstain adalah sikap terbaik Indonesia terhadap Resolusi DK PBB 1803 (2008).

Edy Prasetyono Peneliti Senior CSIS Jakarta; Dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP-UI

No comments: