Monday, March 10, 2008

Regulasi Kampanye Media


Senin, 10 Maret 2008 | 00:35 WIB

Oleh Agus Sudibyo

Sejak Pemilu 1999, Indonesia memasuki era di mana media massa menjadi faktor determinan dalam penyelenggaraan pemilu. Hampir semua diskursus tentang seluk-beluk pemilu memusat pada wacana media. Tak ada kelompok politik yang tidak berkepentingan dengan pembentukan opini publik melalui media. Media juga menjadi sarana utama bagi publik untuk menangkap pesan-pesan elite politik, untuk mencerna aneka fenomena politik yang berkembang.

Di sisi lain, hampir pasti media—khususnya media penyiaran—menghadapi even semacam pemilu dengan matra komersialisasi dan komodifikasi. Terlepas dari aneka potensi demokratis dan deliberatifnya, media merupakan institusi ekonomi yang beroperasi berdasarkan imperatif bisnis, tanpa terkecuali saat berhadapan dengan masalah publik semacam pemilu.

Maka, penting dicermati, sejauh mana keseimbangan antara media sebagai institusi sosial dan sebagai institusi bisnis dikonstruksi dalam UU Pemilu yang baru? Bagaimana UU Pemilu mengantisipasi berbagai tendensi komodifikasi ruang publik media, yang jika terjadi secara berlebihan, akan memengaruhi kualitas pemilu?

Iklan kampanye

Ada tiga persoalan yang perlu diperhatikan terkait peran media dalam kampanye pemilu.

Pertama, persoalan aliran dana kampanye. Riset menunjukkan, anggaran kampanye Pemilu 2004 mayoritas dibelanjakan untuk kampanye media televisi. Iklan kampanye di televisi menyedot dana lebih besar dibandingkan dengan bentuk-bentuk kampanye lain. Merujuk penelitian IFES, budget iklan kampanye di televisi pada Pemilu 2004 naik 400 persen dibandingkan dengan Pemilu 1999.

Masalahnya, bagaimana akuntabilitas dana iklan-iklan kampanye media itu? Apakah telah disalurkan dengan prosedur yang benar? Apakah prinsip-prinsip fairness telah ditegakkan dalam placement iklan-iklan kampanye? Sebuah persoalan yang rumit.

Belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, transparansi peserta pemilu saja tidak memadai karena dana placement iklan bisa dari mana saja, melalui jalur bermacam-macam. Transparansi peserta pemilu harus ditunjang transparansi media. Media perlu terbuka, paling tidak kepada KPU atau KPI, tentang tarif iklan, pembagian slot iklan, program yang ditawarkan kepada peserta pemilu, siapa saja pemasang iklan, dan seterusnya.

Entah karena dianggap bukan domain UU Pemilu atau dianggap terlalu rinci diatur dalam undang-undang, kompleksitas iklan kampanye media belum diatur UU Pemilu. UU Pemilu hanya mengatur: pengelolaan dana parpol dan dana kampanye pemilu harus dipisahkan, dana kampanye dapat berasal dari sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum dan dibatasi besarannya (Pasal 138).

Ruang lingkup kampanye

Hal kedua, persoalan ruang lingkup kampanye. UU Pemilu hanya menyatakan materi kampanye meliputi visi, misi, dan program (Pasal 94). Padahal, kampanye bisa dilakukan dengan materi apa saja. Slogan atau warna khas partai pun berdimensi kampanye politik jika ditampilkan mencolok dan berulang-ulang di media.

Tanpa ada rumusan yang tuntas, ruang lingkup kampanye akan dengan mudah dimanipulasi. Berbagai kegiatan yang sebenarnya bermuatan kampanye bisa diklaim sebagai bukan kampanye.

UU Pemilu juga tidak mendefinisikan bentuk kampanye di media. Pada media penyiaran, banyak program bisa digunakan untuk ajang kampanye. Pesan kampanye bisa diselubungkan melalui berbagai jenis iklan yang mungkin kurang dikenal publik sebagai bentuk advertising.

Pesan kampanye juga bisa secara halus diselipkan dalam talk show, variety show, atau kuis yang ditayangkan reguler, termasuk di luar masa kampanye. Masyarakat sulit mengidentifikasi program atau rubrik itu sebagai medium kampanye karena praktis tidak ada atribut atau simbol partai politik yang digunakan.

Dana kampanye

UU Pemilu belum secara rinci mengatur lingkup kampanye media. Bisa jadi para legislator berpandangan, aturan lebih rinci akan dirumuskan dengan peraturan di bawah undang-undang. Di sini, kita sampai pada masalah ketiga, siapa yang otoritatif mengatur rinci peraturan kampanye pemilu di media? KPU, KPI, atau Dewan Pers? Ada pendapat, UU Pemilu dan KPU sebaiknya tidak mengatur lembaga penyiaran. Biarkan KPI yang mengaturnya berdasarkan UU Penyiaran.

Soal dana kampanye, tanpa terkecuali yang masuk ke media, notabene adalah domain UU Pemilu dan otoritas KPU. Dengan kata lain, domain media penyiaran dan domain pemilu berkelindan. Selain itu, apakah KPI cukup legitimate untuk meregulasi pengaturan transparansi dana kampanye media dan adakah jaminan akan efektif penegakan hukumnya? Pengalaman pemilu sebelumnya, KPI cenderung lamban dalam merespons berbagai pelanggaran iklan kampanye yang dilakukan media penyiaran.

Sejauh kompleksitas otoritas kampanye media belum berhasil dipecahkan, pembentukan Desk Bersama antara KPU dan KPI, bahkan Dewan Pers, untuk mengatur dan mengontrol kampanye media masih amat relevan. Namun, Desk Bersama ini harus benar-benar optimal melakukan pengawasan dan berani menegakkan peraturan secara tegas. Bukan hanya dibentuk secara simbolis, sekadar untuk melengkapi pelembagaan pemilu.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

No comments: