Wednesday, March 12, 2008

Mau ke Mana Rusia?


Rabu, 12 Maret 2008 | 00:23 WIB

Oleh N Jenny MT Hardjatno

Pemilu Rusia sudah berakhir. Dmitry Anatolyevich Medvedev, yang didukung Putin, tampil sebagai pemenang.

Medvedev mengalahkan para pesaingnya: Gennady Zuganov, Vladimir Zhirinovsky, dan Andrey Bogdanov. Dari 108,95 juta yang berhak memilih, Medvedev meraih suara 70,23 persen. Medvedev akan dilantik Mei 2008.

Meski beberapa pengamat Barat dan pesaingnya menyangsikan transparansi pelaksanaan Pemilu itu, dapat dikatakan, sistem demokrasi di Rusia telah berjalan sesuai dengan Konstitusi 1993 sehingga Putin tunduk untuk tidak mencalonkan diri lagi sebagai calon presiden ketiga kali.

Medvedev telah terpilih dan menjadi pemimpin baru Rusia. Sesuai dengan janjinya kepada rakyat Rusia (11/12/2007), Putin akan menduduki jabatan perdana menteri (PM) bila Medvedev terpilih sebagai presiden.

Bagaimanakah kebijakan pemerintah baru Rusia selanjutnya? Inti kebijakan dan program Putin pada masa lalu adalah mengangkat martabat bangsa Rusia dengan menjalankan kebijakan dalam dan luar negeri guna meraih posisi strategis dalam percaturan politik dunia. Maka, Putin merencanakan program pembangunan ekonomi jangka panjang Rusia sampai tahun 2020 dan membangun citra yang baik di dunia internasional, termasuk di kawasan Asia Pasifik.

Kebijakan itu tampaknya merupakan kebutuhan mendesak bangsa Rusia saat ini setelah menjalani berbagai perubahan sejak 17 tahun terakhir. Diperkirakan, Medvedev akan melanjutkan kebijakan dasar rintisan Putin.

Duet Medvedev-Putin

Menengok ke belakang, duet Medvedev-Putin mengingatkan peristiwa sejarah bangsa Rusia di masa tsar. Pada era abad ke-17, Rusia diperintah dinasti Romanov dengan Mikhail Romanov sebagai tsar yang dipilih Zemskiy Sabor, bentuk parlemen pertama Rusia yang terbentuk sejak abad ke-16.

Dari generasi Romanov yang bergabung dengan dinasti Oldenburg—dikenal sebagai Holstein- Gottorp-Romanov—lahir para pemimpin besar di Rusia, antara lain Peter Yang Agung, Katarina II, dan Aleksander I yang membawa Rusia ke masa kejayaan sehingga disegani negara-negara di Eropa.

Pada tahun 1613 Mikhail Feodorovich Romanov diangkat menjadi tsar. Karena usianya masih muda, 17 tahun, Mikhail banyak dipengaruhi ayahnya, Feodor Nikitich Romanov yang dikenal sebagai Patriarki Filaret, seorang patriarch Moskwa dalam gereja Ortodoks yang memiliki kekuasaan kuat di Zemskiy Sabor. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan Mikhail lebih merupakan hasil pemikiran ayahnya karena peran gereja Ortodoks saat itu amat kuat dalam menentukan kebijakan pemerintahan. Jadi, de facto ayah Mikhail menjadi tutor yang amat menentukan dalam masa kepemimpinan anaknya.

Akankah tutorial semacam itu terjadi pada duet Medvedev-Putin? Kedekatan Medvedev dengan Putin telah berlangsung 17 tahun dan lebih merupakan bentuk kerja sama yang saling mengisi. Ketika Putin menjadi Wali Kota St Petersburg, Medvedev diangkat menjadi penasihat hukumnya (1994). Medvedev adalah PhD bidang hukum lulusan Universitas Negeri Leningrad (1990). Saat Putin menjadi PM (1999), ia mengajak Medvedev ke Moskwa.

Sukses menjadi juru kampanye Putin tahun 2000, ia ditunjuk sebagai kepala staf kepresidenan sampai akhirnya menjabat pimpinan perusahaan Gazprom, sebuah perusahaan yang memainkan berbagai proyek nasional penting, antara lain membangun kembali infrastruktur yang hancur. Jabatan puncaknya diperoleh pada 14 November 2005 sebagai PM pertama.

Pandangan Indonesia

Riwayat kerja sama itu menunjukkan, selama ini Medvedev mengetahui dan ikut menentukan kebijakan dasar Putin. Namun, perlu disadari, Medvedev adalah seorang intelektual yang menguasai beberapa bahasa asing, mempunyai kapasitas sebagai pemimpin dan visi pribadi, berwawasan liberal, dan terbuka. Baik untuk diperhatikan di sini, nama Medvedev mengingatkan kata medved (bahasa Rusia) yang berarti beruang. Apakah ini ada maknanya?

Bagaimana pandangan Pemerintah Indonesia? Yang pasti, perubahan kepemimpinan Rusia tidak perlu membuat Indonesia khawatir tentang berbagai kesepakatan yang telah dicapai kedua negara. Dalam rangka kerja sama Indonesia-Rusia, kebijakan di masa depan tidak mudah berubah dari pola kebijakan politik Rusia yang sudah ditentukan.

N Jenny MT Hardjatno Guru Besar Tetap Bidang Studi Rusia, Universitas Indonesia

No comments: