Jumat, 14 Maret 2008 | 00:38 WIB
Oleh Zuhairi Misrawi
Kemenangan partai oposisi, PPP dan PML-N, dalam pemilu terakhir di Pakistan menandakan akhir rezim diktator Musharraf. Greg Sheridan Blog, analis politik luar negeri The Australian, menyebutnya a democratic surprise.
Namun, pertanyaan yang belum terjawab adalah soal masa depan demokrasi dan determinasi kalangan ekstremis dalam ruang publik. Benazir Bhutto (2008) dalam Reconciliation: Islam, Democracy and The West menyebutkan, masa depan Pakistan ditentukan pertarungan kediktatoran versus demokrasi dan ekstremisme versus moderasi. Untuk membangun demokrasi, pilihan harus jelas, yaitu demokrasi dan moderasi, bukan kediktatoran dan ekstremisme.
Dua tantangan
Ihwal demokratisasi setidaknya ada dua tantangan menonjol, yaitu tingginya angka kemiskinan dan lemahnya sistem politik. Di bawah rezim Pervez Musharraf, angka kemiskinan ditengarai mengalami peningkatan sekitar 12 persen. Ini menunjukkan adanya relasi obyektif antara kediktatoran dan meningkatnya angka kemiskinan. Lebih-lebih, tidak adanya jaminan keamanan menyebabkan kemiskinan menjadi fakta tidak bisa dihindari.
Fakta kemiskinan di tingkat akar rumput berbeda jauh dengan fakta para politisi yang menikmati kekayaan secara melimpah. Para politisi, yang sejatinya merupakan representasi rakyat dalam menyuarakan hak-hak mereka, berubah menjadi kelompok konglomerasi baru yang hanya menjadikan politik sebagai kendaraan untuk memperkaya diri.
Institusi politik bermetamorfosis menjadi lembaga pemiskinan yang kian telanjang dengan cara mengabaikan hak-hak sipil dan ekonomi mereka. Tidak sedikit politisi yang ditetapkan terlibat praktik korupsi, tetapi amat jarang dari mereka yang mendapat hukuman setimpal, bahkan mereka dengan mudah melakukan eksodus dan menikmati udara segar di negara maju dengan bergelimangan harta.
Militer merupakan salah satu kekuatan yang sering menghambat demokratisasi. Intervensinya dalam ranah politik, misalnya melalui kudeta sebagaimana dilakukan Musharraf terhadap Nawaz Sharif, merupakan praktik kediktatoran yang senantiasa mengancam pergantian kekuasaan. Militer sering mengambil alih kekuasaan dengan dalih instabilitas dan perbaikan ekonomi.
Selain itu, politik selalu dikuasai pemain lama. Tidak muncul wajah baru dari kalangan muda yang benar-benar membawa obor perubahan dan pembaruan dalam ranah politik. Karena itu, politik ada dalam lingkaran setan homo homini lupus.
Institusionalisasi demokrasi
Benazir Bhutto mengetengahkan perlunya pemikiran tentang institusionalisasi demokrasi sebab kegagalan demokrasi di Pakistan secara umum terkait kelindan dengan kegagalan dalam institusionalisasi demokrasi. Sementara di bawah alam sadar publik, sistem diktator selama ini dianggap sebagai cara terbaik untuk memulihkan ekonomi. Ironisnya, demokrasi dianggap tidak menjamin kesejahteraan.
Maka, wajah Pakistan di masa datang amat ditentukan dua partai oposisi, PPP dan PML-N, sebagai pemenang urutan pertama dan kedua dalam pemilu terakhir. Kedua partai itu harus mampu menjadikan demokrasi sebagai jalan mulus menerjemahkan misi perubahan pada tataran praksis.
Sebagaimana negara-negara Muslim lainnya, demokrasi di Pakistan amat ditentukan sejauh mana kelompok keagamaan moderat mengambil peran yang semestinya dalam ruang publik. Sejauh ini aneka kelompok yang mengusung pandangan ekstremistik mempunyai militansi lebih menonjol daripada kalangan moderat. Apalagi kalangan ekstremis sering menawarkan janji-janji surgawi jika diberi kesempatan dalam ruang publik. Tidak sedikit dari mereka yang merelakan diri sebagai martir. Puluhan, bahkan ratusan korban jatuh akibat bom bunuh diri.
Untung, publik masih memberi dukungan partai prodemokrasi. Dalam pemilu terakhir, MMA, partai yang diasosiasikan dengan kalangan ekstremis, hanya mendulang enam kursi, kalah jauh dengan perolehan kursi partai yang mengusung demokratisasi dan moderasi.
Tentu saja hal itu merupakan modal politik amat besar untuk menyelamatkan Pakistan dari kehancuran yang bersifat permanen, seperti dihadapi negara tetangganya, Afganistan.
Benar apa yang dikatakan Benazir Bhutto, yang dibutuhkan adalah kerja keras dan kerja sama antara kelompok prodemokrasi dan promoderasi untuk melakukan perubahan terukur dan dapat dirasakan oleh publik.
Zuhairi Misrawi Direktur Moderate Muslim Society (MMS); Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia
No comments:
Post a Comment