Berita media massa Amerika Serikat (AS) mengenai pemilihan Presiden AS antara dua kubu yang berseteru dari Partai Republik dan Partai Demokrat semakin seru.
Apalagi, pendukung Partai Demokrat menganggap dominasi kekuasaan Presiden George Walker Bush yang berasal dari Partai Republik sudah saatnya diganti. Cukup sudah Partai Republik berkuasa selama dua periode. Sekarang diperlukan perubahan AS melalui kepemimpinan presiden yang baru harus mampu tampil lebih elegan, lebih peduli, dan memiliki empati yang tinggi dengan negara-negara di dunia.
Citra AS yang sempat babak belur karena invasinya ke Irak dan keberpihakannya yang agak berlebih kepada Israel, paling tidak, harus mampu memberikan kepercayaan kepada publik dunia bahwa AS bukan polisi dunia. Pertarungan kandidat Presiden AS antara Hillary Clinton dan Barack Obama dalam framingmedia dapat ditelaah dari karakteristik daya pikat media.
Paling tidak, media massa menjadi atraktif untuk dibaca, ditonton, dan didengar karena memiliki daya tarik seperti novelty,proximity,popularitas, komedi, seks, emosi, konflik, nostalgia, dan human interest. Tampaknya, faktor popularitas, emosi, konflik, dan human interest lebih menonjol dalam liputan media AS sekarang ini.
Debat di kampus Cleveland State University di Cleveland, Ohio, pekan lalu, yang mengambil topik masalah kesehatan,Irak,dan perdagangan bebas telah menguras energi kedua calon Partai Demokrat ini.Perdebatan atas isu luar negeri seperti Irak dan NAFTA telah menjadikan kandidat presiden paham betul akan sejarah dan kultur politik dan negara yang dibincangkan.
Masalah Irak paling sering dijadikan isu agar AS dapat keluar dari sana tanpa harus kehilangan muka.Apalagi korban tentara AS yang tewas di Irak sudah mencapai angka 3.500. Semua kandidat sangat ingin menyelamatkan AS untuk keluar dari Irak dengan cara-cara yang tidak mencederai kepemimpinan AS di mata dunia.
Sorotan media hingga kini masih lebih banyak memberikan porsi kepada calon Demokrat Hillary Clinton dan Barack Obama.Alasannya sangat pragmatis karena kedua tokoh ini diharapkan akan mampu menggeser dominasi Partai Republik. Hitungannya adalah kedua tokoh ini memiliki latar belakang dan gaya kepemimpinan yang unik.Hillary terobsesi mengukir sejarah sebagai perempuan pertama merebut kursi kepresidenan.
Obama dijagokan untuk menjadi presiden pertama AS yang berasal dari kulit hitam. Obama sepertinya hendak mewujudkan semacam impian masa lalu dari seorang tokoh legendaris pejuang hak-hak sipil. Siapa lagi kalau bukan (dimulai dari) Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS, dan Martin Luther King yang berpidato di bawah tajuk I Have a Dream.Ia bermimpi,pada suatu waktu tidak ada perbedaan yang mencolok atas hak-hak mereka yang warna kulitnya berbeda, antara yang berkulit putih dan berkulit hitam.
Secara formal perjuangan itu sudah membuahkan hasil meskipun tidak dapat dinafikan sentimen warna kulit sekali-kali mencuat juga. Obama adalah tokoh yang ingin mempersatukan semua etnis dan kelompok hidup berdampingan. Sementara Hillary mengandalkan rintisan suaminya,Presiden Bill Clinton, yang juga ingin masalah diskriminasi tidak lagi menjadi kendala bagi persatuan orang AS.
Memang, pernyataannya tentang eksistensi dan kiprah warga berkulit hitam sempat menjadi polemik. Kemenangan Hillary dalam Super Tuesday (5/2) ternyata masih menjadi taruhan untuk memenangi pertarungan pendahuluan yang akan terus berlangsung hingga pertengahan Juni.
Pertarungan terdekat adalah rebutan suara di Texas dan Ohio (4/3) yang dikenal dengan raihan suara di Superdelegates. Kalau di dua negara bagian itu Hillary kalah, pupuslah harapannya untuk menjadi calon Partai Demokrat merebut kursi kepresidenan di Gedung Putih. Mengenai pesona rivalnya sudah banyak dikupas.Obama,tokoh muda berkulit hitam, memiliki karisma yang memukau.
Ia terlihat sangat energik, smart, dan santun da - lam berbicara. Ia tidak terpancing oleh kecaman Hillary, tetap mampu mengontrol emosinya. Hillary pada awal kampanye juga oke, tetap mampu mengontrol emosinya. Ia juga terlihat pintar dan elegan. Namun,ia menjadi kedodoran karena 10 kali kekalahan berturut-turut di berbagai negara bagian menjadikannya sangat emosional.
Bahkan,untuk merengkuh suara ia melakukan kampanye door to door sambil berlinang air mata. Kita menjadi teringat bagaimana air mata memang mengundang simpati, tetapi juga bisa menjadi bumerang. Ada peristiwa pemilihan presiden pada waktu calon Partai Demokrat Senator Edmund S Muskie menangkis serangan penerbit William Loeb yang dianggap memfitnah dan memojokkannya di New Hampshire.
Muskie pada awalnya diperkirakan akan mudah mengalahkan rivalnya, Senator George McGovern dari South Dakota. Namun, peristiwa air mata berlinang menjadi lain ceritanya. Di tengah badai salju dengan berdiri di atas truk, ia menggelar konferensi pers, memberikan pembelaan atas istrinya, Jane, yang dituduh berperilaku tak terpuji,di samping masalah cercaan terhadap blok pemilih Prancis-Kanada. Jurnalis senior pemenang hadiah Pulitzer David S Broder (dalam berita di balik berita Behind the Front Page,1987) mengulas bagaimana Edmund Muskie dengan air mata mengalir menahan emosi dengan terbata-bata, sempat tertegun sejenak,lalu membisu geram.
Berbicara dengan suara parau menahan emosi, di tengah badai salju ia menyeka wajahnya sambil menggerak- gerakkan bahu untuk memulihkan ketegarannya. Ekspresi itu direkam media, ia dituduh cengeng, emosional. Wajah Muskie yang kusut masai dan letih berkampanye telah menjadi realitas media yang ditangkap pembaca dan pemirsa menjadi kontraproduktif.
Sebaliknya, kemampuan public relations Presiden Ronald Reagan,baik pada masa kampanye maupun saat menjadi presiden, sungguh canggih. Ia tidak pernah tampil asal-asalan,selalu gagah menawan. Usianya yang lanjut dan keriput wajahnya dipoles dengan make-up yang aduhai. Misalnya pipinya selalu di-blush on dengan warna pink agar kelihatan lebih segar dan tampak lebih muda.
Kembali kepada Hillary. Kadang karena ia tak sabar lagi merebut kursi presiden, bicaranya menggebu-gebu, tetapi suka emosional. Sementara Obama mempertahankan diri dengan gaya cool dan rangkaian kata seperti orang berpuisi. Ternyata,masyarakat AS tidak suka kepada negative and black campaign, kampanye yang menjelek-jelekkan lawan politik dan mene-lanjangi keborokannya.
Masyarakat AS sudah cukup dewasa untuk memilah-milah apa yang patut untuk dicerna dan diikuti imbauan aktor politik mereka. Apalagi, negara ini seperti dikatakan oleh Katherine Graham sebagai bangsa yang sangat menikmati kebebasan persnya.
Dia dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa pers AS adalah pers bebas, sangat beragam, dan bermutu lebih tinggi dari pers mana pun di dunia. Memang, media bertugas merekam aspirasi manusia yang majemuk itu. “Banyak manusia, banyak pula pandangan,” ujar penyair Terenz (190–159 SM). Quot h’omines, tot sent’entiae!(*)
Pakar Komunikasi
No comments:
Post a Comment