AJ Susmana
Berakhirnya perang dingin yang mencekam umat manusia karena dibayangi perang nuklir yang mengerikan membawa perubahan isu global dan tata cara pergaulan baru di bumi ini. Demokratisasi dan kesejahteraan rakyat menjadi kunci dalam proses ini.
Tak hanya Indonesia, Malaysia—negara tetangga dan masih serumpun dengan kita—pun tampak mengalami perkembangan baru dalam situasi politik. Demokrasi dan antidiskriminasi di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya menjadi nilai baru.
Titik tolak perubahan itu jelas ditunjukkan dalam pemilu tahun ini yang membuat dominasi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan Barisan Nasional mulai goyah dan isu-isu yang menuntut penghapusan UU Diskriminasi kian menguat.
Hingga saat ini, Malaysia masih menjalankan politik diskriminasi berdasarkan etnis dalam mengatur tata pergaulan politik warga negaranya. Untuk kebijakan ini, Pemerintah Malaysia yang selama ini dikuasai UMNO dan Barisan Nasional memprioritaskan etnis Melayu, terutama dalam hal memperoleh proyek pemerintah, peluang pekerjaan, kuliah, dan kredit perbankan (Kompas, 12/3/2008).
Gerilya
Selain itu, Pemerintah Kerajaan Malaysia masih mempunyai beban politik masa lalu yang mau tak mau menjadi isu penting dalam proses perubahan politik di Malaysia. Beberapa tokoh Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) dan Partai Komunis Malaya (PKM) yang notabene terlibat dalam proses perjuangan kemerdekaan Malaysia, yang selama ini disingkirkan dari peta politik Malaysia, mulai menjadi perhatian khalayak umum.
Sebagaimana kita ketahui, Inggris kembali menguasai Semenanjung Melayu pascakekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Inggris mulai memberlakukan undang-undang darurat untuk menghancurkan gerakan dan organisasi pendukung kemerdekaan Malaya.
Di bawah undang-undang darurat inilah PKMM dan PKM yang menuntut hengkangnya kolonialisme Inggris dan menuntut kemerdekaan penuh ditolak keberadaannya. Para anggota dan pendukung kedua partai ini pun ditangkapi. Akibatnya, perang gerilya menghadapi kolonialisme Inggris digalakkan. Sebanyak 400.000 tentara commonwealth dikerahkan untuk menumpas pemberontakan ini.
Diperkirakan sekitar 5.000 gerilya PKM meninggal dalam perang ini dan sekitar 200 dihukum mati dengan cara digantung. Sampai pada Proklamasi Kemerdekaan Malaysia 31 Agustus 1957, Undang-Undang Darurat Inggris tetap dipertahankan dan PKM tetap melanjutkan perang gerilya sampai pada Persetujuan Damai tiga pihak: Pemerintahan Kerajaan Malaysia, PKM, dan Kerajaan Thailand tahun 1989. Hal ini membuat PKM menghentikan perang gerilya dan menghancurkan sendiri senjata mereka dan hidup dalam suaka politik di desa-desa di bagian selatan Thailand, yang kini disebut Kampung Perdamaian PKM.
Antikomunisme
Hingga kini, para mantan prajurit gerilya PKM itu belum bisa kembali ke Malaysia karena masih dipertahankannya kebijakan antikomunisme itu. Meski demikian, beberapa mantan tokoh PKM seperti Shamsiah Fakeh sudah boleh kembali ke Malaysia.
Semua cerita sejarah kemerdekaan Malaysia yang berbeda dari versi resmi pemerintah kini dapat diketahui generasi muda Malaysia melalui memoar-memoar perjuangan yang mulai diterbitkan. Beberapa bisa disebutkan: Memoir Shamsiah Fakeh: Dari AWAS ke Rejimen ke-10; Abu Samah, Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan; biografi Chin Peng: My side of History, dan Life As the River Flows – Women’s Oral History on the Malayan struggle for Independence, yang disusun Agnes Khoo dan kini sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Hasta Mitra.
Munculnya memoar-memoar perjuangan itu setidaknya telah memberikan basis historis dan cara pandang baru dalam membangun kebangsaan dan negara Malaysia modern saat ini. Isu kebangsaan seperti bagaimana seharusnya Malaysia membangun masa depan yang sejahtera di bawah tata pergaulan baru pascaberakhirnya perang dingin tanpa dibayangi kengerian masa lalu mulai dikedepankan.
Itulah medan sekaligus perkembangan baru dalam pertarungan politik di Malaysia kini. Kemenangan Koalisi Oposisi Malaysia yang terdiri dari DAP, PKR, dan PAS di lima negara bagian Malaysia saat ini tentu akibat dari dikedepankannya isu demokrasi, kesejahteraan rakyat, antidiskriminasi, dan menyikapi tata pergaulan baru pascaberakhirnya perang dingin. Tarik ulur dalam menyikapi isu-isu inilah yang akan menjadi penentu kemenangan dalam pertarungan politik di Malaysia di masa datang.
AJ Susmana Alumnus Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta
No comments:
Post a Comment